Minggu, 19 Mei 2013

Perseteruan Jepang-Uni Soviet dan Ambisi Uni Soviet Menguasai Asia

File:Japanese soldiers cross Khalkhyn Gol river 1939.jpg
Tentara Jepang mencoba menyeberangi sungai Khalkhin Gol, 1939

File:Khalkhin Gol Soviet offensive 1939.jpg
Ofensif Uni Soviet dalam Pertempuran Khalkhin Gol tahun 1939

File:Khalkhin Gol Japanese pilots 1939.jpg
Pilot-pilot Angkatan Udara Jepang di Khalkhin Gol, 1939


Kekuatan Kolonialis Eropa menggunakan Cina sebagai pintu gerbang untuk memasuki Asia tidak terkecuali Rusia yang berupaya untuk mencari pelabuhan yang tidak membeku di musim dingin sejalan dengan politik air hangatnya. Namun sejak Jepang memiliki pijakan kuat di wilayah-wilayah yang dulu dikuasai Cina (Perang Sino Jepang) gerbang itu tampaknya akan tertutup rapat dan mempersulit pergerakan kekuatan Kolonialis Eropa ke Asia ditambah lagi Rusia berhasil dihajar Jepang dan ditendang keluar dari kawasan Asia oleh Jepang.

Meski demikian Rusia tetap ingin menantang Jepang dalam penerapan hegemoninya di kawasan Asia walau praktis Rusia sudah babak belur dihajar Jepang pada tahun 1904-1905. Uni Soviet sebagai penerus Kekaisaran Rusia membuktikan bahwa ambisi Rusia belum padam dalam persoalan Asia. Uni Soviet lalu mengorganisir pergerakan Komunis di Mongolia dan membuat negara tersebut berada dalam poros Komunisme Soviet. Tidak hanya Mongolia, namun juga pergerakan Komunis Cina diharapkan Uni Soviet mampu mengantarkan Uni Soviet kembali mendapatkan pengaruh Rusia dahulu di Asia. Jepang yang menyadari gelagat Soviet tersebut memutuskan untuk menganeksasi Manchuria sebagai wilayah penyangga untuk menghalangi pengaruh Uni Soviet.

Pada tahun 1931, Jepang mengusir Cina yang lemah dari Manchuria dan mendirikan negara Manchuko sebagi protektorat Jepang untuk menangkal pengaruh Uni Soviet. Berbagai insiden perbatasan kerap terjadi antara Jepang-Manchuko dan Uni Soviet-Mongolia termasuk tahun 1935 ketika Mongolia melakukan penembakan terhadap 11 prajurit Manchuko dan 1 letnan Jepang di wilayah Halhamiao. Mengetahui tindakan Uni Soviet tersebut Jepang meresponnya dengan mengirimkan pasukan ke Halhamiao dan membuat pasukan Mongolia mengundurkan diri dari wilayah tersebut. Untuk mencegah penyebaran Komunisme, Jepang lalu menindak lanjuti perilaku Uni Soviet tersebut dengan menandatangi Pakta Anti Komintern antara Nazi Jerman dan Fasis Jepang yang bertujuan membendung pengaruh Komunisme dunia khususnya Uni Soviet.

Uni Soviet mengerahkan pasukan darat dan lautnya pada Juni 1937 untuk merespon kekalahan Mongolia pada tahun 1935 dengan memasuki sungai Amur dan menduduki pulau Kanchazaku yang terletak ditengah-tengah sungai. Kontan saja itu memicu pertempuran antara Tentara Merah Soviet dan pasukan Manchuko. Pasukan Manchuko sukses menenggelamkan 1 kapal motor Soviet dan mengusir Tentara Merah dari Sungai Amur.

Masalah tersebut kemudian diselesaikan melalui konfrensi Sigemitsu-Litovinov. Jepang juga terus menguasai wilayah utara Cina untuk membendung pengaruh Uni Soviet dari Mongolia mengingat dalam Perang Sino Jepang II kekuatan Komunis Cina yang didukung Uni Soviet dan Nasionalis Cina yang didukung Barat bergabung.

Namun Uni Soviet tidak puas-puasnya juga menganggu kepentingan Jepang dengan mengerahkan pasukan ke sebelah barat Danau Khasan selatan Vladivostok dan mendirikan pangkalan militer disana. Jelas tindakan Uni Soviet ini merupakan provokasi terhadap Jepang karena jelas dengan membangun pangkalan militer di wilayah tersebut maka Uni Soviet mengancam kedudukan Jepang di semenanjung Korea. Tindakan Uni Soviet ini langsung berbuah menjadi pertempuran pada tahun 1938.

Pada awalnya, Uni Soviet berhasil menghalau serangan Jepang namun Jepang segara mengorganisir pasukan dan mengusir Uni Soviet dari Danau Khasan dalam serangan baliknya. Namun Uni Soviet langsung mengerahkan pasukan-pasukan cadangannya dan terlibat pertempuran sengit dengan Jepang. Mempertimbangkan kerugian yang besar dari pihaknya, Jepang lalu mengakhiri kampanye di Danau Khasan.

Pada tahun 1939, meletuslah pertempuran Khalkhin Gol yang menjadi pertempuran terbesar antara Jepang-Manchuko dan Soviet-Mongolia. Pertempuran tersebut pecah diawali oleh pertempuran antara Manchuko dan Mongolia yang kemudian diikuti oleh Jepang dan Uni Soviet. Pada awalnya Uni Soviet dan Mongolia berhasil menghalau pasukan Jepang dan Manchuko. Kemudian Jepang melancarkan serangan pada bulan Juni 1939 terhadap pangkalan Uni Soviet di Mongolia. Pertempuran berlanjut, dan Jepang mengerahkan kekuatan besar melintasi sungai Khalkhin Gol.

Serangan Jepang tersebut berhasil dihalau oleh Uni Soviet. Pada Agustus 1939, Uni Soviet dan Mongolia melancarkan serbuan terhadap kedudukan Jepang di Khalkhin Gol. Serangan besar-besaran Uni Soviet-Mongolia ini berhasil menghancurkan posisi Jepang di Khalkhin Gol. Meskipun serangan tersebut tidak mengembalikan hegemoni Rusia di Asia, namun kekuatan Jepang akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan konflik dengan Uni Soviet dan membatalkan rencana serangan Jepang ke Siberia. Kegagalan Jepang tersebut memungkinkan gerakan mulus Uni Soviet untuk menguasai Asia melalui penyebaran doktrin Komunisme dimulai dari Cina.

3 komentar:

Jumat, 03 Mei 2013

Pengeboman Dresden, Salah Satu Borok Kekejaman Pasukan Sekutu Dalam Perang Dunia II

File:Lancaster I NG128 Dropping Blockbuster - Duisburg - Oct 14, 1944.jpg
Pesawat bomber Avro Lancaster milik RAF (Royal Air Force) menjatuhkan bom di Duisburg, 1944. Bom yang digunakan adalah jenis "Incendiary Bomb. Bom yang sama kemudian digunakan untuk membombardir Dresden


Korban dari Pengeboman Dresden


Gambar di atas adalah pemandangan kota Dresden jauh sebelum peristiwa pengeboman, tepatnya di tahun 1910. Sedangkan gambar di bawah adalah pemandangan kota Dresden setelah peristiwa pengeboman


Selama ini kita hanya mendapatkan informasi sepihak mengenai Perang Dunia II, yaitu informasi dari pihak pemenang, yaitu sekutu Amerika-Inggris-Perancis-Uni Soviet dan negara-negara ZOG (Zionist Occupied Governments) lainnya. Kita jarang sekali, kalau tidak bisa dikatakan tidak pernah, mengetahui dari sudut pandang lawan Sekutu, yaitu Jerman-Italia-Jepang. Kita misalnya tidak pernah mengetahui motif Hitler membiarkan ratusan ribu Tentara Ekspedisi Inggris (British Expeditionary Force) yang terkepung di Dunkirk, Prancis, melarikan diri kembali ke Inggris. Kita tentu saja juga jarang, kalau tidak dikatakan tidak pernah, mendengar tentang peristiwa Pemboman Dresden meski itu adalah sebuah peristiwa paling memilukan dalam Perang Dunia II.

Dresden pada tahun 1945 adalah kota yang indah dengan 650.000 penduduknya yang ramah tamah. Pada tanggal 13 Februari 1945 kota ini dipenuh sesaki oleh sekitar 750.000 pengungsi Jerman yang melarikan diri dari kekejaman tentara komunis-yahudi Uni Soviet. Mereka berkemah di taman-taman dan tanah lapang yang ada, bahkan di trotoar dan jalan-jalan. Mereka merasa aman di sana karena Dresden bukan kota yang memiliki fasilitas militer target serangan musuh. Sebaliknya Dresden adalah "kota rumah sakit" yang memiliki 25 rumah sakit dan fasilitas medis besar. Mereka juga sadar bahwa menurut hukum internasional, kota mereka tidak mungkin menjadi sasaran serangan militer sebagaimana Jerman juga tidak pernah menyentuh "kota-kota pendidikan" Inggris seperti Oxford dan Cambridge.

Namun anggapan mereka keliru. Pada jam 22.15 malam di tanggal yang sama sebanyak 800 pesawat bomber dan pesawat-pesawat tempur pengawal Inggris memenuhi langit Dresden dan menumpahkan berton-ton bom penghancur. Ribuan orang tewas maupun luka-luka dalam satu serangan tersebut. Saat pesawat-pesawat itu menghilang dari langit, penduduk dan pengungsi yang selamat keluar dari persembunyian untuk memberikan pertolongan para korban. Demikian juga ribuan penolong dari kota-kota dan desa-desa sekitar bergegas menuju Dresden. Mereka tidak pernah membayangkan peristiwa tragis yang baru saja terjadi. Tentu saja mereka juga tidak pernah menyangka bahwa berhentinya serangan hanya tipuan belaka. Karena saat jalan-jalan dipenuhi para penolong dan korbannya, gelombang kedua serangan udara Inggris kembali datang.

Serangan kedua memberikan dampak kehancuran yang lebih besar dari kota yang masih dipenuhi bara api oleh serangan pertama itu. Api berkobar lebih hebat lagi membakar. Demikian hebat kebakaran tersebut dan panas yang ditimbulkannya hingga para penolong dari luar kota kesulitan untuk memasuki kota. Sementara ribuan penduduk Dresden dan pengungsi terbakar hidup-hidup hingga ke tulang.

Cerita tentang kengerian peristiwa itu tidak terkatakan. Saat anak-anak kecil yang terpisah dari orang tuanya terjebak di dalam genangan aspal yang meleleh karena panas. Atau saat anak-anak kecil terinjak-injak oleh orang-orang yang berebut jalan menyelamatkan diri. Hal seperti ini tentunya tidak pernah dialami rakyat Inggris, Amerika dan sekutu-sekutunya.

Bencana kemanusiaan ini belum berhenti karena keesokan harinya giliran Amerika unjuk gigi. Sebanyak 400 pesawat pembom menumpahkan muatannya dan pesawat-pesawat tempur menembaki orang-orang di jalanan termasuk para tenaga medis yang tengah merawat pasiennnya di sepanjang tepi Sungai Elbe. Korban pun kembali berjatuhan.

Namun itu semua masih belum berakhir karena tiga serangan lanjutan telah direncanakan tentara Sekutu: 15 Februari, 3 Maret, dan 17 April 1945 dengan total pesawat pengebom mencapai 1.172 unit. Korban tewas diperkirakan mencapai 400.000 jiwa, atau bahkan lebih. Dan karena Jerman tidak memiliki cukup orang untuk melakukan evakuasi, mayat-mayat hanya disemprot dengan disinfektan atau api kemudian dikubur bersama reruntuhan bangunan.


0 komentar: