Rahasia Di Balik Suksesnya Blitzkrieg 1939 - 1941
Pesawat pembom tukik Junkers Ju-87 "Stuka, salah satu pesawat tempur yang diandalkan Jerman dalam melakukan Blitzkrieg
Pasukan Jerman dalam invasi ke Polandia
Taktik dan strategi yang diterapkan Angkatan Bersenjata Jerman di awal Perang Dunia II ini saya kira sangat cocok diterapkan pada setiap angkatan bersenjata di semua negara, termasuk Indonesia. Kombinasi Panzer-Panzergrenadier, teknologi mesin perang, moral dan kekuatan Luftwaffe menjadi tumpuan Jerman dalam melakukan Blitzkrieg.
Saat mesin-mesin perang Jerman nampaknya tak tertahankan menggilas melalui jantung eropa, gurun pasir dan bukit batu Afrika, serta padang rumput maha luas di Rusia, seluruh dunia seakan tak berhenti berdecak kagum, baik kawan, lawan, maupun pihak netral. Mereka belajar satu kata baru: Blitzkrieg (Perang Kilat). Para pemimpin militer dunia dan strategis menanyakan pada diri mereka sendiri: "apa rahasia mereka?".
Mereka akan
terkejut bila mengetahui bahwa sebenarnya tak ada rahasia yang
tersembunyi disini. Tak ada dukun terlibat (apalagi yang namanya santet) berseliweran
menerpa musuh-musuh Jerman. Staff Jenderal Wehrmacht telah dengan cermat
menganalisis potensi dan kelemahan calon lawan mereka, lama sebelum
perang itu sendiri terjadi. Dengannya mereka lalu mengembangkan rencana
operasi yang paling cocok, membangun sistem kontrol dan komando terpadu
yang efektif, dan mengintegrasikan pasukan lapis baja baru yang mereka
punyai dengan kekuatan artileri, infanteri, dan Luftwaffe sehingga
membentuk sebuah kekuatan gabungan yang sangat efisien.
Pengaruh
Blitzkrieg ini langsung dirasakan oleh negara-negara seperti Polandia,
Prancis, Inggris dan Rusia saat mereka berhadapan dengan unit-unit
Jerman. Tiba-tiba mereka telah dibombardir oleh artileri darat dan
pembom udara, tiba-tiba suara Stuka yang mengerikan menderu ke arah
mereka, tiba-tiba panzer datang dengan diikuti oleh infanteri-infanteri
di belakangnya, tiba-tiba mereka telah terkepung, terputus dari unitnya,
tertangkap, bahkan saat mereka baru turun dari kereta api di garis
belakang. Jerman telah belajar dari kekalahan tragisnya dalam Perang
Dunia Pertama. Tak seperti musuh-musuhnya, Jerman tidak siap bila harus
mengalami lagi perang gaya parit bercampur lumpur seperti yang terjadi
di Somme, Verdun, Passchendaele dan tempat-tempat melegenda lainnya.
Latihan keras Angkatan Bersenjatanya dimaksudkan untuk mencegah hal
tersebut terulang kembali. Tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan
pertahanan musuh secepat mungkin, menembus melalui wilayah belakangnya,
mengganggu pasokan logistiknya, dan mengalahkan musuh secara telak
sebelum dia bahkan sempat membangun kekuatan.
Hal ini
tampaknya sederhana, tapi tidak semudah seperti yang terlihat. Di masa
damai, saat negara-negara lain bersikap santai dalam membangun kekuatan
militernya, diam-diam Jerman membangun suasana layaknya "perang" bagi
Wehrmacht-nya yang baru lahir. Prajurit-prajurit dilatih dengan
menggunakan peluru tajam, amunisi asli, dan situasi layaknya di medan
pertempuran yang sebenarnya. Latihan fisik dan mental dilakukan
sepanjang waktu, tidak terbatas hanya saat mereka menjadi kadet saja.
Manuver (latihan perang) kerap diselenggarakan, dan biasanya melibatkan
tidak hanya satu cabang Angkatan Bersenjata belaka. Unit-unit dilatih
dalam segala aspek misi yang dibebankan kepada mereka. Bahkan dengan
begitu banyaknya perekrutan kader-kader baru yang seakan tak berakhir,
pengembangan unit yang sudah ada dan pembentukan unit-unit baru,
kebanyakan darinya tidak lalu tumbuh menjadi unit dan individu yang
biasa-biasa saja atau bahkan lembek. Mereka menjadi kekuatan baru yang
tangguh, layaknya veteran perang yang sebenarnya. Pelatihan unit kecil
dan individu prajurit melibatkan serangkaian latihan tempur yang
didesain untuk mengkondisikan unit dan prajurit agar siap untuk
bertempur seperti halnya dalam latihan biasa. Pelatihan untuk para
komandan dan perwira pun tidak luput menjadi perhatian. Kursus dan
pelatihan tambahan yang panjang diterapkan kepada mereka, agar nantinya
mereka siap lahir-batin memimpin pasukannya dalam segala kondisi di
pertempuran yang sebenarnya. Latihan mereka tak hanya ditujukan agar
memimpin anak buahnya secara “benar”, tetapi juga bagaimana agar mereka
bisa mengkombinasikan kekuatannya dengan pasukan dari unit lain yang
berbeda. Hal ini memberikan suatu bentuk profesionalisme yang begitu
luar biasa, sehingga membuat unit-unit ini mampu bertahan melalui enam
tahun penuh peperangan yang brutal dan berdarah-darah.
Faktor
lainnya adalah fleksibilitas. Dengan menitikberatkan pada karakter
rakyat Jerman yang terkenal kreatif dan teratur, para komandan dan
prajurit didorong untuk menggunakan inisiatifnya manakala diperlukan.
Selalu ditekankan bahwa setiap prajurit mempunyai peran yang sama dalam
pencapaian keberhasilan dari misi yang dibebankan kepada unitnya. Bila
situasi kemudian berubah secara drastis, jangan hanya menunggu perintah
baru yang dikeluarkan tapi lakukanlah sesuatu, apa saja! Bila komandanmu
menjadi korban, ambil alih komando. Bila kamu melihat sebuah kesempatan
yang tak terduga, ambillah keuntungan darinya. Yang jelas, jangan
berhenti bergerak ke depan, maju di antara suara desingan peluru.
Kebijakan yang sangat mendukung inisiatif dan kreatifitas ini (yang saat
itu tidak banyak diterapkan di negara-negara lain) telah ikut
bertanggungjawab terhadap kemenangan-kemenangan awal Jerman, sama dengan
faktor-faktor non-mental lainnya.
Hal ini
berkaitan erat dengan sikap orang-orang Jerman terhadap profesi militer.
Tugas militer dipandang sebagai sebuah profesi yang terhormat di
kalangan masyarakat. Ini bukan berarti bahwa semua orang menganggapnya
begitu. Hanya saja, hal ini telah secara umum diterima dan dipromosikan
dalam pemuatan berita-berita koran, majalah, buku dan media pra-perang
lainnya. Kebanyakan anggota tentara pra-perang mempunyai usia berkisar
24-28 tahun. Mereka telah mengalami masa muda yang "gemilang" selama
berlangsungnya kebangkitan Nasional-Sosialisme melalui Hitlerjugend (Anak Muda Hitler) dan Reichsarbeitsdienst
(Tugas Buruh Nasional). Mereka melihat dengan rasa bangga bangkitnya
Jerman dari "kekalahan memalukan" dalam Perang Dunia I menjadi salah satu
negara terpandang di Eropa dan dunia melalui kekuatan militernya.
Orang-orang ini merupakan inti dari Angkatan Bersenjata Jerman yang
baru. Di dalam kebanyakan unit Wehrmacht, mereka hanya terdiri dari
10-15% tamtama, tapi mempunyai porsi yang lebih besar dalam tubuh
bintara dan porsi yang lebih besar lagi dalam tubuh perwira yuniornya.
Semuanya diilhami oleh konsep Gemenschaft
(solidaritas komunitas). Ini adalah semacam ideologi non-formal yang
menjadi pembentuk kesetiakawanan dan kekesatriaan dalam kehidupan
militer. Skill bertempur yang mumpuni, solidaritas antar unit, dan
kekuatan fisik. Prajurit-prajurit muda bersemangat dan fanatik yang
telah dibekali itu semua nantinya akan menjadi contoh dari kedahsyatan
bertempur yang tak henti-hentinya menjadi bahan penelitian oleh para
sejarawan. Mereka juga menjadi penyemangat anggota unit lainnya yang
mungkin tidak "seantusias" mereka. Ideologi Gemenschaft
ini sekaligus juga menjadi penguat kepaduan unit, sejajar dengan ikatan
militer melalui sumpah prajurit di depan bendera unit, seragam
masing-masing unit yang mempunyai kekhasan tertentu, dan penghargaan
seabrek-abrek bagi tiap orang yang berpestasi dalam pertempuran.
Sistem
penggantian Angkatan Bersenjata Jerman juga berfungsi untuk mencapai dan
mempertahankan hal ini. Dalam rangka menjaga identitas unit, sebuah
divisi biasanya tidak akan ditarik dari pertempuran sebelum jumlahnya
berkurang sampai 75-50%. Datangnya anggota baru dan pulangnya anggota
lama dari cutinya kembali menempatkan kekuatan divisi secara penuh.
Anggota baru ini kemudian mendapat latihan ulang yang menekankan pada
kerjasama dengan anggota-anggota lama, dan tidak akan diterjunkan
kembali dalam pertempuran sebelum tercipta kesatuan yang kokoh seperti
sebelumnya. Hal ini membuat Kampfgeist
(semangat bertempur) tetap terjaga tanpa mengalami penurunan moral.
Sistem seperti ini terus dilakukan oleh Wehrmacht, sampai akhirnya
superioritas Sekutu di akhir-akhir perang membuat hampir mustahil untuk
mempertahankannya.
Jadinya,
tidak hanya strategi baru dan peralatan perang modern yang menjadi
penyebab keberhasilan Jerman di awal perang (1939-1941), melainkan satu
yang lebih penting: mental. Hal ini hanya diketahui dan dipahami oleh
beberapa orang tertentu saja, sehingga seakan-akan orang di luarnya
menduga bahwa kunci kemenangan demi kemenangan yang diraih Wehrmacht
adalah adanya "rahasia" yang misterius. Ingat sodara-sodara, strategi
sebagus apapun dan senjata semodern apapun akan menjadi sia-sia manakala
orang yang diserahi tanggung jawab "mengelolanya" tidak mempunyai
mental bertempur yang bagus dan terinspirasi oleh apa yang dilakukannya.
Itulah yang terjadi pada pasukan Amerika di Vietnam dan pasukan
Multinasional di Afghanistan.
Sumber: http://alifrafikkhan.blogspot.com, dengan sedikit perubahan
0 komentar: