Selasa, 23 Juli 2013

Percobaan Kudeta Orang-Orang Nazi di Hindia Belanda

 File:Walther Hewel.png
Walther Hewel


Pada 5 Mei 1940, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman seiring invasi yang dilakukan selama Perang Dunia II. Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, sebenarnya ikut menjadi sasaran pasukan NAZI Jerman karena masih koloni Kerajaan Belanda.

Namun upaya penguasaan Hindia Belanda oleh Nazi Jerman, tak dilakukan secara penyerangan militer karena lokasinya masih terlalu jauh untuk pengiriman pasukan. Cara ditempuh adalah melalui upaya kudeta yang dilakukan orang-orang Jerman di Pulau Jawa yang dilakukan di Batavia (Jakarta) dan Surabaya, beberapa hari setelah Belanda dikuasai Nazi. Surat kabar The Mercury terbitan Hobart, Tasmania pada 15 Mei 1940 mengabarkan ratusan orang Jerman di Batavia dan Surabaya langsung melakukan pergerakan untuk menangkapi para pemimpin Hindia Belanda. Kudeta tersebut dilakukan atas perintah langsung dari Berlin alias Fuhrer Adolf Hitler. Namun upaya kudeta oleh orang-orang Jerman tersebut kemudian gagal, karena bocornya informasi gerakan mereka. Ini terjadi setelah telegram dari Adolf Hitler dapat diketahui oleh para agen intelijen Hindia Belanda.

Di Batavia dan Surabaya, pasukan KNIL langsung menangkapi orang-orang Jerman, berikut menyita ratusan senjata otomatis yang mereka gunakan. Kudeta oleh orang-orang Jerman terutama Nazi di Hindia Belanda tersebut didukung para anggota partai NSB yang merupakan aliansi Nazi yang anggotanya orang-orang Belanda.

Pada tahun 1936, cabang partai NSB sudah berdiri di Hindia Belanda dipusatkan di kota Bandung. Berdasarkan catatan nomor telepon zaman kolonial untuk wilayah Priangan, kantor perwakilan NSB ada di Malabarlaan no.15 (kini Jalan Malabar) dengan nomor telepon bd 2730. Pasca upaya kudeta tersebut hanya dalam tempo waktu 2 jam sekitar 2000 orang Jerman dan orang-orang Belanda pro Nazi di Batavia ditangkapi oleh tentara Hindia Belanda dan Australia. Diantara mereka yang ditangkap oleh pasukan sekutu, ada sekelompok perwira Nazi Jerman sedang singgah di Batavia, semula akan ke Sydney Australia. Penangkapan juga dilakukan terhadap sejumlah kapal barang milik Nazi di pelabuhan Tanjung Priok. Sejumlah kapal barang Nazi Jerman disita, berikut muatannya berupa karet alam, gula, kelapa kopra, teh, kopi, dan produk-produk alam lainnya senilai jutaan gulden. Dari 20-an kapal milik Jerman, hanya sebuah yang berhasil lolos dari penangkapan oleh Belanda di pelabuhan. Di daratan, sejumlah pesawat terbang milik Nazi Jerman dan bangunan pun langsung dikepung pasukan KNIL. Sejumlah orang Jerman sempat menguasai dua kantor pos di Jakarta namun kemudian menyerah berikut berbagai senjata otomatis milik mereka. Sebagian orang Jerman lainnya ditangkap saat sedang mandi, dan digiring hanya dengan menggunakan handuk, sebagian lainnya ditangkap saat sedang bekerja.

Walau upaya kudeta oleh orang-orang Jerman itu gagal, namun pihak pemerintah Hindia Belanda sempat was-was. Pasalnya, mereka memperhitungkan jika kudeta itu lancar dilakukan hanya dalam tempo setengah jam Hindia Belanda akan ganti dikuasai Nazi Jerman. Menurut keterangan seorang pengusaha gula di Pulau Jawa, PKA Laliroo, sekitar 8000 orang Jerman yang tinggal di pulau Jawa kemudian ditahan oleh pihak Hindia Belanda. Penempatan penahanan orang-orang Jerman dan Belanda pro Nazi itu sebagian ditahan di Pulau Onrust Jakarta, Ngawi Jawa Timur, Nongkojajar, Banyubiru dan Sumatra sebagian dibawa ke Australia melalui kapal laut, sedangkan kaum wanita dan anak-anak ditahan di hotel Sindanglaya Cianjur. Ada pula sekelompok orang Jerman yang dibawa ke Australia menggunakan kapal laut. Sebagian orang Jerman mencoba melarikan diri dengan mencebur dari kapal ke laut dan berenang, namun kemudian tertangkap kembali. Pasca upaya kudeta oleh Nazi Jerman di Batavia dan Surabaya, surat kabar The Courie Mail terbitan Brisbane Australia pada 16 Mei 1940 mengabarkan sekutu Jerman yaitu Jepang mulai mengincar Hindia Belanda. Namun saat yang sama, di Hindia Belanda sudah muncul sejumlah unjuk rasa anti Jepang. Surat kabar Mercantile Advetiser Australia pada 17 Mei 1940 dengan mengutip surat kabar Preanger Bode, mengabarkan sekitar 400 pemuda Belanda mengamuk dan merusak Kantor Kontak Nazi Jerman di Jalan Naripan Bandung. Para pemuda Belanda tersebut marah karena negeri leluhurnya, Belanda diduduki Nazi Jerman.

Duta besar Jepang, Jenderal Oshima kemudian menemui Menlu Jerman Joachim von Ribbentrop untuk menyampaikan keinginan Kekaisaran Jepang untuk mengusir Amerika, Belanda, Inggris, Australia lalu menguasai Asia Tenggara. Koresponden surat kabar tersebut yang berasal dari Manila Filipina juga mengabarkan Jepang memang mengincar karet alam dan minyak dari Hindia Belanda. Namun saat itu sudah mulai muncul kekhawatiran orang-orang Jerman pro Nazi akan melakukan kudeta susulan di Hindia Belanda walaupun tak sebesar yang pertama dilakukan di Batavia. Namun pada 27 September 1940, trio Nazi Jerman, Jepang dan Italia yang disebut pihak Axis melakukan pembicaraan segitiga. Mereka sepakat membagi bagi wilayah operasi militer untuk sama-sama mengusir Inggris dan sekutunya dimana Nazi Jerman di Eropa, Italia di Afrika Utara dan Jepang di Asia Timur dan Asia Tenggara. Nazi Jerman mengutus Joachim von Ribbentrop melakukan pembicaraan dengan pihak Jepang. Kesepakatan itu kemudian dilakukan antara Adolf Hitler, Menlu Italia Galeazzo Ciano dan Dubes Jepang Saburo Kurusu sekaligus membuat Jerman mengurungkan niatnya menguasai Hindia Belanda atau Indonesia.

Sebelumnya pada tahun 1942 sejumlah orang Jerman yang ditahan di pulau Nias dengan bantuan sejumlah polisi Indonesia berhasil melakukan kudeta lalu mendirikan Republik Nias. Orang-orang Jerman itu berasal dari para korban selamat asal kapal Belanda "Van Imhoff" yang tak sengaja di tenggelamkan Jepang. Menurut pencatat sejarah Jerman di Indonesia, Heriwg Zahorkha senada rekannya juga asal Jerman yang sudah berganti nama Indonesia, S. Gamal, di Republik Nias itu sebagai kanselir adalah Herr Fischer (eksekutif perusahaan elektronik Bosch) serta Albert Vehring (mantan pemilik Perkebunan Cikopo, Puncak, Bogor) sebagai Menteri Luar Negeri. Nazi Jerman sendiri baru dapat mengirim pasukan ke Indonesia pada menjelang akhir tahun 1944, namun bukan aksi pendudukan. Itu pun melalui armada kapal selam dimana AL Jerman membuat pangkalan bersama Jepang di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada 1 Oktober 1944-5 Mei 1945 dengan tujuan menyerang armada kapal Sekutu di Asia Tenggara.

Aktivitas orang-orang Jerman pro Nazi di Hindia Belanda sebenarnya sudah muncul pada awal tahun 1930 an. Ini berawal dari besarnya dukungan terhadap Adolf Hitler di Jerman yang kemudian diikuti oleh orang-orang Jerman di negeri lain termasuk Hindia Belanda terutama Jawa dan Sumatera. Dari sejumlah catatan saat partai Nazi memenangkan pemilu di Jerman pada Januari 1933, ada sekitar 1000 orang Jerman yang ada di Hindia Belanda menandatangani dukungan terhadap Hitler. Walau pun tak semua orang Jerman di Hindia Belanda dapat memberikan tandatangan, namun rata-rata mereka mendukung kepemimpinan Hitler sekaligus kebijakannya. Pencatat sejarah asal Amerika Peter Lavenda menyebutkan salah satu penyokong pendanaan Parta Nazi di Eropa berasal dari perkumpulan pengusaha perkebunan di Medan Sumatra Timur (Ostkust, kini Sumatra Utara) Saat itu para simpatisan Nazi sangat banyak di Jawa dan Sumatra. Soal keberadaan Nazi di Hindia Belanda sebenarnya diawali dengan berdirinya Partai Nazi pertama di Timur Jauh, di jalan Naripan Bandung tahun 1937. Pendirinya adalah Walther Hewel salah seorang dedengkot Nazi yang merupakan sahabat karib Hitler sejak keduanya melakukan upaya kudeta di Munchen tahun 1926. Walther Hewel sempat tinggal berada di Bandung pada kurun waktu 1927-1938 karena sehari harinya berkerja di perusahaan perkebunan Inggris Anglo Dutch Plantantions of Java, Ltd (d/h Pamanoekan and Tjiasem Landen, kini menjadi bagian PT Perkebunan Nusantara VIII), Subang. Ia datang ke Bandung setelah dibebaskan dari penjara Landsberg tahun 1926, karena keadaan ekonomi di Jerman sedang repot lalu mencari pekerjaan ke Hindia Belanda dimana kota Bandung dan Jawa Barat saat itu sedang menjadi pusat ekonomi. Namun pada tahun 1938 Walther Hewel dipanggil pulang oleh Hitler untuk kemudian Hewel ditugaskan di Kementerian Luar Negeri Jerman yang dipimpin Joachim von Ribbentrop. Walther Hewel diandalkan Hitler untuk melakukan diplomasi non-agresi dengan Uni Soviet yang kemudian ditandatangani Vyacheslav Molotov dan Joachim von Ribbentrop pada 23 September 1939.

Dari versi sejumlah saksi meninggalnya Hitler pasca bunuh diri dalam bunker dibawah gedung Kekanseliran di Berlin pada 30 April 1945, Walther Hewel pun dikabarkan merupakan orang yang paling depan menyaksikan pembakaran jenazah sahabatnya tersebut. Walther Hewel pun dapat ikut meloloskan diri dari bunker yang sudah dikepung pasukan Uni Soviet. Ia kemudian dapat menyusul rombongan pasukan SS yang dipimpin Wilhelm Mohnke, dimana terdapat Traudl Junge. Namun karena sudah putus asa dan kelewat takut ditangkap dan disiksa pasukan Uni Soviet, Walther Hewel juga menyusul bunuh diri dengan menelan kapsul sianida lalu menembak kepalanya sendiri. Namun dalam catatan pihak sekutu, Walther Hewel tak tercatat dalam daftar para anggota Nazi yang dituduh bertanggungjawab atas operasional perang. Kemampuan diplomasi Hewel tampaknya juga dilatarbelakangi sebelumnya saat masih bekerja sebagai kepala urusan pemasaran komoditas kopi di perusahaan perkebunan Anglo Dutch Plantation of Java Ltd di Subang. Pada masa-masa itu, Hewel juga terbiasa bertemu banyak karakter orang Eropa saat menjual kopi di Gedung Lelang de Vries Bandung depan Societit Condordia (sekarang gedung Asia-Afrika), lalu kemudian naik jabatan menjadi administratur perkebunan.

Sepenggal keberadaan Walther Hewel di kota Bandung dan Subang sempat diingat Ny Yeni (68) yang merupakan anak Almarhum Mohammad Djoehri yang dahulunya salah seorang petinggi Anglo Dutch Plantations of Java Ltd. Ayahnya pernah bercerita bahwa Walther Hewel memang teman kerja seangkatan dia Anglo Dutch Plantations of Java Ltd yang sama-sama masuk sekitar tahun 1930-an. Sosok Hewel termasuk salah seorang pentolan Nazi yang belum terungkap semua kehidupan pribadinya. David Irving asal Inggris termasuk yang menelusurinya menyatakan tak mengetahui pasti siapa istrinya Hewel dengan hanya diduga memiliki seorang pasangan wanita asal Jerman, yaitu Blanda Elisabeth. Lain halnya administratur PTPN VIII Kebun Ciater Haryusdianto Eka Putra alias Dian menyebutkan dari daftar administratur yang pernah bertugas, Walther Hewel pernah tercatat menjadi administratur Perkebunan Ciater pada tahun 1937-1938.

Dian menyebutkan selama berada di Subang dikabarkan Hewel menikah dengan orang pribumi dan memiliki seorang anak. Namun anaknya Hewel kini tinggal di Selandia Baru sedangkan ibunya sudah meninggal dunia. Dikatakan informasi tersebut berawal saat dirinya membeli sebuah mobil jip bekas bermerek Land Rover produksi tahun 1950-an dari seseorang di Bandung. Yang bersangkutan hanya mengatakan ia adalah anaknya seorang Jerman bernama Walther Hewel dan hanya menyebutkan ayahnya itu menjadi administratur perkebunan di Subang.


0 komentar: