Menguak Kebohongan Holocaust
15.52
By
Fajar Muhammad Rivai
Kumpulan Artikel Tentang Nazi
0
komentar
Foto salah satu kegiatan eksekusi terhadap orang Yahudi oleh SS-Einsatzgruppen
Perang
Dunia II di wilayah Eropa menimbulkan kerugian dan korban jiwa besar.
Pada kurun waktu sejak tahun 1939 hingga tahun 1945, puluhan juta orang
tewas dan cidera di Eropa, Asia dan Afrika. Selain itu, banyak fasilitas
ekonomi hancur akibat peperangan tersebut. Berbagai peristiwa yang
terjadi dalam perang dunia selalu menjadi topik pembahasan para
sejarawan dan analis. Di antara peristiwa yang sangat kontroversial
adalah Holocaust, yaitu klaim orang-orang Zionis mengenai aksi
pembantaian terhadap enam juta Yahudi oleh pasukan Nazi. Mereka
mengklaim bahwa jenazah orang-orang Yahudi tersebut oleh para serdadu
Hitler.
Holocaust berarti pembunuhan massal dengan cara membakar. Masalah ini
diangkat kembali setelah PD II. Rezim Zionis menggunakan tragedi
holocaust sebagai trik untuk menarik perhatian masyarakat internasional
dan menggelindingkan propaganda luas dalam hal ini. Berbagai film dan
karya buku tentang holocaust diterbitkan.
Saat ini, kamp-kamp penahanan dan penyiksaan orang-orang Yahudi
khususnya kamp Auschwitz, menjadi museum untuk umum. Lebih dari 250
museum didirikan di berbagai negara guna mengenang korban Holocaust.
Bahkan, di sekolahan di AS dan Eropa tragedi itu juga dijadikan
pelajaran sejarah.
Propaganda Rezim Zionis dalam kaitan Holocaust sedemikian gencar
sehingga seorang sejarawan Yahudi bernama Alfred M Lilienthal, menyebut
propaganda itu dengan “Holocaust Mania”. Upaya terbaru Rezim Zionis
adalah dengan menekan Majelis Umum PBB untuk menetapkan tanggal 27
Januari sebagai hari Holocaust yang akan diperingati setiap tahun.
Meski propaganda Holocaust gencar dilakukan, namun banyak sejarawan dan
cendikiawan yang meragukan tragedi tersebut. Mereka juga menulis
berbagai buku mencantumkan argumen dan bukti-bukti yang mempertanyakan
keotetikan tragedi Holocaust. Meskipun demikian, para kritikus tidak
mengingkari terjadinya pembunuhan terhadap sejumlah orang-orang Yahudi
oleh pasukan Fasis Hitler, dan hal ini dinilai sebagai sebuah tragedi.
Namun mereka berpendapat bahwa tragedi itu tidak seperti yang
digambarkan oleh Rezim Zionis.
Kritikan pertama yang dilontarkan oleh para cendikiawan adalah bahwa
pada perang dunia II jutaan orang dari berbagai etnis dan agama menjadi
korban keganasan Nazi. Namun mengapa yang diekspos secara meluas
hanya dikhususkan kepada para korban Yahudi saja? Seorang anggota Komite
Pendataan Holocaust AS-Polandia, Rana I.Aloy menyatakan, meski
orang-orang Yahudi mengalami penderitaan, namun hal itu juga menimpa
orang-orang selain Yahudi. Korban paling banyak pada PD II adalah orang
Rusia. Korban tewas di pihak Jerman juga tidak sedikit dengan jumlah
mencapai 9 juta orang dan 5,1 juta orang lainnya menjadi tawanan perang.
Dengan demikian, pada PD II telah terjadi berbagai pembantaian massal
yang dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim sebagai negara yang
memiliki peradaban tinggi.
Alasan lain yang dikemukakan oleh para pengkritik tragedi Holocaust
adalah pada era perang dunia II tidak ada laporan mengenai pembunuhan
massal orang-orang yahudi. Dalam laporan Palang Merah Internasional dan
perundingan sejumlah pejabat negara penentang Nazi, juga tidak
disebutkan keterangan soal pembakaran orang-orang Yahudi oleh Nazi.
Sebenarnya, Rezim Zionis terlalu membesar-besarkan tragedi pembantaian
orang-orang Yahudi. Bukti lainnya adalah bahwa, dalam dokumen
pemerintahan Nazi, Hitler tidak pernah menginstruksikan pembantaian
massal terhadap orang-orang Yahudi Yahudi. Bahkan tidak ada catatan
mengenai pengalokasian dana besar untuk program tersebut. Karena,
program pembantaian enam juta orang Yahudi itu tentu menelan dana besar
dan rencana yang matang.
Persoalan lain yang menyebabkan tragedi Holocaust itu sulit diterima
adalah, Jerman tidak mempunyai fasilitas untuk melakukan pembantaian
massal tersebut. Pihak Rezim Zionis mengklaim bahwa, para serdadu Jerman
membantai orang-orang Yahudi dengan menggunakan gaz beracun Zyclon-B,
dan kemudian membakar janazah mereka kamp konsentrasi. Bagi negara yang
sedang dilanda perang besar, melakukan aksi pembantaian massal di negara
jajahannya adalah tindakan yang sangat tidak logis dan akan menelan
biaya sangat besar. Disamping itu, apa perlunya pasukan Nazi meracuni
orang-orang Yahudi terlebih dahulu kemudian membakar jenazah mereka?
Poin lain yang disinggung oleh seorang mantan guru besar universitas di
Perancis, Profesor Robert Faurisson adalah, orang-orang Yahudi hanya
dijadikan budak di kamp-kamp kosentrasi Nazi. Dan Nazi sama sekali tidak
memiliki kepentingan untuk membantai mereka. Karena tindakan tersebut
sama halnya dengan membuang tenaga sia-sia.
Prof Faurisson yang telah melakukan penelitian tentang tragedi Holocaust
sejak lama itu, dalam sebuah artikel yang dimuat oleh majalah Le Monde
Diplomatique, menyebutkan poin penting lainnya soal Holocaust.
Menurutnya, jika ada satu orang saja dari keluaga korban Holocaust, ia
akan menunjukkan dirinya. Namun, sampai saat ini tak satupun yang
mengklaim sebagai anggota keluarga korban Holocaust. Faurisson dan
sejumlah orang yang sepaham dengannya menilai tragedi Holocaust sebagai
sebuah sebuah dongeng karya orang-orang Zionis. Menurut keterangan para
pengamat, ruang-ruang gas yang gencar dipublikasikan oleh Rezim Zionis
itu, sebenarnya adalah ruang sterilisasi atau penyemprotan gas anti
bakteri pada pakaian dan badan jenazah.
Yang sebenarnya terjadi adalah, pada era PD II khususnya akhir perang
tersebut, berbagai penyakit menular seperti wabah dan tipes menjangkiti
para tahanan di kamp konsentrasi Nazi. Oleh karena itu, cara antisipasi
dan penanganai wabah tersebut adalah dengan menyemprotkan zat anti
bakteri dan membakar pakaian serta jenasah yang telah terkontaminasi
virus. Dan fenomena ini dipandang sebagai peluang besar bagi orang-orang
Zionis untuk mengemukakan fiksi Holocaust.
Kritikan lainnya adalah menyangkut jumlah korban di pihak orang-orang
Yahudi yang mencapai enam juta orang. Pihak Zionis mengklaim bahwa
jumlah tersebut tidak dapat diragukan lagi. Seorang sejarawan asal
Inggris, Doktor David Irwing, dalam bukunya mencantumkan berbagai
argumen bahwa aksi pembantaian terhadap enam juta orang Yahudi itu tidak
lebih dari sekedar kebohongan besar. Karena, jumlah orang-orang Yahudi
di seluruh Eropa pada masa itu tidak mencapai enam juta orang. Apalagi
pasukan Nazi tidak sepenuhnya menguasai Eropa. Seorang pengamat Iran,
Doktor Muhammad Taqi Pour mengatakan, dari jumlah keseluruhan warga
Yahudi Jerman yang mencapai 600 ribu orang, 400 ribu di antaranya atas
perintah Hitler telah meninggalkan Jerman sebelum perang dunia II
dikobarkan.
Hal lain yang perlu kita cermati adalah sejumlah dokumen menunjukkan
hubungan baik orang-orang Zionis dengan para pejabat tinggi Nazi. Pada
tahun 1933 yaitu tahun Hitler berkuasa hingga tahun 1941, orang-orang
Zionis menjalin hubungan erat dengan Nazi di bidang ekonomi. Hitler yang
sangat menentang keberadaan orang-orang Yahudi di Jerman itu, bersama
dengan orang-orang Zionis berupaya merelokasi orang-orang Yahudi ke
Palestina. Seorang analis Nazi, Alfred Rosenburg, dalam bukunya menulis,
Nazi harus mendukung pihak Zionis sehingga setiap tahun orang-orang
Yahudi di Jerman dapat dipindahkan ke Palestina.
Meskipun demikian, Rezim Zionis tetap bersikeras mempertahankan klaim
mereka soal Holocaust. Rezim Zionis juga berupaya keras menginfiltrasi
negara-negara Eropa untuk mencegah segala bentuk penelitian terhadap
keotentikan peristiwa Holocaust.
Fenomena
Holocaust begitu penting bagi Zionis karena bisa menciptakan opini
kemazluman orang-orang Yahudi. Fiksi pembantaian enam juta warga Yahudi
oleh Hitler merupakan permainan terpenting Zionis untuk menumbuhkan
belas kasih masyarakat dunia kepada orang-orang Yahudi. Oleh karena itu,
mereka tidak akan menerima kritik dalam kaitan tragedi tersebut.
Direktur
Lembaga Kebebasan Beropini di Kanada mengatakan, “Holocaust telah
berubah menjadi sebuah keyakinan. Sebuah keyakinan dirancang untuk
orang-orang selain Yahudi, dan siapa pun yang mengingkari tragedi itu
akan ditindak seperti seorang yang murtad. Hal ini merupakan langkah
yang salah dan menipu menurut akal dan logika. Profesor Robert Farison
juga mnyatakan bahwa Holocaust merupakan bom nuklir Zionis.
Hal
yang menarik, melalui kekuatan lobinya di Barat Zionis tidak
mengizinkan siapa pun untuk menolak kisah tragedi Holocaust. Saat ini di
AS dan Eropa, siapa pun tidak boleh menolak tragedi Holocaust, dan akan
ditindak jika menolaknya. Ketika AS dan Eropa melakukan propaganda
dengan gencar dalam kaitan Holocaust, seorrang analis yang berasal dari
Australia, Fredick Toban, menolak tragedi tersebut dan mendapat ganjaran
penjara enam bulan. Fredick Toban mengatakan, “Di Eropa, setiap orang
bisa menghujat Yesus dan Maryam yang suci, namun tidak dapat mengkritik
orang-orang Yahudi dan Holocaust. Sejumlah negara Eropa yang sudah cukup
maju bersedia dalam perundangan-undangannya untuk mengatur para penolak
Holocaust.
Berdasarkan
undang-undang di AS dan Eropa yang bernama Gitto, siapa pun yang
menolak Holocaust, akan terhitung sebagai orang yang anti Yahudi dan
terkena hukuman. Pernacis yang disebut sebagai negara kebebasan juga
tidak terlepas dari belenggu kekuatan lobi Zionis, sehingga harus
menerima undang-undang Fabius-Gayssot di tahun 1990. Berdasarkan
undang-undang tersebut, setiap orang yang menolak Holocaust dan
meragukan kisah tentang terbantainya enam juta orang Yahudi di Eropa,
akan dikenai hukuman penjara atau denda. Sikap itu yang tidak selaras
dengan kebebasan berpendapat di negara-negara yang membela HAM dan
kebebasan merupakan hal yang mengejutkan.
Pada
saat yang sama, Barat merupakan negara-negara yang menghargai
penelitian ilmiah dan logis, namun tetap akan menindak penentang
Holocaust yang berargumentasi dengan bukti-bukti yang valid. Ancaman
hukuman bagi para penentang Holocaust mengingatkan pengadilan-pengadilan
di abad pertengahan yang menindak terhadap para penentang keyakinan
gereja. Pada prinsipnya, larangan keras tersebut ditujukan kepada para
penentang, baik menolak maupun meragukan tergedi tersebut. Oleh karena
itu, diantara dalih mempertanyakan dan meragukan Holocaust adalah adanya
larangan yang kuat untuk menelaah lebih lanjut tragedi tersebut. Jika
tragedi pambantaian enam juta warga Yahudi adalah sebuah realitas, tidak
semestinya Zionis dan Barat khawatir dengan penelitian lebih lanjut
atas tragedi Halocaust. Tentu saja, kekhawatiran mereka ini membuktikan
lemahnya argumentasi dan bukti atas tragedi Holocaust. Robert Forison
menyatakan, “Sampai saat ini, mereka tidak dapat menjawab argumentasi
penolakan kita atas kebenaran tragedi Holocaust, melainkan menyerang
kita dengan menyeret kita ke pengadilan, menindak dan menyiksa.”
Oleh
karena itu, para analis dan pemikir di Barat yang mengkritik
Holocaust,sehingga menerima berbagai ancaman dan tekananan, yang
setidaknya dihukum berdasarkan konstitusi miring mengenai Holocaust,
menyandang sifat kesatria. Profesor Forison adalah wujud nyata yang
berani bersikap kesatria untuk mempertanyakan tragedi Holocaust. Forison
yang berkewarganegaraan Inggris dan Perancis adalah seorang sejarawan
yang melakukan penelitian tentang Holocaust selama bertahun-tahun,
bahkan berhasil mendapatkan sejumlah data terlarang milik Zionis. Namun,
ketika beliau mempertanyakan Holocaust dan menolak keberadaan ruangan
gas yang ditulis dalam bukunya, “Ruangan Gas: Fiktif atau Nyata,”
menyebabkan kemarahan Zionis dan Perancis.
Profesor
Forison diberhentikan dari aktivitas mengajar di Universitas Lion di
tahun 1978, dan menurut rencana akan diadili di bulan Juni karena
wawancaranya dengan Televisi Sahar milik Republik Islam Iran dalam
kaitannya dengan Holocaust. Horison dalam wawancara tersebut menyatakan,
“Kami para penentang Holocaust tidak diberi hak untuk mencetak dan
menyebarkan artikel dan buku. Mereka membakar buku-buku kami dan
melarang penerbitannya di luar negeri.”
Profesor
Roger Garaudy adalah sosok lain yang menolak kisah tentang Holocaust,
sehingga diseret ke pengadilan. Karya besar Garudi yang berjudul
“Mitos-mitos Pembangun Politik Israel” juga menghadapi penentangan keras
dari kaun Zionis, karena buku tersebut mengungkap kebohongan tragedi
Holocaust. Pada akhirnya, Garudi dijatuhi hukuman karena sikapnya
menentang undang-undang Fabius-Gayssot. Lagi, kebebasan dan HAM menjadi
korban kepentingan Zionis di Eropa.
Ernest
Zundel, seorang peneliti asal Jerman masuk dalam daftar para penentang
tragedi Holocaust. Sebelum hijrah ke AS, dia bermukim di Kanada. Akibat
tekanan dan intimidasi kaum Zionis di Kanada, Zundel terpaksa
meninggalkan negara itu. Di AS, kaum Zionis tetap mengejar Zundel,
sehingga akhirnya dia ditangkap dan diekstradisi ke Jerman untuk diadili
karena keyakinannya yang menentang mitos Holocaust. Tak cuma kalangan
peneliti sejarah yang kebebasan pendapatnya terbelunggu. Para anggota
parlemen di Eropa juga tak berhak untuk menyuarakan pendapatnya yang
menentang kisah pembunuhan massal warga Yahudi pada perang dunia kedua.
Bruno Gollnisch, anggota parlemen Eropa asal Prancis termasuk di antara
mereka yang menentang kisah Holocaust. Katanya, “Seluruh kisah Holocaust
adalah khanyalan otak kotor kaum Zionis.” Akibat pernyataannya itu,
Gollnisch kehilangan kekebalan diplomatiknya sehingga memungkinkannya
untuk diseret ke pengadilan.
Korban
lain dari mitos Holocaust adalah David Irving. Ketenarannya sebagai
sejarawan besar Inggris tidak mampu menelamatkannya dari penganiayaan
yang dialaminya di Inggris dan negara-negara lain. Ketika berkunjung ke
Austria beberapa waktu lalu, Irving dijerat dengan pasal tahun 1989
tentang Holocaust. Irving hanyalah satu dari sederet ilmuan dan
cendekiawan yang mengalami nasib buruk dan menyedihkan karena menentang
mitos pembunuhan massal kaum Yahudi pada masa perang dunia kedua. Germar
Rudolf kimiawan Jerman, Doktor Frederick Toben asal Australia, Louis
Marshalko asal Hungaria penulis buku the World Conquerers, Norman G.
Finkelstein dosen universitas DePaul Chicago penulis the Holocaust
Industry adalah contoh dari puluhan ilmuan dan cendekiawan tersebut.
Mitos
Holocaust dimanfaatkan oleh kaum Zionis untuk mengejar kepentingannya
di dunia, yang diantaranya adalah untuk membentuk sebuah rezim ilegal di
tanah Palestina tahun 1948. Tak syak, tanpa mengumbar isu pembantaian
massal umat Yahudi pada masa perang dunia kedua, kaum Zionis tak akan
dengan mudah memaksa masyarakat dunia termasuk PBB untuk menerima
kehadiran sebuah negara ilegal bernama Israel di negeri Palestina.
Frederick
Toben dalam hal ini mengatakan, “Negara Israel dibentuk atas dasar
kisah Holocaust. Oleh karena Holocaust adalah kisah bohong, berarti
Israel dibangun di atas kebohongan besar.”
Kelestarian
Israel sangat bergantung pada keyakinan masyarakat Barat akan kebenaran
kisah pembunuhan 6 juta warga Yahudi di Eropa oleh Hitler. Berkat kisah
ini pula, Israel berhasil meraup ganti rugi yang tidak sedikit dari
negara-negara Eropa terutama Jerman.
Singkatnya,
Holocaust adalah kisah dusta besar yang diciptakan oleh orang-orang
Zionis. Segencar apa pun kaum Zionis mempropagandakan kisah ini untuk
menunjukkan ketertindasannya di dunia, suatu hari kebohongan ini akan
terungkap. Masyarakat dunia saat ini mulai sadar bahwa Holocaust yang
sebenarnya bukan terjadi di Eropa pada masa perang dunia kedua dengan
korbannya warga Yahudi, tetapi Holocaust sedang terjadi saat ini.
Tempatnya adalah Palestina dan korbannya adalah bangsa Palestina.
Pelakunya bukan Hitler, tetapi kaum Zionis.
0 komentar: