Kamis, 13 September 2012

Seragam Kamuflase Waffen-SS, Cikal Bakal Seragam Kamuflase Militer Saat Ini

Seragam kamuflase SS-Rottenführer (versi tahun 1944)

Foto berwarna dari era Third Reich yang memperlihatkan seragam kamuflase yang dikenakan oleh perwira dari Divisi Panzer SS ke-12 'Hitlerjugend'. Mau tahu nama si cowok cute ini? Untersturmführer Franz-Josef 'Franzl' Kneipp, yang punya kelebihan suara bagus dan jago gitar!

Kalau yang ini adalah seragam camo (kamuflase) yang digunakan oleh pasukan penerjun payung (Fallschirmjäger) dari SS. Lihat betapa pakaian yang mereka kenakan tampak menyatu dengan alam sekitarnya!

SS-Hauptsturmführer dengan jaket kamuflase musim dingin pola "daun ek" yang bisa dipakai bagian luar atau dalamnya (warna putih salju). Perhatian khusus perlu dilakukan ketika memakai bagian putihnya, karena dapat terkena lumpur sehingga kehilangan nilai penyamarannya. Bahan nilon campurannya sangat susah untuk dibersihkan di lapangan, apalagi di kala musim dingin tiba. Helm pun tidak luput dari kamuflase putih musim dingin. Perhatikan bahwa perwira ini membawa senapan semi-otomatis Walther G/K-43 di pangkuannya yang dilengkapi dengan magasin dari jenis "klip pisang" 25 round yang langka (dibandingkan dengan yang biasa yang biasanya mempunyai 10 round saja). G/K-43 merupakan jawaban dari M-1 Garand buatan Amerika. Satu lagi, perwira SS ini memakai sarung tangan hijau berbahan campuran kanvas dan kulit yang biasanya diberikan kepada prajurit Angkatan Darat


Waffen-SS termasuk unit militer pertama yang memakai apa yang kemudian dikenal sebagai pakaian "pola pengacau", dirancang untuk membantu serdadu berbaur dengan latarbelakang di sekitar mereka dan membuat mereka lebih sulit terlihat oleh musuh. Gagasan kamuflase itu sendiri, tentu saja, bukan hal baru, tapi dalam makna modern baru muncul pada pergantian abad ketika Angkatan Darat Britania dengan terlambat menyadari bahwa tunik merah membuat para serdadu jadi sasaran empuk penembak musuh dan langsung mengganti warnanya menjadi khaki (coklat-kuning pudar), praktik yang dengan cepat ditiru oleh sebagian besar tentara negara lain, meskipun dengan berbagai variasi warna tersendiri. Khaki, atau kelabu-hijau padanannya di Jerman, adalah warna praktis dan netral, tapi Waffen-SS merasa belum cukup. Yang diperlukan adalah sejenis garmen yang memungkinkan serdadu berbaur bukan hanya di berbagai lingkungan pedesaan, tapi juga mengikuti perbedaan warna rumput dan daun seiring dengan perubahan musim.

Sejak awal pecahnya Perang Dunia II pada bulan September 1939, sebagian besar pasukan tempur Waffen-SS memakai baju luar longgar, yang menjulur sampai ke paha, di luar tunik dinas mereka. Baju luar dari campuran rayon/katun itu berpotongan sangat besar untuk memudahkan pergerakan, dan dapat ditarik kencang di pinggang dengan tali pengikat, memberikan perlindungan tambahan terhadap angin. Bagian leher yang tidak berkerah juga punya tali pengikat, demikian pula mansetnya, dan menghasilkan penampilan gombrong yang memang disengaja dan merupakan kamuflase juga.

Baju luar model awal punya dua celah di bagian dada yang memungkinkan pemakai merogoh kantong tunik di baliknya, tapi segera disadari bahwa hal ini mustahil dilakukan kalau rompi webbing sedang dipakai di luarnya, yang memang seharusnya, jadi celah itu tidak lagi dibuat. Cincin pengait juga seringkali dijahitkan di bahu, lengan atas, dan selubung helm untuk memungkinkan dedaunan dicantolkan sebagai kamuflase ekstra.

Baju luar bisa dibolak-balik dan diberi cetakan beragam pola agar cocok dengan musim yang berubah-rubah : hijau muda dan tua di musim semi, dua rona hijau serta coklat keunguan pada musim panas, dan tiga warna coklat serta coklat kemerahan untuk musim gugur. Pencetakan kain dalam jumlah besar dengan kerumitan seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya, dan bahan pencelup serta teknik khusus harus diciptakan. Baju luar versi awal disablon, tapi karena makan waktu, khususnya karena baju luar itu juga harus dibuat tahan air, versi-versi akhir dicetak oleh mesin. Pola-pola dirancang dengan hati-hati untuk memutus garis bentuk (outline) si pemakai, dengan bercak-bercak kecil bersisi tajam yang digambarkan dalam warna-warna kontras, sehingga pemakai kamuflase yang sedang berdiri diam di hutan atau semak-semak akan menjadi tak terlihat, setidaknya bagi yang matanya bolor! Ada empat pola dasar yang dipakai selama masa perang, yang untuk mudahnya pada umumnya disebut sebagai "pohon plane", "pohon palm", "daun oak", dan "kacang polong". Yang satu tidak lebih baik dari yang lain dalam memberikan perlindungan kamuflase, jadi tampaknya alasan-alasan untuk perubahan itu adalah hanya untuk percobaan saja.

Pada tahun 1942 dimulailah perancangan seragam baru untuk pasukan khusus Waffen-SS. Hasilnya adalah seragam kamuflase dril M43. seragam ini berupa satu jaket berkancing sebaris dan pantalon dari campuran rayon, dengan kamuflase dicetak hanya pada satu sisi, didominasi warna kuning kusam dengan bercak hijau dan coklat. Pakaian M44 yang menyusul M43 terbuat dari kain kepar kasar berpola pucuk rebung (herringbone) yang tidak sehangat model sebelumnya. Kualitas tahan air M44 lebih jelek daripada M43. pembuatan seragam lapangan M44 menandai tahap akhir dalam penyederhanaan dan penurunan mutu pakaian Angkatan Bersenjata Jerman (Wehrmacht).

Pada tahun 1944, kurangnya bahan dan kewajiban menghemat memaksa Wehrmacht dan Waffen-SS untuk menggunakan jenis tunik dan pantalon yang berbeda. Blus lapangan (Feldbluse) M44 pendek, tidak mencapai pinggang, mirip blus tempur angkatan darat Inggris. Blus M44 terbuat dari bahan Zeltbahn yang murah, berpenampilan lusuh, dan kurang hangat bila dibandingkan dengan tunik sebelumnya. Pantalonnya juga setinggi pinggang dan lebih sempit, dikencangkan dengan ikat pinggang dan bukan bretel.

Zeltbahn dikembangkan oleh Angkatan Darat (Heer), tapi juga dipakai oleh Waffen-SS. Zeltbahn merupakan bahan sederhana berbentuk segitiga bercetak warna kamuflase yang dapat dipakai sebagai ponco pada cuaca basah. Tepiannya berlubang untuk tali pengikat, dan tiga Zeltbahn atau lebih dapat diikat menjadi satu menjadi tenda berlindung kecil. Apabila sedang tidak dipakai, Zeltbahn disandang dalam keadaan tergulung di punggung bersama dengan perlengkapan pribadi lain dari pasukan khusus.


0 komentar:

Minggu, 09 September 2012

29. Waffen-Grenadier-Division der SS (Italienische Nr.1), Sukarelawan Italia Dalam Tubuh SS

Lambang rajawali yang umumnya terdapat di setiap lengan kiri pasukan Wehrmacht dan SS. Namun berbeda dengan lambang rajawali yang biasanya mencengkram Swastika, rajawali untuk para sukarelawan Waffen-SS asal Italia ini mencengkram lambang Fasis


[italian-ss-camo.jpg]
Sukarelawan Waffen-SS asal Italia dengan kamuflase zeltbahn


File:Bundesarchiv Bild 146-1969-171-29, Karl Wolff.jpg
SS-Obergruppenführer Karl Wolff


Pada bulan September 1943, Italia menyerah kepada Sekutu setelah Benito Mussolini dipecat dari kedudukannya sebagai Perdana Menteri. Reaksi Hitler atas pengkhianatan Sekutunya itu adalah dengan menduduki Italia dan wilayah pendudukannya di Balkan dan Prancis selatan. Untuk menopang kedudukannya, diktator Nazi itu membentuk sebuah rezim Fasis di Salo, Italia Utara. Untuk memimpin pemerintahan boneka Nazi itu dia mengangkat Mussolini, yang berhasil dibebaskan dari penjara Italia oleh pasukan komando Jerman. Untuk menopang pertahanan negara boneka Italia tersebut, Hitler memerintahkan Wehrmacht membentuk unit-unit tempur yang terdiri atas para prajurit Italia yang pro-Fasis dan bersedia tetap bertempur di pihak Jerman melawan Inggris dan Amerika.

Pada saat Italia menyerah, Jerman melucuti senjata dari sekitar 800.000 orang prajurit Italia, dimana lebih dari 250.000 orang di antaranya ditawan. Para tawanan ini merupakan sumber awal perekrutan yang masuk akal karena masih ada cukup banyak pengikut Fasis yang pro-Jerman di kalangan tentara Italia yang tidak berfungsi lagi.

Pada awalnya, Jerman mengusahakan pembentukan sebuah pasukan yang disebut sebagai Aviazione Legionaria Italiana, tetapi usaha ini mengalami kegagalan. Kemudian, pemerintahan baru yang didirikan oleh Mussolini sebagai Republica Sociale Italiana (RSI) membentuk angkatan bersenjata baru dari kalangan tawanan perang Italia yang ditawan di Jerman.

Empat divisi infanteri Italia dibentuk di Jerman untuk menopang pertahanan RSI pimpinan Mussolini. Divisi-divisi yang dinamakan 'Italia', 'Littorio', 'San Marco', dan 'Monterosa' ini maupun unit-unit RSI lainnya berada di bawah kontrol Wehrmacht. Sayangnya, ketika kepemimpinan atas Tentara Cadangan Jerman diambil alih oleh Heinrich Himmler, pemimpin SS tersebut mengatur suatu nasib yang berbeda bagi mereka. Dengan alasan bahwa mereka tidak dapat dipercaya untuk bertempur di garis depan, dia memerintahkan agar divisi-divisi Italia tersebut digunakan untuk memerangi kaum gerilyawan Italia. Seperti yang dapat diduga, mereka melakukan desersi karena tidak berminat untuk memerangi saudara sebangsanya sendiri.

Sikap Himmler yang tidak mempercayai orang Italia itu sendiri dilatarbelakangi oleh ketidaksenangan lamanya ketika Mussolini menggagalkan usahanya untuk menggabungkan Austria secara paksa dengan Jerman pada tahun 1934 maupun oleh pengkhianatan Marsekal Badoglio yang menandatangani gencatan senjata pada bulan September 1943. Sekalipun demikian, sikap pemimpin SS tersebut tidak menghalanginya untuk merekrut para sukarelawan Italia ke dalam wadah SS dan polisi Jerman.

Sebagai contoh, pada bulan Oktober 1943 dibentuk Polizei-Regiment 'Südtirol' yang kemudian dinamakan dengan 'Bolzano'. Resimen ini didirikan di Bolzano dari kalangan penduduk Volksdeutsche (etnik Jerman) yang tinggal di kawasan Tirol Italia. Dua resimen polisi tambahan, 'Brixen' dan 'Schlanders' dibentuk pada musim semi 1944 dari penduduk Volksdeutsche lokal.

Di provinsi Udine, Kolonel Juliani, seorang perwira Fasis Italia, membentuk resimen sukarelawan Tagliamento, yang kemudian dinamakan dengan 1. Leggione d’assalto Tagliamento (Resimen Penyerang Tagliamento). Unit ini kemudian diambil alih SS, yang menamakannya sebagai Polizei-Freiwiligen Gebirgsjäger Bataillon 'Tagliamento'.

Di Cremona terdapat sebuah Polizei-Freiwiligen Ersatz Bataillon (Italien), atau Batalyon Cadangan Sukarelawan Polisi (Italia). Unit ini berkekuatan 877 orang.

Unit Italia pertama dalam Waffen-SS adalah SS-Kartsjäger Bataillon, yang kemudian menjadi cikal bakal dari 24.Waffen-Gebirgs (Kartsjäger) Division der SS. Unit yang dibentuk pada musim panas 1942 ini terdiri atas para sukarelawan Volksdeutsche Italia. Mereka terutama beroperasi di wilayah pegunungan yang meliputi perbatasan Italia, Austria, dan Slovenia.

Kontingen sukarelawan pertama Italia asli yang bergabung dengan Waffen-SS adalah sejumlah prajurit Fasis yang bergabung dengan Divisi Panzer SS ke-1 'Leibstandarte Adolf Hitler' saat unit pengawal Hitler itu dikirimkan ke Italia pada hari-hari pertama setelah rezim Fasis digulingkan. Kebanyakan dari mereka digunakan sebagai ahli mekanik karena divisi SS tersebut merampas banyak kendaraan buatan Italia. Namun, setelah divisi itu dikirimkan ke Ukraina pada bulan November 1943, orang-orang Italia itu dikirimkan sebagai tenaga pengganti di resimen-resimen Panzergrenadier 'Leibstandarte'. Kira-kira 100 orang sukarelawan Italia tetap bertempur dengan divisi ini hingga berakhirnya perang.

Beberapa prajurit Italia yang bertempur dengan Leibstandarte dipindahkan ke Divisi Panzer SS ke-12 'Hitlerjugend' dan unit-unit organik dari I SS Panzerkorps. Sebagai contoh, sebuah laporan dari 501.SS Schwere-Panzerabteilung (Batalyon Tank Berat SS yang dilengkapi oleh tank Tiger) tertanggal 5 September 1944 melaporkan 21 orang Italia dalam unit mereka yang terbunuh selama pertempuran di Normandia.

Sejumlah orang Italia juga bertugas dalam divisi-divisi Waffen-SS lainnya, terutama divisi-divisi ke-4, ke-7, ke-10, ke-11, ke-13, ke-16, dan ke-28. Umumnya mereka bergabung saat divisi-divisi itu beroperasi di Italia atau kawasan dimana unit-unit Italia pernah ditempatkan, terutama di Balkan, Prancis selatan, dan Front Timur. Beberapa orang Italia juga bergabung dengan unit khusus Waffen-SS pimpinan Otto Skorzeny.

Pada bulan September 1944, unit Waffen-SS pertama yang terdiri atas para sukarelawan Italia asli dibentuk di pusat pelatihan SS di Debica Heidelager, Polandia. Mayor Guido Fortunato, seorang bekas perwira pasukan elit Bersaglieri yang pernah bertugas di Front Rusia, ditugaskan untuk menyeleksi para rekrutan baru yang setia kepada Jerman. Kebanyakan sukarelawan berasal dari Batalyon Tank ke-3 Divisi 'Lombardia' dan divisi gunung elit Italia 'Julia'.

Unit ini, yang terdiri atas 20 orang perwira dan 571 orang prajurit, dinamakan sebagai Batalyon SS 'Debica'. Anggotanya dipandang sebagai bagian dari Waffen-SS, sekalipun mereka mengenakan seragam pasukan payung Jerman. Batalyon ini dikirimkan ke Italia pada musim panas 1944. Mereka beroperasi sebagai sebuah unit anti-partisan dan memerangi gerilyawan anti-Fasis Italia di wilayah Turin, Nocera Umbra, Assisi, dan San Severino Marchi. Mereka juga dilibatkan dalam pertempuran melawan pasukan Amerika di sebelah utara kota Roma serta mempertahankan Garis Gothic, dimana mereka menderita korban besar. Batalyon ini sendiri kemudian digabungkan ke dalam legiun SS Italia pada tanggal 7 September 1944.

Pada tanggal 2 Oktober 1943, Himmler memerintahkan pembentukan sebuah Waffen Militz (Milizia Armata) Italia setelah suatu pertemuan antara pemimpin SS itu dengan Mussolini pada tanggal 24 September 1943. Perintahnya antara lain menyatakan bahwa Milizia Armata itu akan terdiri atas dua divisi; batalyon-batalyonnya akan segera diperbantukan dalam operasi-operasi anti-partisan di Italia Utara; bahwa mereka hanya akan digunakan di tanah Italia; dan bahwa unit-unitnya kemudian akan digunakan untuk beroperasi di garis depan.

Para sukarelawan SS itu sendiri mendapatkan gaji dan ransum yang lebih baik daripada unit-unit Fasis Italia dan benar-benar independen dari pemerintahan Salo. Dari perintah Himmler ini terlihat jelas bahwa Mussolini tidak memiliki kekuasaan lagi seperti sebelumnya dan kini hanya merupakan boneka Hitler belaka.

Di bawah pengawasan SS-Brigadeführer Peter Hansen, pemimpin tertinggi SS dan Polisi Jerman di Italia, usaha perekrutan dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik propaganda Fasis. Contohnya, salam tiga jari dengan bagian muka telapak tangan diperlihatkan yang melambangkan "onore, corragio, fedelta" (kehormatan, keberanian, kesetiaan), maupun slogan-slogan seperti "Per l’onore, per la vita" (Demi kehormatan dan kehidupan).

Pada tanggal 9 Oktober 1943, Kepala Perekrutan SS Gottlob Berger melaporkan bahwa 13.062 sukarelawan Italia telah dikumpulkan di Münsingen. Selain itu, masih ada sekitar 1.700 sukarelawan lainnya yang sedang berada dalam perjalanan dengan kereta api dari Dresden, ditambah 1.000 lagi yang sedang dikirimkan dari selatan Prancis. Sebagai bentuk propaganda, Il Duce memproklamasikan suatu pernyataan bombastis bahwa para sukarelawan SS Italia merupakan pusat "jiwa Arya" di Italia.

Ada berbagai motivasi yang mendorong orang-orang Italia ini mendaftar sebagai sukarelawan Waffen-SS. Beberapa menjadi sukarelawan sebagai suatu bentuk protes menentang gencatan senjata yang ditandatangani Italia. Yang lainnya bergabung karena kesetiaannya terhadap Mussolini dan aliansi Poros dengan Jerman. Ada juga yang sangat anti komunis ataupun terkesan dengan daya tarik mistik SS. Namun, ada banyak juga yang bergabung dengan Waffen-SS agar bisa keluar dari kamp-kamp tawanan. Dalam hal ini, pihak SS terpaksa bekerja keras untuk menyortir para sukarelawan agar dapat mengeluarkan "para sukarelawan palsu" ini maupun para prajurit yang kualitasnya rendah dan mengirimkan mereka kembali ke kamp-kamp tawanan maupun penjara.

Hal yang menarik adalah konsep "SS Eropa" tidak terlalu diresapi oleh para sukarelawan Italia. Bisa jadi hal ini dikarenakan mereka tidak merasakan pengalaman legiun-legiun SS tahun 1941-1943 seperti para sukarelawan Eropa Barat lainnya. Setelah perang, seorang bekas veteran Waffen-SS Italia, Profesor Pio Filippani-Ronconi, menyampaikan bahwa banyak prajurit Italia bergabung dalam Waffen-SS untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah “prajurit biasa” melainkan "kelompok yang terbaik".

Himmler sendiri tetap tidak mempercayai para sukarelawan SS Italia. Dia bukan hanya menolak mengakui mereka sebagai prajurit “sejati” Waffen-SS, tetapi juga hanya menamakan unit tersebut dengan awalan ‘Waffen-Grenadier’ yang digunakan oleh para sukarelawan non-Jermanik – nama akhir dari unit Italia ini adalah 29.Waffen-Grenadier-Division der SS (Italienische Nr.1). Selain itu, Himmler juga melarang para prajurit unit tersebut mengenakan lambang SS lengkap. Sebagai gantinya, panji mereka disulamkan di atas sebuah sulaman kerah berwarna merah – bukan hitam seperti yang dikenakan anggota SS lainnya – sementara lambang rajawali yang digunakannya mencengkeram lambang Fasis dan bukan Swastika.

Namun beberapa orang prajurit SS Italia mendapat pengecualian dari kebijakan rasialis Himmler ini. Pada bulan Maret 1944, sebuah kontingen yang terdiri atas 50 orang sukarelawan Italia yang telah bertugas dalam Divisi SS Leibstandarte dipindahkan ke legiun SS Italia yang baru dibentuk. Kelompok ini dibentuk di Lichterfelde Kaserne, depot tenaga pengganti Leibstandarte di Berlin. Mereka dikirimkan dengan kereta api di bawah pengawasan SS-Oberscharführer Willy Detering ke Caldiero di dekat Verona, Italia, dimana staf komando Legiun SS Italia ditempatkan. Salah satu di antara mereka terdapat SS-Unterscharführer Giuseppe Medda, yang kemudian kehilangan kakinya saat gerilyawan Komunis Italia meledakkan markas sebuah batalyon SS Italia di Pinerolo pada bulan September 1944. Merekalah sukarelawan pertama Italia yang mengenakan panji kerah SS, sementara rekan-rekannya yang lain tetap mengenakan panji kerah berwarna merah.

Pelatihan para sukarelawan Italia sendiri sangat tersebar. Para prajurit infanterinya dikirimkan ke kamp pelatihan pasukan di Münsingen sementara unit-unit anti-tanknya dikirimkan ke Lecco. Para perwira SS Italia dikirimkan ke Ferrara untuk membentuk sebuah batalyon pelatihan perwira, sementara Markas Besar Legiun SS, yang juga dikenal dengan nama "Staf Pembentukan Hansen" berada di Pinerolo.

Pada tanggal 11 November 1943, para sukarelawan Italia di Münsingen mengucapkan sumpah kesetiaan kepada Adolf Hitler. Agar tidak mencederai kebanggaan diri orang Italia, sumpah itu mencantumkan kata-kata "Berdasarkan izin Presiden RSI Benito Mussolini, aku bersumpah akan setia kepada Panglima Tertinggi Kekuatan Poros".

Legiun SS Italia dinamakan sebagai Prima Brigata d’Assalto della Legione SS Italiana. Namun kemudian secara berturut-turut diganti menjadi 1.Italienische Freiwilligen-Sturmbrigade Milizia Armata dan 1.Sturmbrigade Italienische Freiwilligen-Legion.

Pada mulanya, brigade SS Italia dimaksudkan untuk memerangi kaum gerilyawan Italia. Namun, keadaan di garis depan memaksa Jerman melibatkan unit-unit SS Italia untuk memerangi pasukan Sekutu pula.

Pada bulan April 1944, dua batalyon SS Italia, 'Debica' dan 'Vendetta' dikerahkan ke garis depan untuk menghadapi pasukan Sekutu yang mendarat di pantai Anzio yang bermaksud menjepit pasukan Jerman yang beroperasi di Monte Cassino dan maju menuju ke Roma. Selama pertempuran pertama mereka, para prajurit SS pimpinan Waffen-Obersturmbannführer der SS Carlo Frederico degli Oddi itu bertempur dengan gagah berani dan dapat bertahan selama 70 hari. Selama pertempuran dahsyat itu, kedua batalyon tersebut kehilangan 340 dari 650 orang anggotanya.

Keberanian dan baiknya penampilan kedua batalyon SS tersebut membuat 22 orang anggotanya mendapatkan Eisernes Kreuz sementara 50 orang memperoleh kenaikan pangkat. Selain itu, 210 orang anggota kedua batalyon Italia yang selamat memperoleh hak istimewa dari Himmler pribadi untuk mengenakan sulaman kerah hitam SS sebagai ganti sulaman merah Italia mereka.

Setelah Roma jatuh ke tangan Sekutu pada awal Juni 1944, unit-unit SS Italia dipindahkan ke Italia baratdaya. Mereka terutama bertugas melawan kaum gerilyawan Italia di lembah Germanasca dan Gunung Orisiera.

Pada bulan September 1944. Militizia Armada Partai Fasis Italia digabungkan ke dalam Waffen-SS sehingga brigade SS Italia itu memperoleh nama baru, 9.Waffen-Grenadier Brigade der SS (Italienische Nr.1). Namun unit-unitnya begitu tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang memerangi gerilyawan.

Di bawah komandannya yang baru, SS-Standartenführer Gustav Lombard, unit-unit Waffen-SS Italia berpartisipasi dalam berbagai operasi anti-partisan melawan "Benteng Vinadio" kaum gerilyawan di dekat Turin bersama-sama dengan Brigade RSI ke-11 'Nera'. Sementara itu, Batalyon SS 'Debica' menjadi bagian dari SS-Kampfgruppe 'Binz' untuk menjaga lembah Trebbia.

Pada bulan April 1945, brigade SS Italia dinamakan kembali sebagai 29.Waffen-Grenadier-Division der SS (Italienische Nr.1). mereka menghabiskan sebagian besar sisa perang dengan memerangi gerilyawan. Para anggotanya yang tidak beruntung dan jatuh ke tangan kaum gerilyawan biasanya dieksekusi oleh penangkapnya setelah diadili di berbagai 'Komite Pembebasan Nasional' di Canzo dan Asso.

Pada akhir perang, Resimen 'Debica' (salah satu resimen yang membentuk divisi Waffen-SS Italia ini) menyerah kepada pasukan Amerika di Gorgonzola pada tanggal 29 April 1945. Tiga hari kemudian, rekannya, Resimen 'Vendetta', juga menyerah kepada pasukan Amerika setelah berteriak meratap "berjuang hingga akhir!"

Para pemimpin divisi ini:

- SS-Brigadeführer Peter Hansen (13 November 1943 - Maret 1944)
- SS-Obergruppenführer Karl Wolff (Maret 1944 - September 1944)
- SS-Brigadeführer Pietro Mannelli (September 1944)
- SS-Brigadeführer Christian Hansen (September 1944 - Oktober 1944)
- SS-Standartenführer Gustav Lombard (Oktober 1944 - November 1944)
- SS-Standartenführer Constantin Heldmann (9 November 1944 - Januari 1945)
- SS-Oberführer Erwin Tzchoppe (Januari 1945 - April 1945)


0 komentar:

Jumat, 07 September 2012

Adolf Hitler Lari Dan Mati Di Indonesia?

http://indocropcircles.files.wordpress.com/2011/08/buku-hitler-mati-di-indonesia-banyak-bukti-di-dalam-buku-ini.jpg?w=512&h=366
Buku yang membahas tentang Adolf Hitler di Indonesia

http://media.viva.co.id/thumbs2/2010/02/22/85639_makam_dr_poch_di_tpu_ngagel_utara__surabaya_663_382.jpg

http://media.viva.co.id/thumbs2/2010/02/22/85626_makam_dr_poch_di_tpu_ngagel_utara__surabaya_663_382.jpg
Makam dr. Poch yang diyakini sebagai Adolf Hitler di TPU Ngagel Utara, Surabaya

Sebenarnya artikel ini gua ambil dari entri tahun 2009 dari sebuah blog yang sering gua liat. Dengan alasan sangat menarik buat gua, sengaja gua muat kembali di blog gua ini.

Jika saja ada yang rajin menyimpan klipingan artikel harian "Pikiran Rakyat" sekitar tahun 1983, tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah rumah sakit besar di pulau tersebut.

Tapi bukan karena mengupas kerja dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang, bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada Perang Dunia II!

Beberapa "bukti" diajukannya, antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya, seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu dekat sang Führer. Dan masih banyak "bukti" lain yang dikemukakan oleh dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.

Keyakinan Sosro yang dibangunnya dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung 'penemuannya'. "Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja untuk menemukan bukti-bukti lain," kata lelaki yang lahir pada tahun 1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di Bandung.

Andai saja benar dr. Poch dan istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun, maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia 71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal 20 April 1889. "Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis," kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas kapal rumah sakit Hope.

Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak Sosro baru tahap kecurigaan saja.

Meskipun begitu, ia menyimpan beberapa catatan mengenai sejumlah "kunci" yang ternyata banyak membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!

Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.

Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul "Kisah Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator", yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.

Pada halaman 59, Linge mula-mula menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan keadaan Hitler pada waktu itu.

"Beberapa alinea dalam tulisan itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi 'Hitler'. Semuanya ada kesamaan," ungkap ayah empat anak ini.

Heinz Linge menulis, "Beberapa orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh... kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak, Hitler menderita kejang urat."

Linge melanjutkan, "Di samping itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar itu." Pada akhir artikel, Linge menulis, "Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan."

Lalu Sosro mengenang kembali beberapa dialog dia dengan "Hitler", saat Sosro berkunjung ke rumah dr. Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di kamp Auschwitz, tempat 'pembantaian' orang-orang Yahudi yang terkenal karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.

"Ketika saya tanya tentang kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha untuk lari menyelamatkan diri masing-masing," tutur Sosrohusodo.

Di sela-sela obrolan, dr. Poch mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya. Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan "Hitler" hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.

Yang membuat Sosro terkejut, dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa Jerman.

"Itu kan terjadi sewaktu tentara Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu, dan kamu memukul-mukul meja," ucap istrinya seperti ditirukan oleh Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler? Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan "Dolf", yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!

Setelah memperoleh cemoohan sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!

Untuk menemukan alamat nyonya S yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit mau juga nyonya S berterus terang.

Begitu juga dengan dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM) milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr. Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung. Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.

Dalam salah satu dokumen tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku itu milik suami nyonya S.

Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan lambang biologis laki-laki dan wanita. "Jadi kemungkinan besar, buku itu milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva Braun," tegasnya dengan suara yang agak parau.

Negara yang tertulis pada alamat ratusan orang itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada tulisan yang kalau diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).

Lalu, ada pula satu nama dalam buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38. secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.

Majalah Intisari terbitan bulan Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro. Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun 1947.

"Masih banyak alamat dalam buku ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya. Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para pelarian Nazi!" tandasnya.

Mengenai tulisan steno, diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam surat itu adalah steno Jerman "kuno" sistem Gabelsberger dan sudah lebih dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.

Tetapi penerbit berjanji akan mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti "Keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg". Kota ini terdapat di Austria.

Di dalamnya berkisah tentang "Kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg". Tidak disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang dikejar-kejar oleh pihak keamanan.

Di dalamnya juga terdapat singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. "Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya," Sosrohusodo memberikan alasan.

Dari singkatan-singkatan itu, lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R (Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!

Ia mengutip salah satu tulisan dalam steno tadi : "Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil meninggalkan Eropa". Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom (tanpa huruf akhir A). Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan lainnya.

Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. "Ini juga menunjukkan rute pelarian mereka," katanya lagi.

Lalu bagaimana komentar nyonya S yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian DIIYAKAN BAHWA DIRINYA ADALAH HITLER! "Tapi jangan bilang sama siapa-siapa," begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.

Membaca dan menyimak ulasan dr. Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga negara.

Bahkan Sosrohusodo sudah membuat semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai pihak, namun belum ada tanggapan. "Padahal tidak ada maksud apa-apa di balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di Indonesia," katanya mantap.

Bukan hanya Sosro yang mempunyai teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti utama berupa jenazah!

Adalah tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo, nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya dr. Poch.

Sedikit tambahan yang saya kutip dari Vivanews:

Adolf Hitler, diktator Jerman dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas pembantaian bangsa Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di Indonesia -- sebagai dr Poch, dokter tua asal Jerman.

Menurut mantan pasiennya, Ahmad Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.

Ketika istrinya itu kembali ke negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya, mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.

Ada lagi fakta menarik soal dr Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena menikah dengan perempuan muslim.

"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.

dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.

Keterangan Ahmad bersesuaian dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.

Kata Sosro, setelah istrinya yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial 'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.

Awalnya 'S' menutup mulut, namun akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya, termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.

Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.

"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.

Ada juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar. 

Istri kedua Poch, 'S' juga menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang siapa-siapa."

Poch yang diduga adalah Hitler meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.

Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'. 

Apakah Hitler benar tewas bunuh diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih harus dikaji kebenarannya.


Sumber:

0 komentar:

Rabu, 05 September 2012

Pertempuran Dieppe, Operasi Militer Sekutu Yang Gagal

Kota Dieppe dilihat dari ketinggian. Di tempat ini pihak Jerman sudah bersiap sedia

Sebuah markas senapan mesin MG-34 Jerman


Sebuah tank Churchill Inggris sedang diinspeksi oleh pihak Jerman


Mayat prajurit Kanada berserakan di pantai Blue di Puys. Tingginya tembok laut dapat terlihat di foto ini, dengan sarang senapan mesin yang terletak persis di atas kepala prajurit penjaga Jerman. Posisinya sengaja diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan menjangkau seluruh bagian samping luar tembok


Prajurit Kanada tergeletak tak bernyawa di tepi pantai, sementara sebuah kapal pendarat yang hancur dan mengeluarkan asap terlihat di latar belakang. Sebuah benteng pertahanan Jerman di sebelah kanan yang terbuat dari beton mempunyai jangkauan seluruh wilayah pantai di sekitarnya. Disini kita juga bisa melihat garis pantai yang menanjak


Mayat para prajurit Sekutu di sebuah kapal pendarat. Kemungkinan besar mereka tewas akibat hantaman artileri atau tembakan senapan mesin berat sebelum mereka keluar


Dua tentara Kanada yang terluka di pantai. Di dekat mereka terdapat tank Churchill yang sudah ditinggalkan para awaknya dan sebuah kapal pendarat yang terbakar


Mobil lapis baja Daimler Dingo dan dua buah tank Churchill teronggok di tepi pantai Shingle. Tank Churchill yang paling depan dilengkapi dengan alat penyembur api yang terpasang di lambungnya, sementara tank di belakangnya telah kehilangan rantai rodanya. Keduanya mempunyai alat tambahan untuk meninggikan knalpot saat berjalan di air dangkal


Pantai Dieppe setelah pertempuran usai


Baru datang sudah diusir lagi! Inilah yang terjadi pada pasukan Sekutu saat Pertempuran Dieppe (Operasi Rutter/Operasi Jubilee). Maksud hati ingin merebut pelabuhan yang ada di kota tersebut, yang mereka malah dapat rugi besar!

Bagaimana hal itu bisa terjadi? Inilah jalan ceritanya:

Tak lama setelah evakuasi besar-besaran British Expeditionary Forces (BEF) dari Dunkirk, pihak Inggris mulai mengembangkan sebuah pasukan penyerbu utama di bawah payung ‘Operasi Bersama’. Hal ini diikuti oleh pengembangan teknik-teknik serta peralatan yang dibutuhkan untuk operasi amfibi. Pada akhir tahun 1941 sebuah skema mulai dirancang mengenai pendaratan 12 buah divisi di Le Havre yang diharapkan akan terjadi setelah pasukan Jerman menarik pasukannya untuk menghadapi kesuksesan Soviet di Timur. Dari hal inilah lahir sebuah proposal pendaratan percobaan yang dinamai dengan Operasi Rutter. Rutter dimaksudkan untuk menguji kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam penguasaan sebuah pelabuhan yang diduduki oleh musuh, juga mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan pengoperasian armada penyerbu, dan pengujian peralatan serta teknik-teknik pendaratan.
Dieppe, sebuah kota pantai di departemen Seine-Maritime Prancis, dibangun di deretan jurang karang panjang yang menghadap Selat Inggris. Sungai Scie terletak di ujung barat kota tersebut, sementara Sungai Arques mengalir melalui kota dan bermuara di sebuah pelabuhan berkapasitas sedang. Pada tahun 1942, pihak Jerman telah meledakkan beberapa bangunan yang menghadap pantai demi memberi jalan terhadap upaya pertahanan pantai. Mereka juga telah menempatkan dua baterai artileri raksasa di Berneval dan Varengeville. Satu pertimbangan utama para perencana Jerman dalam membangun itu semua adalah karena Dieppe berada dalam jangkauan pesawat-pesawat Royal Air Force Inggris.

Penyerbuan Dieppe adalah sebuah operasi besar yang direncanakan oleh Admiral Lord Mountbatten dari Markas Besar Combined Operations (Operasi Bersama). Pasukan penyerbu akan terdiri dari sekitar 5.000 orang prajurit Kanada, 1.000 prajurit Inggris, dan 50 prajurit Ranger Amerika. Royal Navy akan menyediakan 237 kapal laut dan kapal pendarat, sementara Royal Air Force menyediakan 74 skuadron pesawat udara, dimana 66 di antaranya adalah skuadron pemburu.
Operasi ini pertama dirancang pada bulan April 1942 oleh Markas Besar Operasi Bersama dan dinamakan sebagai "Operasi Rutter". Sekutu bermaksud untuk melancarkan sebuah serbuan, dengan jumlah penyerang seukuran divisi, terhadap pelabuhan di pantai Prancis yang diduduki Jerman dan kemudian mendudukinya setidaknya selama dua kali laut pasang. Serbuan ini diharapkan akan menimbulkan kerusakan besar terhadap fasilitas pertahanan musuh. Rancangan operasi tersebut kemudian mendapat persetujuan dari Kepala Staff bulan Mei 1942. di dalamnya termasuk skema serangan unit-unit parasut Inggris terhadap baterai-baterai artileri Jerman di sebuah tanjung, sementara pasukan infanteri Kanada akan melancarkan serangan frontal dari lautan. Entah kenapa, operasi dari udara ini kemudian dibatalkan, dan sebagai penggantinya maka Komando No.3 dan Komando No.4 akan menyerang baterai artileri dari pantai. Di bulan Juni, BBC mulai menyiarkan siaran radio peringatan terhadap warga sipil Prancis terhadap akan adanya sebuah "perang pesisir", dan mendorong mereka untuk cepat-cepat mengungsi dari distrik-distrik pantai di daerah Prancis yang diduduki.
Pasukan untuk operasi penyerbuan ini diambil dari Komando Tenggara dan Operasi Bersama, di bawah pimpinan Lieutenant General Bernard Law Montgomery. Rencana penyerbuannya sendiri terlihat standar dan tanpa imajinasi, dengan mengandalkan serangan frontal tanpa didahului oleh bombardemen artileri terlebih dahulu. Di bawah tekanan dari pemerintah Kanada yang menginginkan agar pasukan mereka dapat sesegera mungkin terjun dalam pertempuran, maka 2nd Canadian Infantry Division di bawah pimpinan Major General John Hamilton Roberts dipilih sebagai pasukan utama.
Dukungan lapis baja diberikan oleh 14th Armoured Regiment (The Calgary Regiment) dengan mengandalkan 58 buah tank Churchill terbaru yang dikirimkan menggunakan LCT (Landing Craft Tank). Tanknya sendiri mempunyai perlengkapan yang beragam, dengan tank-tank bersenjatakan meriam utama QF 2 dilengkapi dengan Howitzer pendukung di bagian lambung, beroperasi bersama-sama dengan tank bersenjatakan meriam QF 6. Sebagai tambahan, tiga buah Churchill dipersenjatai dengan penyembur api. Semua tank telah diujicoba terlebih dahulu sehingga memungkinkan mereka dapat beroperasi di perairan dangkal di dekat pantai.

Laporan intelijen Sekutu untuk wilayah yang akan dijadikan operasi pendaratan benar-benar tidak bisa diandalkan: sebenarnya terdapat posisi pertahanan meriam Jerman yang terdapat di bukit-bukit sekitar, tapi mereka tidak terdeteksi oleh para fotografer pengintai udara. Para perencana serangan memastikan bahwa lokasi pendaratan cukup cocok untuk didarati oleh tank serta bukit-bukitnya tidak terlalu curam, semuanya dengan hanya mengandalkan hasil penelitian terhadap foto-foto liburan turis Inggris di masa pra-perang! Jelasnya, mereka telah meremehkan kekuatan pertahanan Jerman dan juga wilayah operasinya.
Bagaimana dengan pihak Jerman sendiri? Mereka telah dalam keadaan siaga penuh setelah sebelumnya mendapat peringatan dari agen ganda Prancis bahwa Inggris menaruh "perhatian" terhadap wilayah di sekitar Dieppe. Unit-unit Nachrichtentrupen (sandi) juga telah mendeteksi adanya lalu-lintas radio yang semakin meningkat, sementara kendaraan-kendaraan pendarat terlihat dikumpulkan di pelabuhan-pelabuhan selatan Inggris.
Dieppe dan bukit-bukit yang mengelilinginya kini telah diperkuat sebaik mungkin oleh garnisun berkekuatan 1.500 orang yang anggotanya berasal dari 302.Infanterie-Division (yang terdiri dari Infanterie-Regiment 570, 571 dan 572, yang masing-masing terdiri dari dua batalyon, juga Artillerie-Regiment 302, Batalyon Pengintai 302, Batalyon Anti-Tank 302, Batalyon Zeni 302, dan Batalyon Sandi 302). Mereka disebar disepanjang pantai Dieppe juga kota-kota tetangga, dan menutupi setiap tempat yang berpotensi dijadikan lokasi pendaratan oleh musuh. Selain diperkuat oleh senapan mesin, mortir dan artileri, kota dan pelabuhan Dieppe juga dipenuhi oleh konsentrasi pasukan yang memblok jalan-jalan utama (terutama di gua-gua yang banyak terdapat di bukit karang), plus tambahan pasukan cadangan di garis belakang. Pihak yang bertahan tidak hanya ditempatkan di kotanya, tapi juga di wilayah terbuka antara satu kota dengan kota lain yang berdekatan, dan di dataran tinggi yang mengelilingi pantai. Pasukan pertahanan Jerman memfokuskan diri untuk membangun garis pertahanan di seluruh wilayah Dieppe. Elemen-elemen dari Infanterie-Regiment 571 mempertahankan stasiun radar Dieppe yang terletak di dekat Pourville dan baterai artileri di sungai Scie yang berada di Varengeville. Di sebelah baratnya, Infanterie-Regiment 570 ditempatkan di dekat baterai artileri yang berada di Berneval.
Untuk pasukan udaranya, Luftwaffe mengerahkan Jagdgeschwader 2 (JG2) dan Jagdgeschwader 26 (JG-26) yang berkekuatan 200 pesawat tempur (kebanyakannya tipe Focke Wulf Fw-190) ditambah dengan 100 buah bomber dari Kampfgeschwader 2 (KG-2), Kampfgeschwader 45 (KG-45) dan Kampfgeschwader 77 (KG-77) dengan pesawat utamanya yaitu Dornier Do-217.

Pendaratan di Dieppe sendiri direncanakan akan dilaksanakan di empat pantai yang bersandi East-West Blue, Red, White dan Green. Royal Regiment of Canada akan mendarat di pantai Blue. Pendaratan utama dilaksanakan di pantai Red dan White dan akan dilakukan oleh Royal Hamilton Light Infantry, Essex Scottish Regiment, Les Fusiliers Mont-Royal, sebuah Commando Royal Marines dan 14th Canadian Armoured Regiment. South Saskatchewan Regiment dan Queen's Own Cameron Highlanders of Canada akan mendarat di pantai Green.
Armada Sekutu meninggalkan pantai selatan Inggris di malam tanggal 18 Agustus 1942, didahului oleh kapal penyapu ranjau yang membuka jalur pelayaran di selat Inggris bagi mereka. Armada tersebut terdiri dari delapan kapal perusak dan kapal-kapal motor bersenjata yang mengawal kapal pendarat serta kapal barkas. Pendaratan direncanakan akan dimulai pukul 04:50 subuh tanggal 19 Agustus 1942, dengan dimulai oleh serangan terhadap dua buah baterai artileri yang mengapit wilayah pendaratan utama. Ini termasuk Varengeville oleh No. 4 Commando, Pourville oleh South Saskatchewan Regiment dan Queen's Own Cameron Highlanders of Canada, Puys oleh Royal Regiment of Canada, dan Berneval oleh No. 3 Commando. Dalam perjalanan mereka menuju ke tempat tujuan di Puys dan Berneval, pasukan penyerbu yang menaiki kapal pendarat serta pengawal berpapasan dengan konvoy kecil kapal Jerman dan beradu tembakan pukul 03:48.

Tugas yang dibebankan kepada Lieutenant Colonel John Durnford-Slater dan No.3 Commando adalah untuk melakukan dua pendaratan sejauh 13km (8 mil) di timur Dieppe yang bertujuan untuk menetralisir baterai pantai di dekat Berneval. Baterai tersebut mampu menembak lokasi pendaratan lain di Dieppe sampai sejauh 6,4km (4 mil) ke arah barat. Tiga buah meriam 170mm dan empat 105mm dari Baterai 2/770 harus "didiamkan" pada saat pasukan penyerang utama mendekati pantai pendaratan. Kapal yang membawa No.3 Commando ke pantai di sebelah timur tidak mendapat peringatan terlebih dahulu akan datangnya sebuah konvoy kapal Jerman yang sebelumnya telah terdeteksi oleh stasiun radar “Chain Home” Inggris jam 21:30. S-Boat Jerman yang mengawal sebuah kapal tanker mentorpedo beberapa kapal pendarat dan merusak Steam Gun Boat 5 yang mengawalnya. Mendapat serangan ini, Motor Launch 346 dan Landing Craft Flak 1 bersama-sama mengusir kapal Jerman. Tapi grup tersebut terpencar satu sama lain, dan kini pertahanan pantai Jerman telah "terbangun". Hanya 18 orang Komando yang mendarat di pantai yang tepat. Mereka mencapai garis batas Baterai melalui Berneval dan menyerbu dengan menggunakan senapan ringan. Meskipun tak mampu menghancurkan meriam yang menjadi sasaran, tembakan mereka yang dilakukan dari tempat yang tersembunyi berhasil mengalihkan perhatian para awak baterai Jerman sehingga gunner mereka menembak dengan liar tanpa ada laporan kapal Sekutu yang tenggelam satu pun karena ulahnya! Akhirnya pasukan Komando dipaksa mundur di tengah hadapan musuh yang berkekuatan jauh lebih banyak.
Tugas yang dibebankan kepada Lieutenant Colonel Lord Lovat dan No.4 Commando (termasuk 50 orang Rangers dari Angkatan Darat Amerika Serikat) adalah untuk melakukan dua pendaratan sejauh 9,7km (6 mil) di barat Dieppe demi menetralisir baterai pantai di dekat Varengeville. Setelah mendarat di sisi kanan mereka mendaki bukit karang, dan berhasil melakukan tugas mereka, "mendiamkan" sebuah baterai artileri yang berkekuatan enam buah meriam 150mm. Ini tercatat sebagai kesuksesan SATU-SATUNYA dari Operasi Ceilee eh Jubilee! Pasukan Komando kemudian mundur pukul 07:30 sesuai dengan rencana. Kebanyakan anggota No.4 Commando berhasil kembali dengan selamat ke Inggris. Serangan mereka kemudian digolongkan sebagai sebuah contoh bagi serangan pasukan Komando di masa depan, sementara Lord Lovat dianugerahi Distinguished Service Order dan Captain Patrick Porteous dari No.4 Commando mendapat Victoria Cross atas perannya dalam serangan ini.

Pertempuran laut antara konvoy kecil Jerman dengan kapal yang membawa No.3 Commando telah menyiagakan para pasukan pertahanan Jerman di Pantai Blue. Pendaratan di dekat Puys sendiri dilakukan oleh Royal Regiment of Canada ditambah dengan tiga peleton dari Black Watch of Canada dan sebuah detasemen artileri yang diberi tugas untuk menetralisir baterai artileri serta senapan mesin yang melindungi pantai Dieppe. Mereka terlambat 20 menit dari jadwal yang ditentukan sehingga asap pelindung yang seharusnya menutupi aksi mereka kini telah terangkat. Dengan hilangnya unsur kejutan serta kegelapan, kini pasukan Jerman telah siap-siaga di posisi mereka masing-masing sambil bersiap menanti kedatangan pasukan pendarat. Mereka telah terlindungi dengan baik dan mampu membuat pasukan Kanada (yang kemudian mendarat) tertahan di tempatnya. Tak lama setelah mencapai pantai, orang-orang Kanada ini mendapati diri mereka terjebak antara pantai dengan pasukan musuh sehingga tak mampu untuk bergerak. Royal Regiment of Canada secara resmi hancur lebur alias musnah alias euweuh deui alias wani piro: dari 556 orang anggota resimen ini, 200 orang tewas sementara 264 orang tertawan!
Di pantai Green, pada saat yang bersamaan dengan mendaratnya No.4 Commando, South Saskatchewan Regiment berangkat menuju Pourville. Mereka mendarat pukul 04:52 tanpa terdeteksi. Resimen ini mampu meninggalkan kapal pendarat mereka sebelum pasukan Jerman membuka tembakan. Sialnya, di tengah pendaratan beberapa kapal pendarat telah terbawa arus sehingga kebanyakan anggota batalyon mendapati diri mereka mendarat di sebelah barat sungai Scie dan bukan di sebelah timurnya! Karena mereka telah mendarat di tempat yang salah, maka resimen ini (dengan bukit target mereka berada di sebelah timur desa) mau tidak mau harus memasuki Pourville demi melintasi sungai dengan jembatan satu-satunya yang terdapat disitu. Sebelum Saskatchewan mencapai jembatan, pasukan Jerman telah menempatkan senapan mesin dan senjata anti-tank untuk memblok pergerakan mereka. Tentu saja penyeberangan ini berubah menjadi neraka, dengan tentara yang tewas serta luka-luka memenuhi jembatan. Melihat ini, sang komandan (Lieutenant-Colonel Charles Cecil Ingersoll Merritt) dengan gagah berani maju ke depan dan berteriak kepada anakbuahnya: "Ayolah cepat! Tak ada apa-apa disini!" Penyerangan dimulai kembali, tapi tak ada satupun wilayah yang berhasil diduduki. Saskatchewan dan Cameron Highlanders of Canada, yang mendarat di sebelah mereka, tak mampu mencapai target yang dibebankan. Meskipun Cameron mampu melakukan penetrasi lebih dalam dibandingkan dengan pasukan lain di hari itu, tapi mereka pun tak lama kemudian dipaksa untuk mundur kembali saat pasukan cadangan Jerman dikirimkan secara buru-buru ke lokasi pertempuran. Dengan waktu yang semakin menipis, kedua resimen ini menderita lebih banyak lagi korban saat mereka mundur. Hanya 341 orang yang mampu mencapai kapal pendarat dan kabur, sementara yang lainnya dipaksa untuk menyerah. Untuk perannya dalam pertempuran ini, Letkol Merritt dianugerahi Victoria Cross.

Salah satu sasaran penyerbuan Dieppe adalah untuk menemukan peran penting serta akurasi dari sebuah stasiun radar Jerman yang terletak di puncak bukit sebelah timur kota Pourville. Untuk mencapainya, Flight Sergeant Jack Nissenthall dari RAF (yang merupakan seorang pakar radar) diperbantukan di South Saskatchewan Regiment. Dia akan dimasukkan ke stasiun radar dan kemudian mempelajari rahasia-rahasia penting yang terkandung di dalamnya. Tentu saja dia tidak sendirian dalam menjalankan tugasnya, melainkan dibantu oleh sebuah unit kecil yang terdiri dari 11 orang Saskatchewan sebagai bodyguard. Nissenthall menawarkan diri secara sukarela untuk bergabung dalam misi ini dan mengetahui betul bahwa, karena pengetahuannya yang sangat luas akan teknologi radar Sekutu, maka para bodyguard Saskatchewan-nya akan membunuhnya bila diperlukan demi mencegah dia jatuh ke tangan Jerman! Tidak hanya itu, dia juga membawa sebuah pil sianida sebagai usaha pengamanan terakhir. Nissenthall dan para pengiringnya gagal memasuki stasiun radar karena pertahanan musuh yang terlalu kuat, meskipun Nissenthall kemudian mampu untuk merangkak ke bagian belakang stasiun di bawah rentetan tembakan dan berhasil memutus semua sambungan telepon yang menuju ke stasiun tersebut. Hal ini memaksa para awak stasiun di dalam untuk beralih menggunakan sambungan transmisi radio untuk berbicara dengan komandannya, transmisi yang sudah disadap oleh para "penguping" Sekutu di pantai selatan Inggris. Sekutu mampu mempelajari banyak hal tentang larik antena stasiun radar Jerman di sepanjang pantai Channel karena tindakan yang sederhana ini, dan yang meyakinkan mereka akan pentingnya mengembangkan teknologi pengacak radar. Dari unit kecil ini, hanya Nissenthall dan satu lagi yang berhasil kembali dengan selamat ke Inggris.

Untuk mempersiapkan wilayah yang akan menjadi lokasi pendaratan utama, empat buah kapal perusak membombardir pantai saat kapal pendarat mendekat. Pukul 05:15 mereka dibantu oleh lima buah skuadron Hurricane RAF yang membom pertahanan pantai dan mengeluarkan pelindung asap yang menutupi pasukan penyerang. Antara pukul 05:20 dan 05:23, 30 menit setelah pendaratan pertama dilakukan, serangan frontal utama dilakukan oleh Essex Scottish dan Hamilton Light Infantry. Pasukan infanteri ini tadinya akan dilindungi oleh tank-tank Churchill dari 14th Canadian Armoured Regiment yang mendarat di waktu yang sama, hanya saja mereka kemudian tiba di pantai lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Sebagai akibatnya, dua resimen infanteri mau tidak mau harus menyerang tanpa perlindungan kendaraan lapis baja. Mereka menghadapi tembakan gencar senapan mesin yang datang dari tempat-tempat perlindungan yang digali di bukit-bukit yang berdekatan. Pasukan Sekutu menjadi bulan-bulanan tembakan Jerman. Ketika tank-tank akhirnya datang, hanya 29 saja yang mendarat. Dua di antaranya nyungseb di air dalam, dan 12 lainnya tak mampu bergerak sama sekali di lapisan pasir pantai yang lunak. Hanya 15 tank yang mampu melintasi benteng laut, tapi kemudian mereka menghadapi serangkaian rintangan tank yang menghalangi mereka dari memasuki kota. Karena tidak bisa maju, mereka akhirnya dipaksa untuk kembali ke pantai demi menyediakan tembakan perlindungan bagi pasukan infanteri yang kini juga sama-sama mundur. Tak ada satupun tank ini yang berhasil kembali ke Inggris. Semua awaknya yang mendarat kemudian terbunuh atau tertangkap.
Tanpa sadar akan situasi yang terjadi di pantai akibat halangan asap pelindung yang disebarkan oleh kapal perusak, Mayjen Roberts mengirimkan dua unit cadangan ke garis depan: Fusiliers Mont-Royal dan Royal Marines. Pukul 07:00 Fusiliers, di bawah komando Lieutenant-Colonel Dollard Ménard, berangkat menuju pantai dengan menggunakan 26 buah kapal pendarat. Mereka langsung disambut oleh pasukan Jerman dengan "selayaknya", yang menghujani mereka dengan tembakan senapan mesin, mortir, dan granat. Fusiliers hancur total, dan hanya beberapa orang yang mampu mencapai kota. Orang-orang ini pun bernasib tidak kalah naasnya, karena sekarang mereka harus melalui tengah-tengah kota Dieppe dan terjebak di bawah bukit karang. Robert lalu memerintahkan Royal Marines untuk menolong mereka. Pasukan ini tidaklah dirancang sebagai pasukan pendukung Fusiliers, dan mereka harus dipindahkan terlebih dahulu dari gunboat dan motorboat ke kapal pendarat. Tak hanya itu, kapal mereka pun dihajar habis-habisan saat mencoba mendarat sehingga banyak di antaranya yang hancur atau rusak. Royal Marines yang berhasil sampai ke pantai kemudian tewas atau tertangkap. Setelah insyaf akan situasi gawat darurat yang kini terjadi, komandan Royal Marines (Lieutenant-Colonel Phillipps) berdiri di atas buritan kapal pendaratnya dan memberi sandi kepada sisa anakbuahnya untuk kembali lagi. Beberapa saat kemudian dia tewas terbunuh...

Selama penyerbuan, sebuah peleton mortar dari Calgary Highlanders yang dikomandani oleh Lieutenant F.J. Reynolds diikutsertakan pada tim pendarat, tapi kemudian mereka tetap berada jauh dari pantai setelah dua buah tank yang berada bersama mereka di kapal (diberi nama sandi Bert dan Bill) mendarat. Nama Sergeant Lyster dan Pittaway kemudian disebutkan dalam laporan pasca-pertempuran atas aksi mereka menembak jatuh dua buah pesawat Jerman, sementara seorang perwira dari resimen tersebut terbunuh saat berada di pantai bersama markas brigade.
Pada pukul 11:00, di bawah tembakan gencar pihak Jerman, gerakan mundur dari pantai pendaratan utama mulai dilakukan dan baru selesai pukul 14:00.

Korban penyerbuan Dieppe tercatat sebagai berikut: 3.367 prajurit Kanada dan 275 pasukan Komando Inggris tewas, luka-luka atau ditawan. Royal Navy kehilangan satu buah kapal perusak dan 33 kapal pendarat, juga 550 orang yang tewas atau terluka. RAF kehilangan 106 pesawat sementara Luftwaffe 48. Korban di pihak Angkatan darat Jerman sendiri tercatat 591 orang.
Medali Victoria Cross dianugerahkan kepada tiga orang yang terlibat dalam operasi ini: kepada Captain Porteous, No. 4 Commando; Reverend John Weir Foote, pendeta di Royal Hamilton Light Infantry; dan Lieutenant-Colonel Merritt dari South Saskatchewan Regiment. Baik Foote maupun Merritt menjadi tawanan perang. Dua tahun kemudian (1944), 2nd Canadian Infantry Division berhasil membebaskan Dieppe dari tangan Jerman, sementara Mayjen Roberts yang menjadi komandan mereka telah dipindahkan untuk menjadi komandan unit cadangan di Inggris.

Jenderal Montgomery ditunjuk menjadi komandan 21st Army Group sekaligus sebagai panglima seluruh pasukan darat dalam pendaratan di Normandia bulan Juni 1944. Pada bulan Oktober 1943 Laksamana Mountbatten ditunjuk sebagai Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara. Mountbatten kemudian membenarkan penyerbuan ke Dieppe dengan mengatakan bahwa pelajaran yang diambil dari penyerbuan tersebut kemudian banyak membantu pihak Sekutu dalam pertempuran-pertempuran selanjutnya. Dia kemudian mengklaim, "Aku tak punya keraguan sedikitpun bahwa Pertempuran Normandia sebenarnya dimenangkan di pantai Dieppe. Untuk setiap orang yang gugur di Dieppe tahun 1942, setidaknya 10 orang telah terselamatkan di Normandia tahun 1944." Klaim ini diperdebatkan oleh sejarawan militer Mayjen Julian Thompson. Penyerbuan amfibi di Afrika Utara dilakukan hanya tiga bulan setelah Dieppe, dan pendaratan Normandia yang lebih sukses dilakukan dua tahun setelahnya.
Tak lama setelah kehancuran di Dieppe, pihak Inggris mengembangkan kendaraan lapis baja khusus dari berbagai jenis yang memungkinkan para awaknya melakukan tugas-tugas berbahaya dengan terlindungi oleh lapisan baja. Bencana Dieppe juga menyadarkan Sekutu untuk lebih menggalakkan dukungan tembakan kapal laut saat penyerbuan amfibi dilakukan, dan ini juga termasuk pembombardiran dari udara. Operasi ini telah menunjukkan begitu banyak kekurangan dalam teknik-teknik pelindung darat RAF, sehingga tak lama kemudian didirikanlah sebuah Unit Taktis Angkatan Udara yang terintegrasi yang bertujuan sepenuhnya untuk mendukung ofensif di darat.
Operasi udara Sekutu dalam rangka mendukung Operasi Jubilee berujung pada beberapa pertempuran udara paling sengit dari sejak tahun 1940. tujuan utama RAF adalah untuk memberikan payung perlindungan di atas pasukan penyerang amfibi serta lokasi pendaratan, plus untuk memaksa Luftwaffe terjun ke dalam perang habis-habisan di tengah medan yang ditentukan oleh Sekutu. Sekitar 51 skuadron pemburu Spitfire dikerahkan, bersama dengan delapan skuadron pemburu-pembom Hurricane, empat skuadron pengintai Mustang Mk Is dan tujuh skuadron grup pembom ringan no.2. untuk menghadapinya, Luftwaffe mengerahkan 120 pemburu yang operasional dari Jagdgeschwader 2 dan 26 (JG-2 dan JG-26), pesawat-pesawat pembom Dornier Do-217 dari Kampfgeschwader 2 dan berbagai elemen pembom anti kapal laut yang berasal dari III./KG-53, II./KG-40 dan I./KG-77.

Meskipun pada awalnya rada terlambat merespons operasi pendaratan tersebut, pemburu-pemburu Jerman mulai membuat kehadiran mereka dirasakan seiring dengan berlalunya waktu. Meskipun (lagi) pesawat-pesawat pemburu Sekutu cukup sukses dalam melindungi pasukan darat dan laut dari serangan pembom Jerman, tapi mereka kelimpungan ketika harus berhadapan dengan pilot-pilot Jagdgeschwader yang berpengalaman.
Seusai pertempuran, Komando Pemburu Inggris dengan percaya diri mengatakan bahwa mereka telah menimbulkan korban besar buat Luftwaffe. Fakta di lapangan membuktikan sebaliknya! Korban di pihak Sekutu berjumlah 106 pesawat, termasuk 88 buah pesawat pemburu RAF yang hancur atau rusak. Dari jumlah ini, 44 Spitfire menjadi korban dalam pertempuran udara dan sisa tiga lagi hancur oleh tembakan Flak dari darat. 23 pesawat lainnya hancur atau rusak oleh Flak, atau disebabkan kecelakaan. Jumlah keseluruhan Spitfire yang hancur atau rusak adalah 70 buah. Selain itu, 18 pembom juga menjadi korban. Di pihak Luftwaffe, 48 pesawat hancur. Dari jumlah ini, 28 di antaranya adalah pembom, yang setengah di antaranya adalah Dornier Do-217 dari KG-2. Satu dari dua Jagdgeschwader yang terlibat, JG-2, kehilangan 14 Focke Wulf Fw 190 dan delapan pilotnya yang terbunuh. JG-26 kehilangan enam Fw-190 bersama dengan pilotnya.
Saat pendaratan terjadi, Brigadier William Wallace Southam membawa ke pantai sebuah salinan rencana penyerangan yang diklasifikasikan sebagai dokumen super rahasia. Meskipun dia mencoba menguburnya di bawah kerikil saat menyerah kepada pasukan Jerman, tapi usahanya diketahui oleh penawannya sehingga salinan tersebut jatuh ke tangan Wehrmacht. Rencana penyerangan, yang kemudian dikritik pedas karena ukurannya yang besar dan tahapannya yang terlalu rumit, mengandung perintah untuk memborgol tawanan. Tidak hanya itu, pihak Wehrmacht kemudian menerima laporan akan adanya mayat seorang tawanan Jerman terbawa arus ke pantai dengan tangan terikat ke belakang tak lama setelah tentara Kanada mundur. Ketika hal ini disampaikan kepada Hitler, dia memerintahkan agar balik memborgol setiap tentara Kanada yang tertangkap. Tidak mau kalah, pihak berwenang Inggris dan Kanada langsung memerintahkan hal yang sama terhadap tawanan Jerman yang disekap di Kanada. Meskipun pemerintahan Kanada menentang perlakuan ini, yang mereka anggap akan berpengaruh buruk terhadap warga mereka yang menjadi tawanan Jerman, tapi pada akhirnya mereka nurut juga demi mempertahankan hubungan baik serta persatuan dengan induk semangnya, Inggris. Ujung-ujungnya, seperti yang telah diduga oleh Kanada, perintah pemborgolan ini menjadi penyebab utama dari masalah besar dan satu-satunya pemberontakan terbuka di sebuah kamp tawanan Kanada dalam Perang Dunia II, suatu peristiwa yang dikenal dengan nama "Battle of Bowmanville". Tidak mau membuat masalah lagi, pihak Kanada dan Jerman tak lama kemudian mencabut kebijakan ini setelah adanya campur tangan dari negara netral Swiss.
Jerman memutuskan untuk memberi hadiah terhadap kota Dieppe akan tindakannya yang tidak membantu pasukan penyerang dengan membebaskan semua tawanan Prancis asal Dieppe yang berada dalam kamp mereka, dan bahkan tidak protes sedikitpun saat menerima daftar panjang orang-orang yang harus dibebaskan yang diserahkan oleh pejabat kota Dieppe. Akibatnya, ratusan tawanan Prancis dipersilakan untuk menghidup udara bebas, dengan banyak di antaranya bahkan belum pernah menginjakkan kaki di Dieppe! Sebagai tambahan, Hitler memberikan hibah 10 juta francs kepada kota tersebut.
Kesaksian dari tangan pertama serta memoar dari banyak veteran Kanada yang mendokumentasikan pengalaman mereka di pantai Dieppe sama-sama memberitakan tentang kesiapan pihak pertahanan Jerman yang tidak biasa, seakan-akan mereka tahu akan adanya serangan jauh sebelum waktunya. Salah seorang perwira yang ikut terlibat, Lieutenant Colonel Labatt, bersaksi bahwa dia melihat sebuah papan-papan penunjuk yang digunakan untuk latihan mortir, yang tampaknya belum lama dipasang, di pantai. Tidak hanya itu, saat baru saja mendarat di pantai Dieppe, kapal-kapal pendarat langsung dihantam oleh bom-bom artileri dengan ketepatan yang mengejutkan. Adanya tanda penunjuk latihan serta pemboman yang jitu menjadi petunjuk akan adanya sebuah pasukan yang siap-sedia. Di tempat lain, saat interogasi terhadap seorang tawanan Jerman dilakukan, Major C. E. Page menemukan bahwa empat batalyon senapan mesin sengaja dibawa secara "special pake telor" sebagai antisipasi serangan! Bagaimanapun, faktor utama yang membuat Sekutu yakin bahwa Jerman telah bersiap-sedia menghadapi pendaratan berminggu sebelumnya adalah kesaksian dari begitu banyak tawanan Jerman, pihak Jerman yang menangkap tentara Sekutu, serta penduduk sekitar yang semuanya mengatakan hal yang sama persis: Elo... gue... end!

Hal "ajaib" lain yang berkaitan dengan pendaratan Dieppe adalah ini: Pada tanggal 17 Agustus 1942, petunjuk "pelabuhan Prancis (6)" nongol dalam TTS (Teka-Teki Silang) yang dimuat di Daily Telegraph (dibuat oleh Leonard Dawe), diikuti dengan jawabannya "Dieppe" keesokan harinya; tanggal 19 Agustus, penyerbuan terhadap Dieppe dilancarkan. Kantor Perang Sekutu sempat mencurigai bahwa TTS tersebut telah digunakan untuk menyampaikan pesan intelijen kepada musuh sehingga memerintahkan Lord Tweedsmuir, perwira intelijen senior yang diperbantukan di Angkatan Darat Kanada, untuk menginvestigasi TTS tersebut. Tweedsmuir, putra dari pengarang terkenal John Buchan, kemudian berkomentar:
"Kami menemukan bahwa TTS tersebut mengandung kata "Dieppe", sehingga kemudian bahkan M15 (dinas intelijen Inggris) ikut campur tangan melakukan penyelidikan yang menyeluruh terhadap sang pembuatnya. Tapi pada akhirnya disimpulkan bahwa hal ini adalah suatu kebetulan yang mengagumkan belaka – benar-benar suatu kebetulan!"

Prajurit-prajurit yang kehilangan nyawanya dalam Pertempuran Dieppe dikuburkan oleh pihak Jerman, dan menciptakan sebuah layout yang unik di Kuburan Perang Kanada Dieppe – batu nisannya telah ditempatkan saling membelakangi dalam dua baris, yang merupakan suatu hal yang normal ditemui di kuburan perang Jerman tapi tidak ditemukan di lokasi kuburan perang Persemakmuran selainnya! Ketika Sekutu menduduki Dieppe sebagai bagian Operation Fusilade tahun 1944, penanda kuburannya digantikan tapi layoutnya tetap dibiarkan tidak berubah untuk menghindari "terganggunya" sisa-sisa jenazah yang terkubur di dalamnya.

0 komentar: