Tentara SS-Handschar sedang berbaris
Mufti Yerusalem Amin al-Husseini mengunjungi pasukan SS-Handschar
Tentara Jerman yang beragama Islam sedang melaksanakan ibadah shalat di tempat pelatihan mereka di Neuhammer, 1943
Batalyon Albania dalam tubuh 13. Waffen-Gebirgs-Division der SS
"Handschar" (kroatische Nr. 1) dengan topi fez Totenkopf SS Albania
(Albanerfez) mereka yang khas, dalam sebuah operasi di Bosnia tahun
1944. Para anggota I.Bataillon/Waffen-Gebirgsjäger-Regiment der SS 28
(kroatische Nr. 2) ini kebanyakan diambil dari etnis Albania yang
bermukim di Kosovo dan Sandzak/Rashka (Serbia). Mereka mempunyai
seorang imam sendiri dan dibentuk berdasarkan model Legion Muslim
Albania Austro-Hungaria
Pasukan artileri dari SS-Handschar
Suasana khutbah di masjid oleh imam Divisi yang dihadiri para prajurit SS-Handschar. Kemungkinan mereka sedang melaksanakan ibadah shalat Jumat
Mufti Yerusalem Amin al-Husseini sedang berbincang-bincang dengan prajurit muda SS-Handschar
Mufti Yerusalem Amin al-Husseini berfoto bersama beberapa perwira dan prajurit SS-Handschar
Jerman merupakan sekutu dari Turki selama
berlangsungnya Perang Dunia Pertama. Setelah berakhirnya perang akbar
tersebut, pihak Jerman menderita rasa malu dan kepedihan yang amat dalam
atas kekalahan yang telah mereka alami dan penghinaan dari Sekutu si
pemenang. Hal ini ternyata berlaku pula bagi orang-orang Arab yang
merasa dikhianati oleh janji-janji palsu Inggris dan Prancis akan
kemerdekaan mereka. Banyak dari pejuang-pejuang terbaik Arab dan Muslim
yang tewas dalam pertempuran demi membela Sekutu, dan kini mereka
menuntut hak-hak mereka yang selama ini terabaikan. Situasi yang suram
ini dimanfaatkan oleh para strategis Jerman untuk menentukan posisi
geopolitis mereka dalam melawan imperialisme-plutokratik dan merapat
lebih dekat lagi kepada bangsa-bangsa Timur Tengah yang tertekan.
Sebabnya adalah sederhana: mereka mempunyai musuh yang sama: pihak
Sekutu Barat (Inggris, Prancis, Amerika dan lain-lain).
Para strategis Jerman ini termasuk pula
adalah Karl Haushofer dan Otto Strasser yang sangat menginginkan adanya
"kekuatan ketiga" di Eropa yang sama-sama menjadi oposan dari
kapitalisme dan komunisme. Minat utama para strategis ini adalah untuk
memenangkan kaum "tidak berpunya" (yang selama ini tertekan) melawan
kaum "berpunya". Latar belakang ini ternyata kemudian membuat beberapa
di antara orang-orang Jerman tersebut yang masuk Islam setelah mendalami
lebih jauh akan sumber utama dari kebudayaan Arab yang mereka teliti.
Dengan bangkitnya gerakan
Nasional-Sosialis di Jerman, bermunculan pula tokoh-tokoh politik baru
di Jerman yang menyuarakan statemen-statemen tentang Islam yang sangat
kontras dengan keyakinan umum yang berlaku saat itu di Eropa.
Tokoh-tokoh ini termasuk pula adalah Adolf Hitler dan Heinrich Himler.
Sepeti apa pandangan-pandangan mereka tentang Islam? Mari kita lihat
contoh salah satunya di bawah:
Pada bulan November 1938 sebuah surat kabar bernama Die Welt, dengan merujuk pada artikel yang muncul di Der Arbeitsmann,
menulis sebagai berikut: "Inti utama dari artikel tersebut adalah
pujian akan konsep Islam tentang takdir, sebagai sebuah contoh
komperehensif akan ide-ide tentang nasib yang akan datang. Hal ini
sekaligus pula bertentangan dengan konsep-konsep yang diyakini oleh
doktrin Kekristenan yang selama ini berlaku." Di pihak lain, dengan
merujuk pada mingguan Berlin Fridericus,
sebuah majalah Prancis menulis bahwa "jumlah orang-orang yang masuk
Islam yang semakin meningkat sampai saat ini tak pernah menimbulkan
masalah berarti di Jerman."
Fridericus
mengklaim bahwa hal ini disebabkan oleh konsep Islam yang
"memproklamasikan prinsip-prinsip vital dari etika yang sudah terbina,
sehingga sangat mungkin untuk dikonfirmasikan." Dengan
mengharmonisasikan ide-ide keadilan dan pengampunan, Islam telah membuat
"banyak orang-orang Nordik yang merasa tertarik dengan ajaran-ajaran
pembebasan dan keseteraan yang dikemukakannya."
Der Welt
menyimpulkan laporannya: "Orang-orang Austria yang bergabung kembali
dengan Reich mendapati bahwa di ibukota yang baru kini berkembang
penelitian dan minat yang besar akan agama Muhammad, sehingga kita bisa
melihat bertambahnya orang-orang lokal yang memproklamirkan diri sebagai
pengikutnya (seperti tercatat di laporan resmi pemerintah). Di pihak
lain, propaganda-propaganda terencana yang mendukung ditinggalkannya
ajaran-ajaran Gereja Kristen malah semakin berkembang." (dikutip dari
buku "Nazisme et Islam" karya Omar Amin Mufti).
Satu yang jelas adalah kebohongan luar
biasa yang ditelan mentah-mentah oleh kebanyakan dari kita yang
berkaitan dengan sikap rasis para Nazi. Hal ini adalah sesuatu yang
wajar, karena kita perlu ingat bahwa sejarah selalu ditulis oleh si
pemenang, dan khusus dalam hal ini telah ditambahi pula oleh
propaganda-propaganda tak kenal henti dari media massa dunia yang hampir
sepenuhnya dikuasai oleh Yahudi.
Untuk membantah hal ini sebenarnya mudah (dan bahkan sangat mudah malah!). Jika anda melakukan pencarian di google tentang relawan asing tentara Nazi Jerman, anda akan mendapati bermacam-macam suku bangsa yang turut berbaur melawan Sekutu di bawah panji-panji Nazi Jerman. Bahkan perlakuan terhadap para relawan asing ini pun tidak berbeda dengan tentara Jerman asli, semua diperlakukan sama. Yang paling mengagumkan adalah banyak dari mereka yang bergabung dengan pasukan SS, yang notabene pasukannya Heinrich Himmler, si "Rasis no. 1!"
Saya sangat percaya bahwa bila kita ingin
mendapat fakta yang jernih yang bersih dari sejumlah kepentingan-kepentingan
sekelompok orang, maka kita harus meneliti sejarah periode tersebut
dengan membawa hati yang jujur dan fair sehingga kesimpulan yang kita
ambil nantinya bukanlah sesuatu yang hanya menjadi pengekor dari "trend"
yang berlaku saat ini. Tidak selalu kenyataan adalah apa yang diyakini
oleh orang banyak, karena seperti yang Hitler telah katakan sendiri:
"Apabila suatu kebohongan dijejalkan terus-menerus, maka orang akan
menganggapnya sebagai sebuah fakta."
Iya memang Jerman zaman Nazi menerapkan
sistem rasialisme dalam pemerintahan mereka, tapi sistem yang seperti
apa? Nah, semoga ilustrasi ini bisa membantu anda:
"Rasialisme Jerman
berarti penemuan kembali nilai-nilai kreatif dari ras mereka sendiri,
sekaligus penemuan kembali kebudayaan mereka. Usaha pencarian yang
mereka lakukan adalah sesuatu yang mengagumkan dan terhormat. Rasialisme
Nasional-Sosialisme bukanlah dibuat untuk melawan ras lain melainkan
dibuat untuk kepentingan ras sendiri. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan dan mengembangkan ras yang sudah ada, dan mengharapkan
ras lainnya melakukan hal yang sama."
"Hal ini dibuktikan
ketika Waffen-SS memperbesar jumlah anggotanya dengan memasukkan tidak
kurang dari 60.000 orang Islam ke dalam jajarannya. Waffen-SS sangat
menghargai cara mereka menjalani hidup, adat kebiasaan, dan terutama
keyakinan religiusnya. Setiap batalion SS Islam mempunyai imamnya
masing-masing, dan setiap kompi mempunyai Mullah. Harapan kita bersama
adalah semoga kualitas mereka mendapat apresiasi setinggi mungkin.
Inilah rasialisme yang kita anut! Aku hadir saat setiap kamerad Islamku
menerima hadiah pribadi dari Hitler selama berlangsungnya tahun baru.
Tahukah anda apa hadiahnya? Sebuah liontin dengan Al-Qur'an kecil di
dalamnya! Hitler telah sangat menghormati mereka dengan memberikan aspek
terpenting dalam hidup dan sejarah mereka. Singkatnya, rasialisme
Nasional-Sosialisme merupakan ideologi yang setia pada rasnya sendiri
dan sangat menghormati ras lainnya" (Léon Degrelle, "Epic: The Story of the Waffen SS," The Journal for Historical Review, vol. 3, no. 4, halaman 441-468).
Dalam Perang Dunia II, Jerman berperang
melawan negara-negara yang selama ini kita kenal sebagai negara penjajah
bangsa-bangsa Muslim seperti Inggris, Prancis, Rusia dan Belanda. Hal
inilah yang menyebabkan jutaan orang Islam di seluruh dunia mendukung
Hitler dan mendaftarkan diri sebagai sukarelawan di ketentaraannya.
Sebagian terbesar dari mereka adalah orang-orang Bosnia, Albania,
Chechnya, Tatar, dan bangsa-bangsa lainnya yang berada di bawah tirani
komunis Soviet. Jangan lupakan pula unit-unit yang terdiri dari para
anggota perlawanan Arab (Freies Arabien).
Muhammad Amin al-Husseini, Mufti Besar
al-Quds (Jerusalem), memimpin perlawanan Palestina melawan Yahudi dan
Inggris dari pembuangannya di Berlin, dan mantan Perdana Menteri Irak
Rashid Ali al-Gailani juga memimpin perlawanan bangsanya dalam melawan
imperialisme Inggris dari ibukota Jerman tersebut. Terdapat pula
grup-grup pelopor dari jurnalis Arab, penulis, dan aktivis yang berjuang
demi kemerdekaan negara mereka masing-masing dari pengasingan mereka di
Jerman.
Dan sekarang saya ingin bertanya: Kita
dijajah selama ratusan tahun oleh Belanda, dan kemudian Belanda sendiri
diperangi oleh Hitler, lalu mengapa sekarang kita berkaok-kaok menghujat
Nazi dan segala sesuatu tentangnya dengan "berpedoman" pada propaganda
karbitan yang kita telan mentah-mentah? Apakah dalam sejarahnya Nazi
Jerman pernah menjajah Indonesia? Apakah dalam sejarahnya Nazi Jerman
begitu berlumuran darah orang-orang Muslim? Jawabannya TIDAK.
Kembali kepada kisah tentang Al-Husseini.
Banyaknya tokoh-tokoh Muslim yang bermukim di Jerman telah memberikan
kesempatan yang sempurna bagi orang-orang bule tersebut untuk menjalin
kontak dengan orang Islam sekaligus mempelajari ajarannya. Salah satu
dari mereka adalah SS-Standartenführer Wilhelm Hintersatz (1886-1963),
seorang Austria yang menjadi mualaf dan mengadopsi nama Haroun al-Rashid
Bey. Dia mengepalai unit Osttürkischen Waffen-Verbände der SS
yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang Uzbek dan Tatar Volga,
dan telah membuktikan kemampuan mereka dalam pertempuran di front
Polandia (Ataullah Bogdan Kopanski, "Muslims and the Reich," Barnes
Review, September-October, 2003, halaman 30-31)
Saya ingatkan lagi tentang apa yang telah
ditulis sebelumnya tentang strategi geopolitik Jerman, kebangkitan
Jerman sebagai negara superpower dan pendirian divisi-divisi Islam.
Semua ini telah menyediakan sebab bagi kebijakan-kebijakan Hitler yang
sangat pro-Muslim. Hambatan utama terletak dari diplomat-diplomat tua
yang lebih memilih kebijakan konservatif demi menenangkan
kekuatan-kekuatan dunia saat itu dan tidak mengancam keseimbangan
kekuatan yang ada. Tapi disana terdapat pula elemen-elemen muda dalam
tubuh Kementerian Luar Negeri Jerman yang ingin mengambil keuntungan
dari perjuangan anti-kolonialisme yang digalakkan negara-negara terjajah
sehingga mereka mendukung adanya kebijakan pro-Arab dalam melawan
Zionisme yang didukung oleh imperialis Barat. Tentu saja hal ini sangat
klop dengan arah kebijakan yang diambil Hitler saat itu.
Para pendukung Arab ini di antaranya
adalah Dr. Fritz Grobba, seorang veteran di Kementerian Luar Negeri dari
tahun 1924 yang kemudian bertugas sebagai Duta Besar Jerman di Irak dan
Arab Saudi. Dia merupakan seorang pengagum kebudayaan Islam yang
dijuluki "Lawrence of Arabia-nya Jerman" dan menjadi teman dekat dari
al-Husseini. Setelah Perang Dunia II usai, Grobba memeluk agama Islam
dan menjadi penghubung politik antara pemimpin Mesir Gamal Abdel Nasser
dengan pihak Jerman dan Soviet (Kevin Coogan, Dreamer of the Day:
Francis Parker Yockey and the Postwar Fascist International, New York:
Autonomedia, 1999, halaman 383).
Tokoh lainnya adalah Werner-Otto von
Hentig, teman dekat dari Grobba yang merupakan mantan kepala Divisi Arab
di Kementerian Luar Negerinya Joachim von Ribbentrop. Setelah perang
usai, dia menghabiskan sebagian besar waktunya di Timur Tengah. Pada
tahun 1955 Raja Ibnu Saud menunjuknya sebagai kepala penasihat Eropa
untuk Arab Saudi. Dahsyatnya lagi, dia kemudian menjabat sebagai Duta
Besar Jerman untuk? Indonesia! Dalam kapasitasnya tersebut, dia menemani
delegasi Saudi sebagai penasihat khusus dalam Konferensi Asia-Afrika
yang digelar di Bandung bulan April tahun 1955. Hentig memberi nasihat
pada orang-orang Arab untuk mengadopsi kebijakan netralisme dalam
politik dunia dan mempertahankan kemerdekaan mereka dari super power
dunia saat itu, Amerika dan Rusia (Kevin Coogan, Dreamer of the Day:
Francis Parker Yockey and the Postwar Fascist International, New York:
Autonomedia, 1999, halaman 384).
Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak
para petinggi Nazi dan mantan perwira SS yang pindah ke negara-negara
Arab, menjadi penganut agama Islam, dan mempunyai jabatan militer atau
birokratis di negara baru mereka, terutama di Mesir dan Suriah (cf.,
Jean and Michel Angebert, The Occult and the Third Reich, New York:
Macmillan, 1974, halaman 275-276).
Nama-nama mereka diantaranya bisa dilihat disini
0 komentar: