Kamis, 29 November 2012

Operasi Market Garden, Operasi Lintas Udara Terbesar Sekutu Yang Gagal

Peta Operasi Market Garden

File:Bundesarchiv Bild 183-S73822, Arnheim, Grenadiere gehen durch Gräben vor.jpg
Tentara Jerman dalam usaha memukul mundur Inggris di Arnhem

File:Bundesarchiv Bild 183-S73820, Arnheim, britische Gefangene.jpg
Tentara Inggris yang tertangkap di Arnhem

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/4/4c/Bundesarchiv_Bild_101I-590-2333-03%2C_Arnheim_-_Osterbeek%2C_deutsche_Soldaten.jpg
Tentara Jerman di Osterbeek


Operasi Market Garden, adalah operasi yang dilancarkan oleh sekutu dibawah pimpinan Jenderal Bernard Montgomery dari Inggris pada bulan September tahun 1944. Operasi ini bertujuan merebut dan menguasai jembatan-jembatan di garis belakang musuh (Jerman saat itu masih menguasai Belanda) sehingga bisa dengan mudah masuk ke Jerman melewati sungai Rhine untuk menguasai lembah Ruhr (pusat industri) di Jerman dengan menerjunkan ribuan pasukan payung di negara Belanda. Dengan direbutnya pusat industri Jerman, sekutu berharap perang dapat segera berakhir sebelum tiba hari Natal di tahun 1944.Divisi-divisi sekutu yang ditugaskan untuk menjalankan misi ini adalah 101st Airborne Division (US), 82nd Airborne Division (US), 1st Airborne Division (UK), Polish Brigade, dan 30 Corps (Divisi Tank/Kavaleri). Dalam misi ini setiap divisi-divisi sekutu harus sudah menguasai jembatan-jembatan dalam waktu yang sangat singkat, setelah itu mereka harus mempertahankan jembatan tersebut sampai 30 Corps melewati jembatan tersebut, begitu terus sampai jembatan terakhir yang ada di Arnhem.

Secara kebetulan di wilayah Belanda ada beberapa Divisi Panzer SS yang dikomandani oleh Feldmarschall Walter Model yang sedang beristirahat dan awalnya ia menyangka Sekutu melancarkan serbuan untuk menangkap dirinya sehingga dia mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Pada awalnya, sekutu berhasil menguasai jembatan-jembatan yang ada di daerah Nijmegen dan Eindhoven Belanda, tetapi 1st Airborne Boys(UK) yang dipimpin oleh Col.Frost yang ditugaskan menguasai jembatan di daerah Arnhem dapat dipukul mundur oleh pasukan SS Panzer, hal ini mengakibatkan kegagalan yang fatal bagi operasi ini. Akhirnya Sekutu dapat dipukul mundur dan operasi ini dianggap sebagai salah satu operasi Sekutu yang gagal setelah peristiwa D-Day di Normandia selama Perang Dunia II yang diharapkan selesai sebelum hari Natal tahun 1944 tetapi ternyata masih terus berlanjut hingga menyerahnya Jerman di bulan Mei 1945. Operasi ini mengakibatkan ribuan nyawa melayang dari divisi pasukan payung Sekutu.

Melibatkan ribuan pasukan infantri dan penerjun dari Inggris dan Amerika, operasi ini dimulai tanggal 17 September. Pasukan Sekutu diterjunkan di sekitar Eindhoven, Nijmegen, dan Arnhem, Belanda.

Pada awal operasi, Sekutu seperti berada di atas angin. Meskipun sebagian besar jembatan sudah dihancurkan sebelum pasukan Sekutu berhasil menguasainya, tetapi baik pasukan Inggris maupun Amerika berhasil menguasai jalanan menuju Arnhem, satu-satunya jembatan yang masih tinggal di tangan pasukan Jerman.

Hari pertama operasi dimulai, perkembangan pergerakan pasukan Sekutu memang agak lambat. Tetapi pasukan penerjun Inggris berhasil menguasai salah satu sisi utara salah satu jembatan di Arnhem yang melintasi sungai Rhine.

Pada hari kedua, pasukan Inggris dan pasukan Amerika bertemu dekat Grave. Dan pada hari ketiga, pasukan Sekutu mencapai Nijmegen di mana pasukan Amerika sedang bertempur memperebutkan jembatan yang melintasi Sungai Waal. Jendral Horrocks komandan pasukan XXX memerintahkan pasukan Amerika menyeberangi Sungai Waal supaya dapat menyerang Jerman dari belakang. Meskipun perintah ini harus dibayar mahal dengan nyawa separuh dari pasukan penyeberang, tetapi pasukan yang selamat dapat melumpuhkan pasukan Jerman dan menguasai jembatan Nijmegen.

Sekarang tinggal jembatan Arnhem saja yang tersisa. Jalan menuju Arnhem sudah dikuasai oleh Sekutu. Bahkan ujung utara jembatan Arnhem telah dikuasai pasukan penerjun Inggris. Kemenangan dan keberhasilan Operasi Market Garden harusnya sudah ada di depan mata.

Tetapi artileri Jerman bergerak cepat memasuki Arnhem. Membumihanguskan rumah dan gedung-gedung di mana pasukan Inggris sedang bertempur. Saat itu pasukan Inggris hanya memiliki sedikit senjata anti-tank, tak punya makanan, bahkan hanya ada sedikit amunisi yang tersisa.

Pasukan Sekutu di seberang sungai juga tidak dapat menyeberang untuk membantu teman-temannya di dalam kota. Mereka terdesak, artileri Jerman menguasai sungai. Jenderal Horrocks akhirnya memerintahkan evakuasi semua pasukan yang tersisa. Pasukan penerjun yang ada di dalam kota ditinggalkan.

Arnhem dikuasai oleh Jerman. Hanya 2500 pasukan Sekutu yang berhasil menyeberang. Hampir 1500 orang meninggal, lebih dari 6500 orang ditahan, dan banyak di antara mereka yang terluka parah.

Dengan demikian Operasi Market Garden gagal. Pasukan Sekutu pun dapat dipukul mundur Jerman.

Jika saja Operasi Market Garden berhasil, tentara Inggris dan Amerika dapat mencapai Jerman sebelum Rusia menduduki Berlin. Perang dapat berakhir pada Natal 1944 seperti yang diperkirakan. Setelah kegagalan dalam Operasi Market Garden ini, Inggris dan Amerika harus menunggu 4 bulan lagi sebelum mereka dapat menyeberangi Sungai Rhine kedua kalinya dan menguasai jantung industri Jerman.

Jika kita melihat film "Band of Brothers" atau "A Bridge Too Far", anda bisa melihat jelas keadaan kedua belah pihak. Apa yang diceritakan dalam kedua film ini sama persis dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.

0 komentar:

Minggu, 18 November 2012

Simo Häyhä, Sang Penebar Maut Dari Finlandia

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ6u_MqR1lAUxH8kdPb7UppsdE57iV99BjgMY5dkO4n40TWL8LXv8_nD44ogRNN0UhoBPDAfwxLztXepRUg-PTbimoim7M6v-RSaGQqvyWIcL4Sgj4LfFkXyinJT5MsW-KCbQMAkP4yqo/s1600/Simo+Hayha-unikboss-2.jpg
Simo Häyhä ketika bertugas. Sepintas dia biasa-biasa saja, namun setelah mengetahui siapa dia sebenarnya, orang akan sangat takjub dengannya

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/3/34/Simo_H%C3%A4yh%C3%A4_-_Farget_Bilde.jpg
Foto berwarna dari Simo Häyhä. Akibat tembakan peluru berpeledak yang diterimanya, mengakibatkan wajahnya menjadi kurang sempurna

http://i46.tinypic.com/314audj.jpg
Simo Häyhä (yang wajahnya diberi lingkaran warna merah) di hari tua


Bagi para penggemar sniper (penembak jitu), pasti banyak yang mengenal sosok yang satu ini. Meskipun dia tidak sepopuler Vasily Zaitsev (sniper Rusia yang beraksi di Perang Dunia II) atau Bronius "Bruno" Sutkus (salah satu master sniper Jerman di Perang Dunia II kelahiran Lithuania), dia sangat terkenal di Finlandia yang menjadi tempat kelahirannya. Berkamuflase di antara tumpukan salju untuk membantai tentara musuh tanpa sempat diketahui sang korban. Namun, ada yang unik dari sosok yang satu ini. Dia mampu menembak hingga jarak 400 m dengan senapan bolt-action tanpa scope, dan hanya mengandalkan ketajaman penglihatannya.

Dialah Simo Häyhä, sniper paling ditakuti nomor satu dalam sejarah. Dia lahir di Rautajärvi, Finlandia, dekat perbatasan Uni Soviet pada tanggal 17 Desember 1905. Awalnya dia hanya seorang pemburu dan petani. Pada tahun 1925, dia bergabung dengan Angkatan Bersenjata Finlandia untuk memenuhi panggilan wajib militer.

Ketika terjadi Perang Musim Dingin (1939-1940) antara Finlandia dan Uni Soviet, Häyhä bergabung dengan Pasukan ke-6 Jaeger Regiment 34. Pada saat itu dia memulai tugasnya sebagai seorang sniper. Pertempuran antara Finlandia dan Uni Soviet di sepanjang sungai Kolla merupakan salah satu perjuangan heroik bangsa Finlandia, dimana 32 tentara Findlandia harus menghadapi 4000 tentara Uni Soviet. Häyhä menunjukkan kemampuannya sebagai seorang sniper dengan merontokkan 542 tentara Uni Soviet dan menjadikan perbukitan di sepanjang sungai Kolla sebagai tempatnya untuk menembak. Dia mampu bertempur di suhu yang sangat ekstrim yakni antara -20 sampai -40 deracat Celcius. Penampilannya yang berkamuflase dengan seragam warna putih membuat tentara musuh kebingungan untuk menembaknya.

Dalam aksinya, Häyhä menggunakan senapan bolt-action M28 yang merupakan varian dari senapan Mosin Nagant. Dia tidak pernah menggunakan scope untuk membidik lawan, namun ia menggunakan pisir pembidik. Häyhä beralasan bahwa scope dapat memantulkan cahaya matahari sehingga membongkar penyamarannya. Bukan berarti hal itu mengurangi kemampuannya sebagai sniper. Keahliannya sebagai seorang pemburu membuatnya mampu menembak hingga jarak 400 meter. Selain itu dia juga menggunakan senapan otomatis Suomi KP/M-31. Menurut beberapa sumber, Häyhä membantai sekitar 200 tentara lawan dengan senapan otomatis ini.

Pada tanggal 4 Maret 1940, Häyhä nyaris kehilangan nyawanya ketika seorang tentara Soviet yang secara kebetulan alias beruntung, menembaknya dengan peluru berpeledak. Peluru itu menghantam dan menghancurkan wajah bagian kirinya. Teman satu regunya sempat mengatakan setengah wajahnya hilang saat mereka menolong Häyhä. Dia mengalami koma selama beberapa hari hingga perang usai (mungkin dia sangat kecewa tidak berada di medan tempur hingga perang berakhir).

Atas jasanya, Häyhä mendapatkan kenaikan pangkat dari Kopral ke Letnan Satu oleh Marsekal Lapangan C.G.E. Mannerheim, pimpinan tertinggi militer Finlandia saat itu. Ketika diwawancarai pada tahun 1998 tentang bagaimana caranya dia bisa menjadi sniper yang baik, jawabnya, "Latihan." Saat ditanya apakah dia menyesal telah membunuh banyak orang dia menjawab, "Saya lakukan yang diberitahukan pada saya untuk dilakukan dan juga yang saya bisa."

Häyhä wafat dalam usia 96 tahun di Hamina, Finlandia tanggal 1 April 2000.

0 komentar:

Jumat, 16 November 2012

Sejarah Feldgendarmerie (Polisi Militer) Di Era Nazi Jerman

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/fc/Bundesarchiv_Bild_101I-007-2477-06%2C_Russland%2C_Milit%C3%A4rpolizei_in_Partisanengebiet.jpg
Feldgendarmerie sedang beroperasi di wilayah pendudukan di Rusia, Juli 1941. Di belakang mereka ada papan peringatan bahaya partisan

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f3/German_soldiers_guarding_a_food_dump.jpg
Feldgendarmerie tengah menjaga sebuah truk berisi makanan di Belanda

Feldgendarmerie Fallschirmjäger di Normandia, 1944


Feldgendarmerie (Polisi Militer) adalah unit berseragam polisi militer dari Tentara Kekaisaran Jerman dari tahun 1810 hingga akhir Perang Dunia II. Unit militer ini dibentuk di Saxony.

Ketika Adolf Hitler naik menjadi pemimpin Jerman di tahun 1933, Feldgendarmerie kemudian dimasukkan ke dalam Wehrmacht. Unit-unit yang baru menerima pelatihan infanteri penuh dan diberi kekuasaan polisi yang luas. Sebuah sekolah militer didirikan di Postdam, untuk melatih personel Feldgendarmerie. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi KUHP, kekuasaan polisi umum dan khusus, paspor dan hukum identifikasi, latihan senjata, teknik pertahanan diri, metode pidana kepolisian, dan administrasi umum.

Semua kandidat calon disajikan pada perintah Feldgendarmerie setelah jangka pertama pengujian. Kursus berlangsung satu tahun dan tingkat kegagalan yang tinggi: pada tahun 1935 hanya 89 tentara lulus dari 219 kandidat. Feldgendarmerie dipekerjakan dalam divisi tentara dan sebagai unit mandiri yang berada dibawah komando korps tentara. Mereka sering bekerja dalam kerjasama yang erat dengan Geheime Feldpolizei (Polisi Lapangan Rahasia), komandan distrik, SS dan pimpinan polisi.

Unit Feldgendarmerie umumnya diberi tugas pendudukan langsung di wilayah langsung di bawah kendali Wehrmacht. Tugas kepolisian di belakang garis depan mulai dari kontrol lalu lintas langsung, kontrol populasi terhadap penekanan dan eksekusi terhadap partisan, dan penangkapan pejalan kaki musuh.

Ketika unit-unit tempur bergerak maju ke suatu daerah, maka peran Feldgendarmerie sebagai pengontrol secara resmi berakhir kemudian dipindahkan ke otoritas pendudukan dibawah kendali Partai Nazi dan SS.

Di tahun 1943, gelombang perang berubah bagi Nazi Jerman. Kali ini Feldgendarmerie bertugas sebagai pendisiplin dalam Wehrmacht. Banyak tentara biasa yang melakukan desersi dieksekusi oleh Feldgendarmerie. Feldgendarmerie juga digabungkan dalam Strafbattalion (Batalyon Pidana), yang merupakan unit hukuman Wehrmacht yang diciptakan untuk prajurit yang dihukum oleh pengadilan militer dan dijatuhkan hukuman eksekusi yang ditangguhkan. Di hari-hari terakhir Nazi Jerman, banyak rekrutan atau prajurit yang melakukan pelanggaran kecil dikirim ke Strafbattalionen.

SS juga memiliki Feldgendarmerie, yang dikenal dengan SS-Feldgendarmerie. Seragam yang dikenakan sama dengan Feldgendarmerie Heer namun memiliki gelar penambahan manset yang menunjukkan mereka adalah polisi militer. Tugasnya pun sama. Khusus untuk SS-Feldgendarmerie, dilambangkan dengan berlian Polizei-Adler yang dikenakan pada lengan bawah.

Di saat Jerman menyerah pada Mei 1945, Feldgendarmerie tetap diizinkan memegang senjata dikarenakan untuk menjaga para tawanan Sekutu. Sebagai contoh Korps VIII Inggris berbasis di Schleswig-Holstein menggunakan sebuah resimen relawan Feldgendarmerie untuk menjaga kedisiplinan di pusat demobilisasi di Meldorf. Feldgendarmerie menjadi unit terakhir Jerman yang menyerahkan senjata mereka pada bulan Juni 1946.

2 komentar:

Pertempuran Neretva (Januari - April 1943), Perang Antara Pihak Poros Melawan Partisan Tito

Jembatan yang melintasi sungai Neretva. Jembatan ini menjadi salah satu lokasi pertempuran, telah dibangun dan dihancurkan dua kali dalam pertempuran. Kini, kondisinya dibiarkan seperti ini sebagai monumen peringatan dahsyat yang pernah terjadi di tempat tersebut

Para partisan yang terluka dalam Pertempuran Neretva. Mereka berasal dari 7.Banija brigade

Film tentang Pertempuran Neretva keluaran tahun 1969 berjudul "Battle of Neretva" (di Yugoslavia diedarkan dengan judul "Bitka na Neretvi"). Film ini merupakan kerjasama antara Hollywood dengan pemerintah Yugoslavia dan tercatat dalam sejarah sebagai film Yugoslavia dengan bujet termahal! Dibintangi oleh aktor-aktor terkenal masa itu seperti Yul Brynner, Hardy Kruger, Curt Jürgens, Franco Nero dan Orson Welles


Pertempuran Neretva (dikenal dengan nama Bitka na Neretvi oleh orang-orang Kroasia, Serbia, Bosnia dan Slovenia), dengan kode nama Fall Weiss, adalah rencana strategis Jerman untuk serangan serentak yang dilakukan bersama oleh kekuatan Poros di awal tahun 1943 demi menghancurkan kekuatan kaum Partisan Yugoslavia pimpinan Josip (Iosif) Broz Tito. Nama untuk ofensif ini diambil dari nama sungai yang menjadi salah satu ajang pertempuran kedua belah pihak.

Operasi ini dikenal juga dengan nama 'Ofensif Anti-Partisan Keempat', sementara di sumber-sumber ex-Yugoslavia dikenal dengan nama 'Ofensif Musuh Keempat' (Kroasia, Serbia, Bosnia: Četvrta neprijateljska ofenziva/ofanziva. Slovenia: četrta sovražnikova ofenziva) atau Pertempuran Orang-Orang Terluka (Bitka za ranjenike).

Tujuan Jerman adalah untuk menghancurkan pusat komando gerakan Partisan, yaitu Komite Pusat Partai Komunis Yugoslavia, juga rumah sakit utama Partisan. Pihak Poros mengerahkan sembilan divisi (enam Jerman dan tiga Italia), ditambah dengan dua divisi Kroasia dan beberapa formasi Chetnik dan Ustasha. Diperkirakan 150.000 orang tentara Poros berperan serta melawan kekuatan Partisan yang jauh lebih kecil.

Operasi ini melalui tiga tahap:

Weiss I dimulai tanggal 20 Januari 1943 dengan serangan terhadap wilayah-wilayah yang dikuasai Partisan di barat Bosnia dan beberapa bagian Kroasia tengah.

Weiss II menyusul tanggal 25 Februari, dengan pertempuran sengit di barat dan barat-daya Bosnia yang membuat Partisan mundur ke arah tenggara sampai mencapai sungai Neretva.

Weiss III diluncurkan bulan Maret, dan berpusat di sekitar wilayah Herzegovina utara. Kekuatan Partisan yang menjadi sasarannya berhasil melarikan diri dengan menerobos kepungan pasukan Poros dan kabur ke arah utara Montenegro. Karenanya, tahap ketiga ini tidak seluruhnya terselesaikan.

Selama berlangsungnya pertempuran, pihak Partisan terjebak dalam kantong pengepungan dengan punggung mereka menghadap sungai Neretva. Di wilayah mereka, di arah Barat, adalah pasukan lengkap Jerman yang ditambah dengan beberapa unit elite yang mendapat dukungan penuh brigade-brigade panzer. Sementara di arah berlawanan (wilayah timur) hanya dijaga oleh beberapa formasi Chetnik, yang bertindak melalui koordinasi dengan pihak Jerman. Kedua wilayah ini dipisahkan oleh sebuah jembatan tunggal. Bila kaum Partisan dapat melewati jembatan ini, maka dapat dikatakan mereka telah aman. Hanya saja, mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk melakukannya karena pihak Poros telah bersiap-siap untuk mengerahkan serangan penghabisan. Untuk menghadapi situasi "skak-mat" strategis ini, panglima Partisan, Marsekal Josip Broz Tito, mempersiapkan muslihat yang rumit. Dia memerintahkan pasukan zeni untuk menghancurkan satu-satunya jembatan penyelamat di Neretva.

Disinilah terletak keunggulan srategi "kepepet" Tito. Ketika pengintai udara Jerman membawa informasi ini ke markasnya, jenderal-jenderal Wehrmacht berkesimpulan bahwa pastinya para Partisan sialan sedang berusaha untuk melakukan usaha penerobosan terakhir ke arah utara dari posisi mereka sekarang (di sepanjang tepi barat sungai Neretva), dan tindakan meledakkan jembatan yang luar biasa pentingnya tersebut dilakukan sebagai tambahan kekuatan moral demi mencegah desersi! Karenanya, pihak Jerman langsung mengerahkan pasukan yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah utara yang sekiranya akan dilalui Partisan. Yang ada adalah, Jerman telah memberi para zeni Partisan waktu yang berharga untuk memperbaiki jembatan itu kembali sekaligus memusnahkan pasukan Chetnik yang mempertahankan wilayah di seberangnya! Pihak Jerman, dengan karakternya, cepat melihat kesalahan fatal yang dilakukan oleh pihaknya dan langsung memutar pasukan utama untuk melakukan serangan yang ditunggu-tunggu. Sayangnya, tindakan ini keburu terlambat karena tidaklah mudah untuk menggerakkan pasukan sebanyak itu dalam waktu yang cepat dari lokasi yang telah dirubah sebelumnya. Dengan pasukan penjaga sibuk menghadapi pergerakan pasukan Jerman yang makin menguat dari waktu ke waktu, pasukan utama Partisan menyeberangi jembatan di tengah bombardir udara yang tak henti-henti (pihak Poros mengerahkan formasi Luftwaffe secara besar-besaran). Sayangnya bagi pihak Jerman dan untungnya bagi Partisan, wilayah yang bergunung-gunung membuat penghancuran jembatan darurat secara akurat sulit dilaksanakan. Setelah usaha penyelamatan tersebut berhasil, jembatan yang dibuat oleh kaum Partisan itu akhirnya dianggap tidak berguna digunakan untuk mencegah pengejaran. Meskipun secara kasat mata Jerman telah berhasil dengan usahanya (karena musuh telah terusir dan jumlah korban yang banyak di pihak Partisan), tapi secara strategis Tito lah pemenangnya. Dia telah menyelamatkan inti kekuatan pasukannya sekaligus tetap menjaga sumpahnya yang terkenal untuk membawa yang terluka lengkap dengan rumah sakit lapangan utama bersamanya kemanapun dia pergi! Ini wajar saja dilakukannya, karena untuk menghindari eksekusi langsung di tangan Poros apabila ada Partisan yang tertangkap (seperti yang kemudian benar-benar terjadi setelah pertempuran Sutjeska di waktu kemudian).

Pada akhir bulan Maret, pihak Poros telah membunuh sekitar 8.000 Partisan dan menangkap 2.000 lainnya. Meskipun mengalami kehilangan sebesar ini dan kalah secara taktis, tapi formasi-formasi Partisan mampu mempertahankan komando utama mereka plus rumah sakitnya, sehingga mampu tetap melakukan operasi-operasi gerilya yang merepotkan Jerman. Bahkan pada kenyataannya, setelah mereka mencapai bagian timur wilayah Bosnia dan Herzegovina, yang harus mereka hadapi kini hanyalah para Chetnik yang bermoral rendah dan tidak mempunyai persenjataan selengkap Jerman. Jelas saja, Chetnik-Chetnik ini dengan cepat "digulung" dalam pertempuran lanjutan di sebelah barat sungai Drina.

Ofensif utama selanjutnya yang dilakukan Jerman untuk melawan Partisan adalah Operation Schwarz.

Pertempuran Neretva diabadikan dalam film nominasi Oscar buatan tahun 1969 berjudul 'The Battle of Neretva', sementara novel thriller 'Force 10 From Navarone' (1968) karya Alistair MacLean (yang juga kemudian difilmkan dengan aktor Harrison Ford sebagai pemerannya), juga mengambil setting usaha kaum Partisan dalam melawan pihak Jerman dan Chetnik yang berkekuatan jauh lebih besar sekaligus peristiwa penghancuran jembatan Neretva. Hanya saja ini sepenuhnya adalah kisah fiksi yang mengambil latar belakang kejadian nyata.


Kekuatan Partisan Yugoslavia:
- Korps Kroasia ke-1 (16.000 orang)
- Korps Bosnia ke-1 (11.500 orang)
- Grup Operasional Utama (14.500 orang) yang terdiri dari:
- Divisi Proletarian ke-1
- Divisi Proletarian ke-2
- Divisi Serang ke-3
- Divisi Banija ke-7 (bergabung kemudian)
- Divisi Dalmatia ke-9 (bergabung kemudian)
- Total kekuatan diperkirakan 20.000 orang

Kekuatan Poros:
- Divisi Gunung Sukarelawan SS ke-7 'Prinz Eugen' Jerman
- Divisi Infanteri ke-369 Jerman
- Divisi Infanteri ke-714 Jerman
- Divisi Infanteri ke-717 Jerman
- Satu resimen dari Divisi Cadangan ke-187 Jerman
- Divisi Infanteri ke-12 'Sassari' Italia
- Divisi Infanteri ke-13 'Re' Italia
- Divisi Infanteri ke-57 'Lombardia' Italia
- Brigade Rumah Penjaga Gunung ke-2 Kroasia
- Brigade Rumah Penjaga Gunung ke-3 Kroasia
- Chetnik (berperan secara nominal sebagai Milisi Sukarelawan Anti-Komunis Italia)
- Sekitar 20.000 orang pasukan tambahan
- Total kekuatan adalah 150.000 orang ditambah 200 pesawat terbang

Komandan:
Partisan: Marsekal Josip Broz Tito
Poros: Generaloberst Alexander Löhr


0 komentar:

Rabu, 14 November 2012

Oberfeldwebel der Reserve Alexander Uhlig (1919 - 2008), Fallschirmjäger Tangguh Dalam Pertempuran Normandia

Alexander Uhlig setelah menerima Ritterkreuz

Alexander Uhlig menyamakan waktu jam tangan dengan rekannya sesama Fallschirmjäger. Biasanya ini dilakukan sebelum pertempuran berlangsung, dan merupakan salah satu kebiasaan khas bangsa Jerman yang terkenal teliti dan cermat dalam segala hal

Alexander Uhlig bersama para anakbuahnya dari 16.Kompanie/Fallschirmjäger-Regiment 6 yang gagah berani di dekat Periers, Normandia. Foto ini memperlihatkan dengan jelas variasi seragam yang dipakai oleh Fallschirmjäger dalam Perang Dunia II, sebagai contohnya adalah prajurit ketiga dari kiri yang mengenakan feldmütze M-43, jaket kamuflase Feld-Division Luftwaffe dan senapan G-41. Untuk Uhlig sendiri, medali yang dipakainya dalam foto ini adalah: Narvikschild (di lengan), Eisernes Kreuz I klasse, Frontflugspange in Gold, Flugzeugführerabzeichen, Fallschirmschützenabzeichen, Verwundetenabzeichen, dan KRETA ärmelband

Alexander Uhlig di hari tua. Foto ini diambil di kompleks kuburan perang La Cambe, Normandia (Prancis) tahun 2004. Empat tahun kemudian dia meninggal dunia, tepatnya tanggal 1 November 2008

Alexander Uhlig bersama dengan seorang reenactor Fallschirmjäger dalam acara peringatan pertempuran Kreta ke-60 tahun 2001. Si reenactor (yang dikenal hanya dengan nickname "Gran Sasso") mengatakan bahwa pada awalnya dia ragu-ragu untuk datang ke acara pertemuan veteran itu dengan mengenakan pakaian penerjun Fallschirmjäger sehingga dia hanya membawa helm FJ di tangannya, tapi kemudian respons para veteran begitu menggembirakan, dan bahkan beberapa dari mereka menitikkan air mata terkenang saat-saat muda dulu! Salah satu peristiwa paling dikenang dalam acara ini adalah saat sekitar 300 veteran Fallschirmjäger menyanyikan "Rot Scheint die Sonne" di atas Hill 107...


" Dalam pertempuran berdarah di wilayah berpagar tanaman, satu regu kecil Fallschirmjäger Jerman berhasil menangkap 11 perwira dan lebih dari 200 orang prajurit Amerika dari 90th Infantry Division."


Dalam minggu-minggu menyusul D-Day, pertempuran sengit yang tak terhitung jumlahnya merebak di seantero Normandia saat Jerman berusaha mempertahankan setiap jengkal wilayahnya yang terlindungi oleh pagar tanaman (hal yang merupakan suatu keumuman di wilayah Prancis utara tersebut) dan bertekad untuk menghabisi sebanyak mungkin tentara musuh sebelum mereka mundur. Ini adalah jenis pertempuran yang begitu kacaunya tanpa ada batas front yang jelas, pertempuran yang dihiasi oleh aksi-aksi kecil dimana serangan dibalas oleh serangan balasan dan petak kecil berganti tangan berkali-kali dalam hitungan hari. Salah satu aksi semacam itu terjadi di bulan Juli 1944 saat para GI (sebutan untuk tentara Amerika) dari 90th Infantry Division, yang dikenal sebagai "Tough Hombres", harus menghadapi serangan balasan dari Fallschirmjäger-Regiment 6 di bawah komando Major Friedrich August Freiherr von der Heydte. Pertempuran sengit yang kemudian terjadi akan diakhiri oleh tertangkapnya lebih dari 200 orang prajurit Amerika dan gencatan senjata tak biasa antara pihak Jerman dan Amerika demi mengevakuasi orang-orang yang terluka.

Mayor von der Heydte yang kelahiran Bavaria merupakan seorang veteran yang telah bertempur di Prancis, Kreta, Rusia, Afrika Utara dan Italia, sebelum ditunjuk untuk memimpin Fallschirmjäger-Regiment 6 ke dalam pertempuran di Normandia. Dia adalah seorang aristokrat militer dan anggota Luftwaffe (karena Fallschirmjäger secara teknis bukan merupakan bagian dari Heer) yang mengawasi pembentukan kembali resimen ke-6 di awal tahun 1944. Di bulan Mei resimen ini telah siap tempur dan ditempatkan di Prancis. Anggota-anggotanya diperintahkan untuk bertempur dengan tekad "keringat menyelamatkan darah" di hati mereka.

Meskipun mereka belum pernah melakukan terjun payung sebelumnya, tapi para anggota Fallschirmjäger-Regiment 6 ini telah mendapatkan medali Fallschirm-Abzeichen mereka, dan telah lompat beberapa kali selama pelatihan. Perwira dan bintaranya umumnya merupakan veteran dari banyak pertempuran terdahulu, meskipun prajuritnya sendiri adalah rekrutan muda baru yang masih hijau. Banyak dari mereka yang mencicipi pengalaman pertempuran pertama melawan tentara-tentara Sekutu di Normandia – dan bagi kebanyakan itu adalah juga yang terakhir. Antara tanggal 6 s/d 10 Juni 1944, 1.Bataillon/Fallschirmjäger-Regiment 6 musnah dalam pertempuran sengit yang berkecamuk.

Pada tanggal 22 Juli, elemen-elemen 2.Bataillon dan 3.Bataillon berkubu di posisi pertahanan mereka yang berhadapan dengan 90th Infantry Division di Semenanjung Cotentin. 90th Infantry Division telah mendarat di Pantai Utah di belakang pasukan penyerbu utama. Divisi tersebut telah bertempur begitu beratnya dan kehilangan begitu banyak personil dalam pertempuran di wilayah pagar tanaman Normandia, seperti banyak unit-unit Amerika lainnya. Pada tanggal 22 Juli, pasukan pengganti 90th Infantry Division telah mencapai 100 persen dari kekuatan resminya! Banyak para “petempur veteran” merupakan mantan pengganti beberapa saat sebelumnya, sementara penggantian perwira infanterinya mencapai hampir 150 persen.

Pada tanggal 18 Juli, 90th Infantry Division memulai serangan terhadap desa St. Germain-Sur-Seved sebagai awal dari Operasi Cobra, serbuan terencana terhadap St. Lô yang diharapkan dapat melepaskan pasukan darat Sekutu dari wilayah pagar tanaman Normandia yang merepotkan. Pendudukan St. Germain-sur-Seves juga akan membuat 90th Infantry Division berada di posisi menguntungkan dalam gerak maju mereka ke persimpangan jalan yang menjadi kunci di kota Periers. Persimpangan ini menghubungkan Periers dengan kota Coutances yang penting yang terletak di dekat St. Malô yang menjadi pusat semenanjung.

St. Germain-sur-Seves terletak di atas sebuah "pulau" rendah yang dikelilingi oleh wilayah yang membuatnya sulit dicapai. Di bagian utara dia dibatasi oleh Sungai Seves, sementara di bagian lainnya dia dibatasi oleh rawa dan sungai-sungai kecil. Gundukan tanah ini, yang juga dipenuhi oleh pagar tanaman, mempunyai panjang sekitar 3,2km dan lebar 1,6km. Pada bulan Juli 1944 wilayah ini lebih-lebih lagi terisolasi dari wilayah yang mengelilinginya karena datangnya hujan lebat sebulan sebelumnya. Bagi pihak Amerika, wilayah "real-estate" yang membikin puyeng ini dijuluki sebagai Seves Island.

Pada awalnya diusulkan untuk melakukan serangan terhadap St. Germain-sur-Seves pada malam hari, tapi kemudian dia dibatalkan karena banyaknya pasukan pengganti yang masih belum berpengalaman dalam tubuh divisi tersebut. Sebagai gantinya, Major-General Eugene M. Landrum, komandan 90th Infantry Division, memilih untuk menyerang di siang bolong. Dia memilih 358th Regiment, yang dikomandani oleh Lieutenant-Colonel Christian E. Clarke, Jr., untuk melakukan serangan tersebut dan menyiapkan dukungan artileri demi memuluskan ofensif mereka. Dukungan tersebut tersedia karena serangan yang dilakukan oleh 90th Infantry Division merupakan satu-satunya yang direncanakan di tempat itu pada waktu tersebut. Landrum juga meminta bantuan udara, dan dia memerintahkan unit-unit infanteri lain di bawah komandonya untuk mendukung serangan melalui tembakan dari senjata-senjata mereka.

Serangan dimulai jam 06:30 pagi tanggal 22 Juli 1944, sesaat setelah terhentinya gempuran artileri yang ditujukan untuk melemahkan pertahanan Jerman yang berlangsung selama 15 menit. Batalyon ke-1 dan ke-2 dari 358th Regiment bergerak menuju St. Germain-sur-Seves dari arah utara, melalui sebuah jalan yang melintasi sungai Seves. Jalan yang sempit itu menghubungkan wilayah sekelilingnya dengan ujung pulau melalui sebuah jembatan, meskipun pihak Jerman telah menghancurkan jembatan tersebut sebelum pertempuran terjadi. Berdasarkan rencana awal, kedua batalyon akan menduduki bagian pinggir sungai sehingga unit-unit zeni mereka dapat membuat sebuah jembatan sementara yang akan mendukung serangan utama. Dukungan artileri yang dikerahkan begitu dahsyatnya sehingga menjadi pelipur lara dari terbatasnya penglihatan akibat kabut tebal yang membuat dukungan udara urung dilancarkan. 1st Battalion mampu menembus pertahanan terdepan dari 3.Bataillon/6.Fallschirmjäger-Division, dan menerobos sampai sejauh 400 meter di wilayah yang diduduki Jerman. Tapi karena sedikitnya tempat berlindung di wilayah yang berawa-rawa sehingga membuat pasukan penyerbu Amerika terekspos di bagian pinggirnya. Meskipun dukungan artileri masih terasa, korban mulai banyak berjatuhan. Dua perwira dan tujuh prajurit terbunuh, sementara 10 perwira dan 180 orang lainnya terluka.

Di sekitar jam 12:00 siang tanggal 22 Juli 1944, Major von der Heydte memberi perintah untuk menyerang balik tentara Amerika di pulau dan mengusir mereka kembali sampai ke seberang sungai. Karena pihak Jerman mempercayai bahwa tentara musuh yang sudah menyeberang hanyalah pasukan pengintai kecil belaka, maka Heydte cukup mengirimkan 16.Kompanie yang dipimpin oleh Obeffeldwebel der Reserve Alexander Uhlig untuk melakukan serangan balik tersebut. Von der Heydte memerintahkan Uhlig untuk mendesak Amerika kembali dan mendirikan kembali garis pertahanan lama di sepanjang batas sungai. Bolehlah sebagai bonus, kata Heydte, Uhlig menambahkan sekedar beberapa tawanan untuk bisa diinterogasi.

Uhlig, yang anggota kompinya kini hanya tinggal tersisa 32 orang yang masih bisa bertempur, memberi brifing kepada anakbuahnya dan menyiapkan mereka di posisi masing-masing sebagai persiapan serangan. Meskipun anggota 16.Kompanie bersenjata ringan dan dapat bergerak lincah, pergerakan mereka terhambat karena buruknya cuaca. Penglihatan mulai membaik di tengah hari, dan pesawat-pesawat Amerika mulai merajalela melakukan serangan terhadap posisi-posisi pertahanan Jerman. Saat grup kecil Uhlig bergerak di sepanjang sebuah jalan yang terendam air yang berada di antara dua baris pagar tanaman tinggi, mereka dihantam oleh tembakan artileri sehingga melukai seorang bintara dan tiga prajurit. Dua orang lain ditugaskan untuk membawa orang-orang yang terluka kembali ke tempat perawatan. Sementara itu, Uhlig dan salah satu kopralnya melakukan pengintaian visual dari wilayah sekitar sambil mendiskusikan apa yang harus dilakukan.

Di depan mata Uhlig, wilayah seluas 730 meter yang sebelumnya menjadi garis pertahanan Jerman kini telah diduduki oleh pasukan Amerika. Di sebelah kirinya adalah 6.Kompanie Jerman, sementara kini telah tercipta lubang di tempat pertahanan 11.Kompanie yang kini telah mundur. Uhlig kaget ketika mendapat bahwa yang dia hadapi bukanlah hanya "pasukan pengintai kecil" belaka, melainkan 300 orang lebih tentara musuh! Dia tahu bahwa sama saja dengan bunuh diri apabila melakukan serangan frontal, karena itu Uhlig memutuskan untuk menyerang bagian terlemah musuhnya, yaitu di bagian kanan. Anakbuah Uhlig merangkak dengan perlahan ke depan, dengan menggunakan gundukan tanah serta pagar tanaman sebagai perlindungan. Di sepanjang jalan, sang Oberfeldwebel menambahkan beberapa orang prajurit dari kompi Jerman lain yang ditemui untuk menambah unitnya sendiri yang berkekuatan kurang.

Jam 18:00, pasukan Fallschirmjäger Jerman melancarkan serangan terhadap 1st Battalion/358th Regiment. Selama tiga jam selanjutnya pasukan Amerika mundur sejauh 320 meter. Berdasarkan keterangan dari perwira intelijen 358th Regiment, Major William J Falvey, 1st Battalion mundur sampai sejauh 800 meter ke sebelah selatan sungai, dengan kekuatannya kini telah berkurang sampai setengahnya karena korban yang mulai berjatuhan ditambah dengan prajurit yang kabur. Satu kompi dari 2nd Battalion mampu bergerak sampai 137 meter di bawah Seves sehingga kini berada di bagian belakang 1st Battalion. Pihak Amerika juga berhasil membawa dua peleton tank melintasi jembatan darurat yang telah dibangun beberapa saat sebelumnya.

Meskipun anakbuah Uhlig telah mendesak mundur pasukan Amerika dan menimbulkan korban besar di kalangan musuhnya, tapi mereka masih belum berhasil menangkap satupun tawanan seperti yang diperintahkan oleh von der Heydte. Pada saat ini kelompok kecil Uhlig telah menyusut menjadi hanya tinggal 28 orang. Dua orang Fallschirmjäger yang terluka ringan memutuskan untuk tetap bertempur dan menolak dievakuasi.

Seiring dengan waktu yang kini merambat sore, pihak Amerika sadar bahwa mereka berada dalam posisi genting. Mereka telah berharap-harap cemas menantikan serangan yang diduga akan datang dari arah yang sama. Di malam harinya mereka berjuang keras untuk mengevakuasi prajuritnya yang terluka, yang banyak di antaranya tergeletak di antara alang-alang dan rumput tinggi di bagian utara sungai. Dalam kegelapan, beberapa prajurit yang belum berpengalaman mulai terdesak ke belakang.

Major Michael Knouf, perwira suplai dari 358th Regiment, melakukan sebaik yang dia bisa demi menjamin pasokan suplai dan amunisi tetap sampai kepada pasukan yang sedang bertempur di garis depan di seberang sungai. Kompi B dan C merupakan unit terdepan dari kompi-kompi 1st Battalion. Pasukan 1st dan 2nd Battalion kini membentuk garis pertahanan berbentuk ladam kuda di bagian pulau yang lebih tinggi dengan kedalaman sekitar 182 meter dan lebar 914 meter. Pagi berikutnya telah datang, dan Knouf masih belum berhasil dalam usahanya memberikan pasokan suplai kepada pasukan yang berada di garis depan.

Sementara itu di sore tanggal 22 Juli 1944 Uhlig telah mampu mengambil gambaran situasi yang kini sedang terjadi di depan frontnya. Meskipun pertahanan Amerika di seberang sungai kini telah menyusut, tapi dia tahu bahwa misinya masih belum berakhir. Suara pasukan Amerika yang sedang sibuk menggali membuatnya berkesimpulan bahwa serangan lain ke arah yang sama tidak akan berhasil. Uhlig lalu memutuskan untuk menyerang bagian lainnya. Karena dia tahu bahwa dia butuh lebih dari 28 orang untuk melakukannya, maka dia segera grasa-grusu mencari pasukan tambahan. Seorang komandan tank dari 2.SS-Panzer-Division yang berada tidak jauh dari posisinya memberitahu bahwa mereka akan membantu serangan Uhlig di pagi berikutnya dengan tiga buah panzer. III.Bataillon menjanjikan kepadanya dua senapan mesin berat MG-42 serta 16 orang. Karena prajurit yang dijanjikan kepadanya merupakan pengganti saja dengan pengalaman bertempur yang masih minim, maka pada awalnya Uhlig berencana menggunakan mereka sebagai pasukan cadangan. Tapi kemudian dia merubah keputusannya dan menempatkan mereka dalam peran yang lebih aktif.

Uhlig tahu bahwa MG-42, yang mampu menembakkan peluru sampai 1.300 kali per-menit, sangat ditakuti oleh pasukan Amerika. Dia berharap bahwa apabila dia dapat mempergunakan dua buah senjata tersebut yang dijanjikan kepadanya, dia dapat membuat lubang di pertahanan Amerika. Uhlig juga mengerti pentingnya kondisi wilayah dalam perencanaan sebuah serangan, dan dia melihat bahwa penguasaan padang rumput di dekat sungai Seves merupakan faktor penting yang menyumbang terhadap suksesnya operasi. Dia bermaksud mencegah pasukan cadangan musuhnya mencapai bagian terdepat batalyon pertama 358th Regiment, sekaligus memblok setiap usaha mereka untuk mundur demi menjamin bahwa pada ujungnya dia akan mempunyai cukup tawanan untuk dibawa kembali ke markas von der Heydte.

Uhlig memposisikan dua buah MG-42 sehingga mereka dapat mendukung tujuannya dengan menempatkan mereka di sebuah jalan yang terendam di sebelah timurlaut St. Germain-sur-Seves, dimana para awaknya dapat melihat dengan jelas padang rumput di pinggiran sungai Seves dan mengelilingi wilayah sekitarnya dengan medan tembakan. Dia memerintahkan awak senapan mesin untuk menggali dan menutupi posisi mereka dengan kamuflase, karena adanya pesawat-pesawat Sekutu yang terus-menerus berkeliaran mencari target. Pasukannya lalu menggunakan jam-jam yang tersisa di kegelapan untuk mengkonsolidasikan posisi mereka.

Untuk mencapai unsur kejutan dan memaksimalkan keefektifan senjatanya (dan juga demi sebisa mungkin melindungi pasukannya dari ancaman artileri Amerika), Uhlig memberi perintah tegas bahwa awak senapan mesin tidak boleh menembak saat serangan pertama. Dia percaya bahwa dia mampu mengusir pasukan musuh dari pulau tanpa harus mengandalkan senapan mesin dan karenanya merencanakan bahwa awak MG-42 hanya akan beraksi bila musuh mencoba untuk mundur atau membawa cadangan pasukan yang lebih banyak.

Uhlig berharap bahwa bilamana saat itu terjadi, maka kabut pelindung di pagi hari tanggal 23 Juli 1944 akan begitu rendahnya sehingga pesawat-pesawat Sekutu dibuat 'buta' dan tak mampu memberikan dukungan efektif terhadap pasukannya. Sebenarnya Amerika masih mempunyai back-up artileri, hanya saja penempatannya secara efektif begitu sulit dikarenakan wilayah dan penempatan pihak Jerman yang begitu dekatnya dengan 1st Battalion.

Di sebelah selatan St. Germain-sur-Seves, tiga panzer Jerman bersiap untuk berkumpul dengan pasukan penyerang Fallschirmjäger. Anakbuah Uhlig menunggu sinyal untuk bergerak. Dalam rencana awalnya, sang sersan akan menempatkan sebuah grup tempur yang terdiri dari satu bintara dan enam prajurit untuk mengiringi setiap panzer selama berlangsungnya serangan sehingga tank-tank ini dapat melindungi pasukan pejalan kaki. Tapi kemudian komandan panzer menolak ide tersebut karena wilayah yang akan dihadapi tampaknya hanya akan memberikan perlindungan sedikit saja dari tembakan senjata anti-tank musuh. Bila Uhlig menginginkan dukungan kendaraan lapis baja tersebut, maka dia tidak mempunyai pilihan selain menempatkan Fallschirmjäger-nya di depan panzer-panzer dan berharap bahwa kehadiran tank-tank tersebut sudah cukup untuk menjatuhkan moral bertempur lawannya. Yang jelas, dia tidak punya alternatif lain selain tetap maju.

Tak lama setelah jam 07:00 di tanggal 23 Juli 1944, sekitar 50 orang Fallschirmjäger meninggalkan parit mereka. Serangan pertama Uhlig yang menghantam pos komando 1st Battalion terhenti untuk sementara waktu karena gencarnya tembakan artileri dan tank Amerika. Tapi mereka pun kesulitan untuk membombardir posisi Jerman karena tidak adanya pesawat observasi di atas (setelah pertempuran usai, pihak Jerman mengklaim bahwa kebanyakan tembakan artileri Amerika hanya berseliweran melewati kepala mereka saja!). Saat pengamat terdepan Amerika berusaha untuk memperbaiki target buat artilerinya dengan menarik mundur ke belakang garis pertahanan, terpaksa pula prajurit-prajurit 358th Regiment menggali parit mereka lebih dalam. Kini tentara Jerman menyerang kembali ke depan demi menghindari tembakan dari belakang. Tembakan pendukung Uhlig juga membuat musuhnya tetap menundukkan kepala mereka.

Meskipun anakbuah Uhlig kini bergerak kembali di pagi itu dengan dukungan tiga panzer yang telah dijanjikan, tapi dua pertiga kendaraan lapis bajanya kemudian menjadi korban. Satu panzer ditinggalkan di belakang karena masalah mekanis, sementara panzer kedua, yang bergerak melalui tanah pertanian, menabrak tembok dan tersangkut di puing-puing atap yang kemudian runtuh! Kini pasukan Fallschirmjäger hanya mendapat dukungan tembakan sedikit saja bagi gerak maju mereka.

Berdasarkan laporan tempur pihak Amerika, tentara Jerman melakukan tiga serangan di pagi itu. Yang pertama dilakukan jam 07:00 dan yang kedua jam 08:00 (Amerika menggunakan waktu penyimpanan ganda sementara Jerman tidak, dan ini membuat timbulnya perbedaan masalah waktu di antara laporan tempur kedua pihak). Serangan kedua mengarah kepada wilayah di antara batalyon pertama dan kedua dari 358th Regiment. Amerika mampu pula menghentikan serangan ini. Tapi kemudian serangan ketiga menghantam telak 1st Battalion dan mencapai pos komandonya. Hanya beberapa GI yang membalas tembakan sementara sebagian besar temannya panik dan kabur ke lapangan rumput yang berada di pinggiran sungai. Disinilah taktik Uhlig terbukti jitu, dan dua buah senapan mesin MG-42 Jerman berpesta membabat habis tentara Amerika yang masuk ke ruang lingkup tembakannya.

Pada titik itu Major Michael Knouf menyaksikan disintegrasi pasukannya yang terdesak di pulau. Dia berada sekitar 27 meter dari pos komando, berusaha untuk memastikan bahwa pasokan suplai sampai ke garis depan, ketika melihat komandan 1st Battalion, Lieutenant Colonel Seeger, sedang memerintahkan pasukannya untuk menghentikan tembakan. Tak lama sekelompok tentara Amerika mulai berjalan ke arah anakbuah Uhlig sambil mengangkat tangan mereka. Knouf memutuskan bahwa dia tidak akan menghabiskan sisa perang sebagai tawanan sehingga dia memerintahkan anakbuahnya sendiri untuk bergerak mundur melintasi padang rumput ke arah sungai.

Dua sarang senapan mesin Uhlig mulai beraksi kembali menembaki pasukan yang mundur ini. Posisi mereka yang strategis memungkinkan awak-awak MG 42 tersebut menebarkan neraka bagi pasukan Amerika yang mundur. Tembakan mereka yang luar biasa akurat dan mematikan telah mengubur harapan tentara Amerika untuk bisa kembali ke bagian lain pinggiran padang rumput. Beberapa orang berhasil melewati hadangan tembakan ini, sementara banyak lainnya yang terbunuh atau terluka karena tidak adanya perlindungan. Knouf sendiri terkena tembakan dan terluka serius.

Uhlig telah menempatkan dua senapan mesinnya secara brilian. Dia insyaf bahwa awak-awak MG-42 ini masih kurang pengalaman tempur sehingga menempatkan mereka dalam posisi yang relatif aman dan terlindung. Di pihak lain, pasukan Amerika berada di posisi yang tidak menguntungkan. 358th Regiment telah menderita korban besar dari sejak mereka ditugaskan untuk bertempur di wilayah berpagar tanaman. Hanya beberapa hari sebelum pertempuran di St. Germain-sur-Seves, resimen ini menerima banyak tambahan pasukan cadangan yang masih hijau dalam bertempur. Tak heran ketika mereka dikonfrontasi oleh tank Jerman yang diiringi oleh pasukan terjun payung berpengalaman, dan dengan satu-satunya jalan keluar terhalang secara efektif oleh dinding peluru, banyak dari GI ini yang melakukan satu-satunya hal yang mereka anggap logis saat Letkol Seeger memerintahkan mereka untuk menghentikan tembakan: mereka langsung melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.

Uhlig seakan tak percaya dengan kesuksesannya. Dia membayangkan bahwa musuhnya tidak mengetahui betapa kecilnya jumlah pasukan penyerang Jerman. Dia tidak menyangka betapa dahsyatnya efek kumulatif dari Fallschirmjäger yang didukung oleh kendaraan lapis baja, posisi senapan mesin yang strategis, dan tidak efektifnya tembakan artileri Amerika – terhadap pasukan infanteri Amerika yang sudah kelelahan dan stress. Sersan Jerman ini berhasil mengoptimalkan pasukannya yang kecil karena dia mengerti bagaimana mengkombinasikan asetnya yang terbatas untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Tapi kisah Pulau Seves tidak berhenti saat tentara-tentara Amerika mengangkat tangannya. Mungkin aspek paling aneh dari pertempuran ini, yang hanya berskala kecil saja dalam pertempuran di wilayah berpagar tanaman Normandia secara keseluruhan, mengambil tempat setelah menyerahnya pasukan Amerika di hari itu.

Uhlig membagi tawanan Amerikanya yang berjumlah 225 orang menjadi grup-grup kecil dan menugaskan Fallschirmjäger-nya untuk mengawal setiap kelompok ke pos komando resimen Jerman di St. Germain-sur-Seves, dimana von der Heydte sedang menunggu laporan pertempuran. Ketika sang Oberfeldwebel der Reserve (Sersan Cadangan) melihat bahwa dia kekurangan orang untuk mengawal tawanan, dia menyadari bahwa dia telah meringkus lebih dari 200 orang! Setelah tawanan dikirim ke garis belakang, dia memutuskan untuk tetap di garis depan menduduki posisi yang baru saja ditinggalkan musuh. Uhlig ditemani oleh awak senapan mesin terpercayanya serta orang-orang lain dari unit yang berdekatan. Tak lama dia kembali ke desa bersama Fallschirmjäger-nya yang masih tersisa untuk melaporkan kepada von der Heydte bahwa misi telah berhasil dilaksanakan.

Major von der Heydte, yang telah menempatkan pos komandonya di loteng sebuah rumah pertanian besar, memuji pencapaian prestasi sang sersan yang luar biasa dan memperkenalkannya pada 11 orang perwira Amerika yang berhasil dia tawan. Yang terjadi selanjutnya bisa diartikan sebagai indikasi betapa ksatrianya von der Heydte dan memperlihatkan bagaimana pandangannya akan musuh yang sudah ditawan. Semua yang hadir di pos komando tersebut – termasuk perwira-perwira yang ditangkap – kemudian minum teh bersama! Ini adalah saat 'beradab' di sela-sela pertempuran berdarah yang berlangsung selama berminggu-minggu, dan sikap ksatria komandan Jerman ini akan menggema dalam aksi tambahan yang dia ambil kemudian di hari yang sama.

Pada sekitar jam 15:00, von der Heydte menerima laporan bahwa beberapa orang tentara Amerika berusaha untuk menolong teman-teman mereka yang terluka dan tergeletak di padang rumput berawa di antara pulau dan sungai Seves. Tiga orang pendeta US Army yang bertugas di 358th Infantry – Father Katolik Joseph J. Esser, Chaplain Salvation Army Edgar H. Stohler dan Pastor Disciples of Christ James M. Hamilton – telah memutuskan di antara mereka sendiri untuk nekad pergi ke wilayah tak bertuan untuk menemani prajurit yang terluka. Dengan hanya bersenjatakan bendera putih kecil dengan palang merah di dalamnya, mereka tak mengindahkan tembakan pesawat udara dari atas dan berondongan peluru dari kedua belah pihak saat mereka berjalan menuju padang alang-alang, mencari prajurit yang masih bisa ditolong. Ketika pihak Jerman mengetahui apa yang mereka lakukan, mereka begitu terkesan akan keberanian para pendeta ini sehingga menghentikan tembakan! Pihak Amerika pun melakukan hal yang serupa, sehingga kini tak ada lagi peluru yang berseliweran kecuali tembakan artileri dari belakang yang masih tidak berhenti.

Seorang Hauptmann Fallschirmjäger bergerak maju untuk menemui pendeta-pendeta tersebut, yang saat itu sedang mengarahkan para pembawa usungan ke arah orang-orang yang terluka. Dia dan para pendeta lalu melakukan pembicaraan dengan bantuan seorang prajurit Amerika yang menguasai bahasa Jerman, dan berdasarkan keterangan pihak Jerman, mereka lalu memutuskan untuk menginformasikan von der Heydte tentang apa yang terjadi. Seorang perwira Jerman di kemudian hari mengklaim bahwa von der Heydte memerintahkan gencatan senjata untuk sementara demi menukarkan tawanan yang terluka di antara kedua belah pihak.

Bukan hanya sekali ini saja von der Heydte menunjukkan sisi perikemanusiaan terhadap unit-unit Amerika setelah pertempuran yang berdarah-darah. Tanggal 4 Juli 1944, pasukan dari Fallschirmjäger-Regiment 6 menghentikan serangan balasan mereka terhadap 83rd Infantry Division Amerika di sektor yang sama, yang sebelumnya telah menimbulkan korban besar bagi lawannya yaitu 331st Infantry Regiment. Divisi Amerika itu sendiri kehilangan sekitar 1.400 orang saat melakukan serangan yang gagal di selatan Carentan melalui Periers. Setelah serangan yang berdarah-darah tersebut, von der Heydte dilaporkan telah mengembalikan prajurit-prajurit medis Amerika yang ditawan dengan tambahan sebuah catatan yang ditujukan kepada Major-General Robert C. Macon, sang komandan divisi, yang mengatakan bahwa Macon kemungkinan masih membutuhkan tenaga mereka. Von der Heydte juga meminta bahwa, jika situasi kemudian berbalik, dia mengharap jenderal Macon untuk melakukan hal yang sama. Di tanggal 4 Juli tersebut, sebuah gencatan senjata yang berlangsung selama tiga jam telah disetujui, dan 16 orang prajurit Amerika yang terluka parah dievakuasi ke pos pertolongan pertama sebagai tambahan mereka-mereka yang telah mendapat pertolongan di pos medis Jerman. Pada waktu yang sama, tentara Fallschirmjäger yang telah terluka dan mendapat perawatan di pos pertolongan pertama Amerika kemudian dikembalikan ke petugas medis Jerman.

Saat pencarian bagi prajurit yang terluka dalam pertempuran di tanggal 23 Juli 1944 berlanjut, kedua belah pihak kini mengerahkan tenaga mereka untuk usaha tersebut. Seorang wartawan Amerika melaporkan bahwa Chaplain Hamilton mendapat lambaian tangan dari seorang prajurit parasut Jerman yang bertugas mengawaki pos senapan mesin. Si gunner, dengan bahasa isyaratnya, menunjukkan tempat seorang prajurit yang terluka. Saat Hamilton bergerak menuju ke arah yang ditunjukkan, dia menemui prajurit lain yang kakinya telah tertembak. Kemungkinan salah satu atau kedua-dua prajurit ini terluka akibat tembakan penembak senapan mesin yang sama. Setelah perang, veteran Fallschirmjäger Karl Bader dan Othmar Karrad mengetengahkan cerita tentang bagaimana pasukan parasut dan petugas medis Jerman telah membantu si pendeta dan pembawa usungan dalam usaha mereka di dekat Seves.

Setelah gencatan senjata yang berlangsung selama tiga jam, pertempuran dilanjutkan. Tak pernah lagi 90th Infantry-Division kehilangan begitu banyak prajurit dan perwiranya yang menyerah – total berjumlah 265 orang – ke pihak Jerman. kenyataannya, divisi ini kemudian mendapat nama harum di sisa perang dengan begitu banyak medali dan penghargaan yang diterima oleh anggotanya sehingga mendapat reputasi sebagai salah satu divisi terbaik Amerika Serikat dalam Perang Dunia II.

Kisah tentang gencatan senjata ini kemudian dipublikasikan di Amerika, dan memberi sedikit "kenyataan" tentang suasana pertempuran yang sebenarnya di musim panas tahun 1944 bagi rakyat negara tersebut yang selama ini dijejali oleh propaganda akan betapa brutal dan tidak ksatrianya pihak Jerman. di luar Fallschirmjäger-Regiment 6 sendiri, hanya sedikit saja orang Jerman yang tahu mengenai perjanjian gencatan senjata yang telah digagas oleh von der Heydte.

Kegagalan 90th Infantry-Division dalam mengambil alih pulau Seves dari tangan Jerman kenyataannya hanya merupakan langkah mundur sementara belaka. Pada akhir tanggal 27 Juli 1944 pihak Amerika telah menguasai St. Germain-sur-Seves – yang telah ditinggalkan oleh Fallschirmjäger yang berani beberapa saat sebelumnya – dan kemudian bergerak untuk membebaskan Periers. Tak lama setelah kekalahan di Seves, Major-General Eugene Landrum dibebas-tugaskan dan diganti oleh Brigadier-General Raymond S. McLain. Di titik itulah nasib 90th Division mulai berubah. McLain, digambarkan sebagai seorang "perwira yang sangat efektif" oleh Lieutenant-General Omar J. Bradley (komandan US First Army), memimpin 90th Division dalam Operation Cobra. Pada akhirnya, berdasarkan keterangan jenderal Bradley, 90th Infantry-Division "menjadi salah satu unit yang paling luar biasa di ajang pertempuran Eropa".

Serangan balasan Oberfeldwebel der Reserve Alexander Uhlig tercatat sebagai salah satu aksi Jerman yang berhasil dalam fase-fase akhir Pertempuran Normandia. Pada tanggal 24 Oktober 1944, Uhlig dianugerahi Ritterkreuz atas kesuksesannya dalam pergulatan di St. Germain-sur-Seves. Dia kemudian tertangkap oleh anggota-anggota 357th Regiment/90th Infantry dan menghabiskan sisa perang di kamp tawanan Sekutu.

Data Pribadi:
Lahir: 9 Februari 1919 di Meusdorf Manor (Leipzig)
Meninggal: 1 November 2008 di Essen
Tanggal masuk militer: 2 November 1937
Pangkat terakhir: Oberfeldwebel
Jabatan terakhir: Komandan pengganti 15.Kompanie/Fallschirmjäger-Regiment 6

Medali dan Penghargaan:
- Ritterkreuz des Eisernen Kreuzes: 29 Oktober 1944 sebagai komandan pengganti 15./FJR6
- Eisernes Kreuz I klasse: 1 Agustus 1943
- Eisernes Kreuz II Klasse
- Fallschirmschützenabzeichen: 1938
- Sudetenmedaille mit Spange: 1939
- Narvikschild: 1941
- Verwundetabzeichen: 1942
- Kretaband: 1942
- Frontflugspange in Bronze: 1942
- Beobachterabzeichen: 1943
- Frontflugspange in Silber: 1943
- Frontflugspange in Gold: 1943


0 komentar:

Selasa, 13 November 2012

Tragedi Blücher Bersaudara, Saving Private Ryan ala Nazi Jerman

Wolfgang Graf von Blücher, putra tertua di antara Blücher Bersaudara yang terbunuh dalam Pertempuran Kreta (disini pangkatnya masih sebagai Leutnant). Dia adalah seorang kakak sekaligus idola bagi adik-adiknya, dan karena pengaruhnyalah Leberecht dan Hans-Joachim bergabung dengan Fallschirmjäger

Leberecht Graf von Blücher, si penunggang kuda misterius yang terbunuh dalam usahanya membantu kakaknya yang terkepung musuh. Setelah kematiannya, banyak warga sekitar yang bersumpah telah melihat hantu dirinya sedang menunggang kuda

Hans-Joachim Graf von Blücher, si bungsu yang meregang nyawa di usia yang masih teramat muda (17 tahun). Kehilangan ketiga anak kebanggan keluarga ini telah memukul sang ibu teramat dalam, apalagi dia baru menerima beritanya empat minggu setelah kejadian

Wehrpaß dari Wolfgang Graf von Blücher. Dia dan adik-adiknya merupakan keturunan dari Jenderal Prusia Von Blücher yang menjadi penentu kehancuran Napoleon dalam Pertempuran Waterloo

Death Card dari Blücher Bersaudara, dengan nama-nama anggota keluarga yang berduka di bagian bawah. Perhatikan, bahwa masih ada satu orang anggota lelaki keluarga Blücher yang selamat, yaitu Leutnant zur See Adolf Graf von Blücher, dialah si "Ryan" yang sebenarnya! Kemungkinan besar bahwa si Adolf ini ditarik dari garis pertempuran demi mencegah tertumpahnya darah Blücher keempat, sama seperti yang terjadi dalam kasus Private Ryan dalam filmnya Steven Spielberg

Batu nisan dari kuburan dua orang anggota Blücher Bersaudara. Sampai saat ini mayat Leberecht tak pernah ditemukan...


Bagi yang pernah menonton film fenomenal Saving Private Ryan karya Sutradara Yahudi Steven Spielberg, pastilah tahu akan jalan cerita film tersebut, dimana Tom Hanks dan pasukannya ditugasi untuk menarik Matt Damon dari medan laga, dengan alasan sederhana bahwa semua kakak-kakaknya telah terbunuh dalam pertempuran. Ternyatalah hal seperti ini (kakak-adik yang terbunuh dalam perang) bukanlah suatu hal yang aneh dan hanya terjadi dalam film saja, karena setiap negara mempunyai Saving Private Ryan versi mereka sendiri, seperti contohnya lima bersaudara dari keluarga Sullivan (Amerika Serikat) yang tewas dalam waktu yang sama ketika kapal laut yang mereka tumpangi tenggelam dalam perjalanannya di lautan (yakni peristiwa tenggelamnya kapal perang USS Juneau).

Lalu bagaimana dengan Nazi Jerman? Tentu saja ada pula yang masuk dalam kategori, salah satu di antaranya adalah si kembar Schneider dari 3./FJR5 yang sama-sama terbunuh dalam pertempuran memperebutkan Lembah 331 dekat Bou-Arada, Tunisia, awal tahun 1942. yang satu terbunuh ketika berusaha membantu saudaranya yang terluka parah, yang juga kemudian meninggal karena luka-lukanya. Ada juga Alfred Genz yang kehilangan dua orang saudaranya (Günther Genz dari FJR3 dan Harald Genz dari 2./LL.St.Rgt) dalam pertempuran di Kreta. Karena kematian tersebut, Genz menjadi satu-satunya anggota keluarga pria yang selamat dalam keluarganya, dan mendapat dispensasi untuk keluar dari ketentaraan (sama seperti dalam film Saving Private Ryan). Bukannya bersyukur, Genz malah menolaknya dan kemudian ditugasi untuk membentuk kembali batalion pertama dari Sturm Regiment yang hancur lebur di Kreta. Tanggal 1 Januari 1942 dia ditransfer ke Sekolah Pertempuran Darat Luftwaffe yang terletak di Groß-Born dimana disana dia menjadi instruktur yang menangani pelatihan para calon komandan kompi.

Yang paling terkenal dari kasus-kasus "saudara terbunuh dalam peperangan" ini adalah tragedi yang menimpa tiga orang anggota keluarga Blücher.

Di antara enam ribu lebih Fallschirmjäger yang terbunuh dalam Pertempuran Kreta, terdapat tiga orang bersaudara yang masih merupakan kerabat dari Gebhard Leberecht von Blücher, Generalfeldmarschall asal Prusia yang meraih nama besarnya dalam Pertempuran Waterloo melawan Napoleon Bonaparte. Para keturunan aristokrat tradisional Prusia ini sama-sama bertugas di Divisi Fallschirmjäger ke-7 (meskipun berada di kompi yang berbeda-beda), dan KIA (Killed in Action) dalam pertempuran sengit ketika berusaha merebut pangkalan udara di sekitar Heraklion.

Nomor pertama adalah Leberecht Graf von Blücher, yang menemui ajalnya ketika berusaha mensuplai amunisi kepada kakak tercintanya, Wolfgang Graf von Blücher, yang bersama dengan pasukannya terkepung hebat oleh tentara-tentara Black Watch Sekutu. Leberecht yang baru berusia 19 tahun dengan berani memacu seekor kuda menembus garis Sekutu, sementara amunisi yang dibutuhkan diikatkan di sadel kudanya. Hampir saja dia berhasil mencapai posisi kakaknya... tapi kemudian dengan mata kepalanya sendiri, sang kakak Wolfgang melihat adiknya tertembus peluru musuh. Usaha Leberecht sendiri tidak sia-sia karen amunisi akhirnya berhasil didapatkan oleh peleton kakaknya, walaupun harus dibayar oleh nyawanya sendiri (mayatnya tidak pernah ditemukan, entah bagaimana ceritanya). Keesokan harinya, Wolfgang ikut pula terbunuh bersama seluruh peletonnya, diikuti dengan si bungsu Hans-Joachim Graf von Blücher yang baru berusia 17 tahun dan dilaporkan telah tewas dalam pertempuran beberapa hari kemudian.

Orangtua Blücher tidak pernah mendapat berita sekecil apapun tentang kematian tiga orang anaknya, dan barulah di minggu keempat setelah peristiwa tersebut mereka mendapat pemberitahuan secara resmi dari resimen (yang baru pulang dari Kreta) dan disampaikan langsung oleh komandan resimen tempat Blücher bersaudara ditempatkan. Tak terbayang rasa sakit dan kehilangan yang harus mereka tanggung, ketika dalam sekejap mereka menyadari bahwa mereka tak akan pernah lagi melihat anak-anaknya tercinta, bahkan hanya sekedar jenazahnya atau sisa-sisanya.

Saudara perempuan mereka yang masih tersisa, Gertrude Baroness von Ketelholdt (masih ada lagi satu saudara laki-laki yang lain, Leutnant zur See Adolf Graf von Blücher yang bertugas di Kriegsmarine), berkata : "Wolf (panggilan Wolfgang) menulis surat pada kami dua hari sebelum keberangkatannya ke Kreta, yang memberitahukan mengenai keadaan dia dan adik-adiknya. Lalu kemudian hubungan terhenti, dan kami semua dicekam oleh rasa khawatir yang sangat akan nasib mereka, terutama ibu kami yang sudah tua. Barulah empat minggu kemudian datang sebuah surat yang menghancurkan, yang memberitahukan bahwa semua adik kami telah tiada di pertempuran yang sama." Gertrude tidak dapat melupakan apa yang terjadi pada saudara-saudaranya di pulau Kreta, dan dia tercatat sebagai pengunjung pertama kuburan Wolfgang dan Hans-Joachim yang terletak di blok 1 nisan no. 457 dan 458 di kompleks pemakaman para tentara Jerman yang terletak di bekas lapangan udara Maleme.

Kisah ketiga bersaudara Blücher ini begitu melegendanya di kalangan penduduk Kreta, dan bertahun-tahun kemudian para keluarga miskin yang tinggal di desa kumuh di sekitar lokasi bersumpah bahwa mereka kadang melihat hantu penunggang kuda yang menderap kudanya dengan kecepatan tinggi di malam buta menyusuri jalan di dekat lokasi persis dimana Leberecht tertembak. Uniknya, pada awalnya mereka menduga bahwa hantu itu pastilah berasal dari prajurit Inggris yang meninggal disana, dan barulah ketika diberitahu bahwa sebenarnya yang terbunuh adalah Blücher bersaudara, mereka menjadi tahu kenyataan yang terjadi.

Berikut ini akan saya ceritakan kejadian gugurnya ketiga kakak beradik tersebut, beserta biografi singkat mereka:

Oberleutnant Wolfgang Hanner Peter Lebrecht Graf von Blücher (31 Januari 1917 di Altengottern - 21 Mei 1941 di Kreta) dengan nama panggilan ‘Wolf’ adalah yang tertua di antara semuanya sekaligus yang paling berprestasi. Para rekan seperjuangannya melihat dia sebagai seorang manusia berjiwa pemimpin, bukan karena berasal dari keturunan yang mentereng, melainkan semata karena apa yang telah dilakukannya. Sebelum perang dia mempelajari pertanian dan ilmu kehutanan dan menjadi ahli dalam bidang pekerjaannya. Keluarganya sendiri berasal dari Mecklenburg, dan meskipun minatnya tetap kepada apa yang telah disebutkan sebelumnya, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk menjadi seorang tentara, dan mendaftarkan diri di Heer sebagai cadangan Kavaleri tahun 1934. Pilihan ini bisa dibilang tidaklah biasa, karena tanpa menjadi seorang tentara pun Wolfgang sudah sah menjadi orang kaya, apalagi setelah ayahnya meninggal dan dia diserahi tugas mengelola tanah keluarganya yang luas di Mecklenburg. Apalagi yang dicari oleh pemuda berwajah khas Jerman ini?

Di akhir tahun 1939 Wolfgang (yang kini berusia 23 tahun) meminta untuk dipindahkan ke unit Fallschirmjäger dari Luftwaffe, dan permintaannya dipenuhi. Bulan Januari 1940 dia menyelesaikan latihan terjun payung dan tak lama langsung diterjunkan dalam Operasi Fall Gelb (serbuan Jerman ke Prancis dan Negara-Negara Bawah). Pangkatnya saat itu adalah Leutnant der Reserve sekaligus sebagai komandan peleton dari kompi 2 yang merupakan bagian dari Resimen Fallschirmjäger pertama dan Divisi Fallschirmjäger ke-7.

Dalam penyerbuan Jerman ke Belanda, Wolfgang kebagian bertempur di daerah Trondheim dan diterjunkan dari udara untuk mendarat di jembatan Dordrecht. Pada mulanya, pasukan Fallschirmjäger yang bertugas menduduki jembatan tersebut hanyalah yang berasal dari Kompi kedua pimpinan Oberleutnant Von Brandis (mantan penerjun Angkatan Darat), tapi kemudian mereka menemui perlawanan yang kuat di jalan-jalan dalam perjalanan menuju kesana, sehingga tambahan pasukan menjadi sangat diperlukan. Keadaan menjadi kritis, ketika Von Brandis pun kemudian terbunuh, sehingga komandan resimen, Oberst Bruno Bräuer (pangkat terakhirnya adalah General der Fallschirmtruppe) memerintahkan semua elemen dari I./FJR 1 untuk bersama-sama mencapai dan merebut jembatan Dordrecht.

Nah, disinilah Wolfgang menunjukkan kemampuan terbaiknya sebagai seorang prajurit ketika dia berhasil memimpin pasukannya, bukan saja dalam mencapai jembatan tersebut tapi juga menguasainya. Atasannya menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya dalam pertempuran itu adalah EXCELLENT, sehingga menganugerahinya dengan Ritterkreuz pada tanggal 24 Mei 1940.

Berdasarkan penuturan dari saudarinya, Baroness von Ketelholdt, setelah Operasi Fall Gelb selesai dan Jerman menduduki Eropa Barat, Wolfgang meminta izin cuti untuk mengurus tanah keluarganya di Mecklenburg. Musim panas tahun 1941 Wolfgang telah melapor kembali di resimennya, dan langsung dipersiapkan untuk menghadapi pertempuran di Yunani.

Dalam pertempuran Kreta, Wolfgang dan pasukannya kebagian tugas untuk bergabung dengan batalion Hauptmann Burckhardt yang dalam proses dibantai pasukan Inggris dari The Black Watch (mereka sudah kehilangan lebih dari 300 orang, belum lagi 100 orang lebih yang terluka dan beberapa ditawan). Tengah malam ketika sudah dekat dengan tujuannya di lapangan udara Heraklion, Wolfgang melihat sekelompok pasukan yang nongkrong di bukit sebelah tenggara landasan. Begitu yakin dia bahwa pasukan yang dilihatnya merupakan bagian dari patroli yang dikirimkan oleh Burckhardt, sehingga dia buru-buru meneriakkan password 'Reichsmarschall', hanya untuk mendapat hujan tembakan dan peluru. Ternyata mereka adalah pasukan musuh yang mengepung Hauptmann Burckhardt.

Tak lama Wolfgang dan pasukannya telah terkepung pula, dan walaupun mereka bertahan dengan gigih melawan setiap usaha penerobosan dari pihak musuh, cadangan amunisi menurun dengan cepat. Major Walther, komandan batalion yang membawahi Wolfgang, memerintahkan pada pasukannya agar mengerahkan segala daya dan upaya demi menyelamatkan peleton yang terkepung tersebut, dengan menekankan bahwa ini bukan hanya upaya biasa tapi sudah menyangkut masalah kehormatan yang dijunjung tinggi oleh para Fallschirmjäger. Tapi yang jadi problem, infanteri Skotlandia yang terkenal dengan nama Black Watch yang menjadi pengganjal utama ini telah berada dalam posisi yang enak buat menyerang maupun bertahan, sehingga begitu sulitnya untuk menembus kepungan mereka.

Di lain pihak, peleton Wolfgang berusaha mati-matian bertahan, menggali lubang perlindungan dengan semua alat yang tersisa, bahkan dengan helm dan jari telanjang mereka! Di sekitar, tak henti-hentinya datang tembakan dari senapan mesin Vickers musuh, ledakan mortir dan juga artileri. Wolfgang dan banyak dari pasukannya telah terluka. Kekuatan mereka kini telah menjadi tinggal setengahnya, dan telah berhari-hari mereka bertempur tanpa henti tanpa mendapat istirahat yang cukup dan juga pasokan amunisi.

Di saat inilah, menurut salah seorang saksi mata, hadir sebuah pemandangan yang menakjubkan yang sungguh tak dapat dipercaya bagai dalam dongeng saja. Seorang prajurit berkuda tiba-tiba datang dari kejauhan, memacu kudanya dengan konsentrasi tinggi dan kecepatan penuh, sementara boks amunisi terpasang di sadelnya. Begitu tidak biasanya pemandangan ini sehingga The Black Watch hanya dapat terpana melihatnya. Tapi tak lama, mereka tersadar dan segera menghujani tembakan kepada si pemuda pemberani. Tembakan gencar tersebut barulah berbuah ketika si penunggang kuda telah sampai di tujuannya, dan bagaikan dalam drama, sesampainya disana dia langsung terkulai lemah dengan banyak lubang bekas peluru di badannya.

Ketika amunisi kemudian dibagikan, Wolfgang bertanya siapakah si pemuda pemberani tersebut dan bagaimana keadaannya. kepahlawanannya telah membangkitkan kembali semangat bertempur pasukannya yang terkepung. Begitu hancurnya hati Wolfgang ketika mendapati bahwa dia tidak lain dari adik tercintanya sendiri, Leberecht, yang baru berusia 19 tahun dan dilaporkan telah meninggal tak lama setelah menyelesaikan misinya.

Wolfgang sendiri menyusul adiknya ke alam baka bersama dengan sisa-sisa pasukannya keesokan harinya. Mereka menolak untuk menyerah, dan bertempur bagaikan banteng terluka dengan berbekal amunisi pemberian Leberecht, sampai semua orang yang sudah terluka pun ikut memanggul senjata. Pasukan Inggris hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kegigihan yang amit-amit dari unit pinilih Fallschirmjäger ini. Mungkin kalau situasi terbalik dan mereka berada dalam posisi Wolfgang, mereka akan lebih memilih untuk menyerah dan hidup daripada meneruskan pertempuran hanya untuk mati.

Gefreiter Leberecht Graf von Blücher (1922 di Fincken – 20 Mei 1941 di Kreta) menyelesaikan sekolahnya tahun 1940, dan kemudian langsung mendaftar menjadi seorang prajurit infanteri Wehrmacht yang ditempatkan di Prusia Timur. Saudara sekaligus idolanya, Wolfgang, mengajaknya untuk bergabung dengan Fallschirmjäger, dan Leberecht pun menyanggupinya. Dia menjalani pelatihan penerjunan bulan Januari 1941 di Tangermünde, dan tak lama langsung terjun ke dalam pertempuran Kreta (dimana dia terbunuh) dan merupakan bagian dari Resimen Fallschirmjäger pertama.

Jäger Hans-Joachim Graf von Blücher (28 Oktober 1923 di Fincken – 20 Mei 1941 di Kreta) menjalani sekolah berasrama di Misdroy yang terletak di dekat Laut Baltik. Sama seperti Leberecht, Hans-Joachim pun menuruti saran kakaknya untuk bergabung dengan Fallschirmjäger tak lama setelah lulus sekolah di usianya yang baru ke-17, dan tergabung dengan resimen yang sama dengan kakaknya yang kedua, Leberecht, di Resimen Fallschirmjäger Pertama.


0 komentar: