Adolf Hitler Lari Dan Mati Di Indonesia?
15.53
By
Fajar Muhammad Rivai
Kumpulan Artikel Tentang Nazi
0
komentar
Buku yang membahas tentang Adolf Hitler di Indonesia
Makam dr. Poch yang diyakini sebagai Adolf Hitler di TPU Ngagel Utara, Surabaya
Sebenarnya artikel ini gua ambil dari entri tahun 2009 dari sebuah blog yang sering gua liat. Dengan alasan sangat menarik buat gua, sengaja gua muat kembali di blog gua ini.
Jika saja ada yang rajin
menyimpan klipingan artikel harian "Pikiran Rakyat" sekitar tahun 1983,
tentu akan menemukan tulisan dokter Sosrohusodo mengenai pengalamannya
bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman bernama Poch di pulau
Sumbawa Besar pada tahun 1960. Dokter tua itu kebetulan memimpin sebuah
rumah sakit besar di pulau tersebut.
Tapi bukan karena mengupas kerja
dokter Poch, jika kemudian artikel itu menarik perhatian banyak orang,
bahkan komentar sinis dan cacian! Namun kesimpulan akhir artikel itulah
yang membuat banyak orang mengerutkan kening. Sebab dengan beraninya
Sosro mengatakan bahwa dokter tua asal Jerman yang pernah
berbincang-bincang dengannya, tidak lain adalah Adolf Hitler, mantan
diktator Jerman yang super terkenal karena telah membawa dunia pada
Perang Dunia II!
Beberapa "bukti" diajukannya,
antara lain dokter Jerman tersebut cara berjalannya sudah tidak normal
lagi, kaki kirinya diseret. Tangan kirinya selalu gemetar. Kumisnya
dipotong persis seperti gaya aktor Charlie Chaplin, dengan kepala
plontos. Kondisi itu memang menjadi ciri khas Hitler pada masa tuanya,
seperti dapat dilihat sendiri pada buku-buku yang menceritakan tentang
biografi Adolf Hitler (terutama saat-saat terakhir kejayaannya), atau
pengakuan Sturmbannführer Heinz Linge, bekas salah seorang pembantu
dekat sang Führer. Dan masih banyak "bukti" lain yang dikemukakan oleh
dokter Sosro untuk mendukung dugaannya.
Keyakinan Sosro yang dibangunnya
dari sejak tahun 1990-an itu hingga kini tetap tidak berubah. Bahkan ia
merasa semakin kuat setelah mendapatkan bukti lain yang mendukung 'penemuannya'. "Semakin saya ditentang, akan semakin keras saya bekerja
untuk menemukan bukti-bukti lain," kata lelaki yang lahir pada tahun
1929 di Gundih, Jawa Tengah ini ketika ditemui di kediamannya di
Bandung.
Andai saja benar dr. Poch dan
istrinya adalah Hitler yang tengah melakukan pelarian bersama Eva Braun,
maka ketika Sosro berbincang dengannya, pemimpin Nazi itu sudah berusia
71 tahun, sebab sejarah mencatat bahwa Adolf Hitler dilahirkan tanggal
20 April 1889. "Dokter Poch itu amat misterius. Ia tidak memiliki ijazah
kedokteran secuilpun, dan sepertinya tidak menguasai masalah medis,"
kata Sosro, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang
sempat bertugas di pulau Sumbawa Besar ketika masih menjadi petugas
kapal rumah sakit Hope.
Sebenarnya, tumbuhnya keyakinan
pada diri Sosro mengenai Hitler di pulau Sumbawa Besar bersama istrinya
Eva Braun, tidaklah suatu kesengajaan. Ketika bertugas di pulau tersebut
dan bertemu dengan seorang dokter tua asal Jerman, yang ada pada benak
Sosro baru tahap kecurigaan saja.
Meskipun begitu, ia menyimpan
beberapa catatan mengenai sejumlah "kunci" yang ternyata banyak
membantu. Perhatiannya terhadap literatur tentang Hitler pun menjadi
kian besar, dan setiap melihat potret tokoh tersebut, semakin yakin
Sosro bahwa dialah orang tua itu, orang tua yang sama yang bertemu
dengannya di sebuah pulau kecil d Indonesia!
Ketidaksengajaan itu terjadi pada tahun 1960, berarti sudah dua puluh tahun lebih ia meninggalkan pulau Sumbawa Besar.
Suatu saat, seorang keponakannya membawa majalah Zaman
edisi no.15 tahun 1980. Di majalah itu terdapat artikel yang ditulis
oleh Heinz Linge, bekas pembantu dekat Hitler, yang berjudul "Kisah
Nyata Dari Hari-Hari Terakhir Seorang Diktator", yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Try Budi Satria.
Pada halaman 59, Linge mula-mula
menceritakan mengenai bunuh diri Hitler dan Eva Braun, serta cara-cara
membakar diri yang kurang masuk di akal. Kemudian Linge membeberkan
keadaan Hitler pada waktu itu.
"Beberapa alinea dalam tulisan
itu membuat jantung saya berdetak keras, seperti menyadarkan saya
kembali. Sebab di situ ada ciri-ciri Hitler yang juga saya temukan pada
diri si dokter tua Jerman. Apalagi setelah saya membaca buku biografi 'Hitler'. Semuanya ada kesamaan," ungkap ayah empat anak ini.
Heinz Linge menulis, "Beberapa
orang di Jerman mengetahui bahwa Führer sejak saat itu kalau berjalan
maka dia menyeret kakinya, yaitu kaki kiri. Penglihatannya pun sudah
mulai kurang terang serta rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh...
kemudian, ketika perang semakin menghebat dan Jerman mulai terdesak,
Hitler menderita kejang urat."
Linge melanjutkan, "Di samping
itu, tangan kirinya pun mulai gemetar pada waktu kira-kira pertempuran
di Stalingrad (1942-1943) yang tidak membawa keberuntungan bagi bangsa
Jerman, dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang gemetar
itu." Pada akhir artikel, Linge menulis, "Tetapi aku bersyukur bahwa
mayat dan kuburan Hitler tidak pernah ditemukan."
Lalu Sosro mengenang kembali
beberapa dialog dia dengan "Hitler", saat Sosro berkunjung ke rumah dr.
Poch. Saat ditanya tentang pemerintahan Hitler, kata Sosro, dokter tua
itu memujinya. Demikian pula dia menganggap bahwa tidak ada apa-apa di
kamp Auschwitz, tempat 'pembantaian' orang-orang Yahudi yang terkenal
karena banyak film propaganda Amerika yang menyebutkannya.
"Ketika saya tanya tentang
kematian Hitler, dia menjawab bahwa dia tidak tahu sebab pada waktu itu
seluruh kota Berlin dalam keadaan kacau balau, dan setiap orang berusaha
untuk lari menyelamatkan diri masing-masing," tutur Sosrohusodo.
Di sela-sela obrolan, dr. Poch
mengeluh tentang tangannya yang gemetar. Kemudian Sosro memeriksa saraf
ulnarisnya. Ternyata tidak ada kelainan, demikian pula tenggorokannya.
Ketika itu, ia berkesimpulan bahwa kemungkinan "Hitler" hanya menderita parkisonisme saja, melihat usianya yang sudah lanjut.
Yang membuat Sosro terkejut,
dugaannya bahwa sang dokter mungkin terkena trauma psikis ternyata
diiyakan oleh dr. Poch! Ketika disusul dengan pertanyaan sejak kapan
penyakit itu bersarang, Poch malah bertanya kepada istrinya dalam bahasa
Jerman.
"Itu kan terjadi sewaktu tentara
Jerman kalah perang di Moskow. Ketika itu Goebbels memberi tahu kamu,
dan kamu memukul-mukul meja," ucap istrinya seperti ditirukan oleh
Sosro. Apakah yang dimaksud dengan Goebbels adalah Joseph Goebbels,
Menteri Propaganda Jerman yang terkenal setia dan dekat dengan Hitler?
Istrinya juga beberapa kali memanggil dr. Poch dengan sebutan "Dolf",
yang mungkin merupakan kependekan dari Adolf!
Setelah memperoleh cemoohan
sana-sini sehubungan dengan artikelnya, tekad Sosrohusodo untuk
menuntaskan masalah ini semakin menggebu. Ia mengaku bahwa kemudian
memperoleh informasi dari pulau Sumbawa Besar bahwa Poch sudah meninggal
di Surabaya. Beberapa waktu sebelum meninggal, istrinya pulang ke
Jerman. Poch sendiri konon menikah lagi dengan nyonya S, wanita Sunda
asal Bandung, karyawan di kantor pemerintahan di pulau Sumbawa Besar!
Untuk menemukan alamat nyonya S
yang sudah kembali lagi ke Bandung, Sosro mengakui bukanlah hal yang
mudah. Namun akhirnya ada juga orang yang memberitahu. Ternyata, ia
tinggal di kawasan Babakan Ciamis! Semula nyonya S tidak begitu terbuka
tentang persoalan ini. Namun karena terus dibujuk, sedikit demi sedikit
mau juga nyonya S berterus terang.
Begitu juga dengan
dokumen-dokumen tertulis peninggalan suaminya kemudian diserahkan kepada
Sosrohusodo, termasuk foto saat pernikahan mereka, plus rebewes (SIM)
milik dr. Poch yang ada cap jempolnya. Dari nyonya S diketahui bahwa dr.
Poch meninggal tanggal 15 Januari 1970 pukul 19.30 pada usia 81 tahun
di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya akibat serangan jantung.
Keesokan harinya dia dimakamkan di desa Ngagel.
Dalam salah satu dokumen
tertulis, diakuinya bahwa ada yang amat menarik dan mendukung
keyakinannya selama ini. Pada buku catatan ukuran saku yang sudah lusuh
itu, terdapat alamat ratusan orang-orang asing yang tinggal di berbagai
negara di dunia, juga coretan-coretan yang sulit dibaca. Di bagian
lainnya, terdapat tulisan steno. Semuanya berbahasa Jerman. Meskipun
tidak ada nama yang menunjukkan kepemilikan, tapi diyakini kalau buku
itu milik suami nyonya S.
Di sampul dalam terdapat kode J.R. KepaD
no.35637 dan 35638, dengan masing-masing nomor itu ditandai dengan
lambang biologis laki-laki dan wanita. "Jadi kemungkinan besar, buku itu
milik kedua orang tersebut, yang saya yakini sebagai Hitler dan Eva
Braun," tegasnya dengan suara yang agak parau.
Negara yang tertulis pada alamat
ratusan orang itu antara lain Pakistan, Tibet, Argentina, Afrika
Selatan, dan Italia. Salah satu halamannya ada tulisan yang kalau
diterjemahkan berarti : Organisasi Pelarian. Tuan Oppenheim
pengganti nyonya Krüger. Roma, Jl. Sardegna 79a/1. Ongkos-ongkos untuk
perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina).
Lalu, ada pula satu nama dalam
buku saku tersebut yang sering disebut-sebut dalam sejarah pelarian
orang-orang Nazi, yaitu Prof. Dr. Draganowitch, atau ditulis pula
Draganovic. Di bawah nama Draganovic tertulis Delegation Argentina da imigration Europa – Genua val albaro 38.
secara terpisah di bawahnya lagi tertera tulisan Vatikan. Di halaman
lain disebutkan, Draganovic Kroasia, Roma via Tomacelli 132.
Majalah Intisari terbitan bulan
Oktober 1983, ketika membahas Klaus Barbie alias Klaus Altmann bekas
polisi rahasia Jerman zaman Nazi, menyebutkan alamat tentang Val Albaro.
Disebutkan pula bahwa Draganovic memang memiliki hubungan dekat dengan
Vatikan Roma. Profesor inilah yang membantu pelarian Klaus Barbie dari
Jerman ke Argentina. Pada tahun 1983 Klaus diekstradisi dari Bolivia ke
Prancis, negara yang menjatuhkan hukuman mati terhadapnya pada tahun
1947.
"Masih banyak alamat dalam buku
ini, yang belum seluruhnya saya ketahui relevansinya dengan gerakan
Nazi. Saya juga sangat berhati-hati tentang hal ini, sebab menyangkut
negara-negara lain. Saya masih harus bekerja keras menemukan semuanya.
Saya yakin kalau nama-nama yang tertera dalam buku kecil ini adalah para
pelarian Nazi!" tandasnya.
Mengenai tulisan steno,
diakuinya kalau ia menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke dalam
bahasa atau tulisan biasa. Ketika meminta bantuan ke penerbit buku
steno di Jerman, diperoleh jawaban bahwa steno yang dilampirkan dalam
surat itu adalah steno Jerman "kuno" sistem Gabelsberger dan sudah lebih
dari 60 tahun tidak digunakan lagi sehingga sulit untuk diterjemahkan.
Tetapi penerbit berjanji akan
mencarikan orang yang ahli pada steno Gabelsberger. Beberapa waktu
lamanya, datang jawaban dari Jerman dengan terjemahan steno ke dalam
bahasa Jerman. Sosrohusodo menterjemahkannya kembali ke dalam bahasa
Indonesia. Judul catatan dalam bentuk steno itu, kurang lebih berarti "Keterangan singkat tentang pengejaran perorangan oleh Sekutu dan
penguasa setempat pada tahun 1946 di Salzburg". Kota ini terdapat di
Austria.
Di dalamnya berkisah tentang "Kami berdua, istri saya dan saya pada tahun 1945 di Salzburg". Tidak
disebutkan siapakah ‘kami berdua’ di situ. Dua insan tersebut, kata
catatan itu, dikejar-kejar antara lain oleh CIC (dinas rahasia Amerika
Serikat). Pada pokoknya, menggambarkan penderitaan sepasang manusia yang
dikejar-kejar oleh pihak keamanan.
Di dalamnya juga terdapat
singkatan-singkatan yang ditulis oleh huruf besar, yang kalau diurut
akan menunjukkan rute pelarian keduanya, yaitu B, S, G, J, B, S, R. "Cara menyingkat seperti ini merupakan kebiasaan Hitler dalam membuat
catatan, seperti yang pernah saya baca dalam literatur yang lainnya,"
Sosrohusodo memberikan alasan.
Dari singkatan-singkatan itu,
lalu Sosro mencoba untuk mengartikannya, yang kemudian dikaitkan dengan
rute pelarian. Pelarian dimulai dari B yang berarti Berlin, lalu S
(Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Beograd), S (Sarajevo) dan R
(Roma). Tentang Roma, Sosro menjelaskan bahwa itu adalah kota terakhir
di Eropa yang menjadi tempat pelariannya. Setelah itu mereka keluar dari
benua tersebut menuju ke suatu tempat, yang tidak lain tidak bukan
adalah pulau Sumbawa Besar di Nusantara tercinta!
Ia mengutip salah satu tulisan
dalam steno tadi : "Pada hari pertama di bulan Desember, kami harus
pergi ke R untuk menerima suatu surat paspor, dan kemudian kami berhasil
meninggalkan Eropa". Ini, kata Sosro, sesuai dengan data pada paspor
dr. Poch yang menyebutkan bahwa paspor bernomor 2624/51 diberikan di Rom
(tanpa huruf akhir A). Di buku catatan berisi ratusan alamat itu, nama
Dragonic dikaitkan dengan Roma, begitulah Sosro memberikan alasan
lainnya.
Lalu mengenai Berlin dan Salzburg, diterangkannya dengan mengutip majalah Zaman
edisi 14 Mei 1984. Dikatakan bahwa sejarah telah mencatat peristiwa
jatuhnya pesawat yang membawa surat-surat rahasia Hitler yang jatuh di
sekitar Jerman Timur pada tahun 1945. "Ini juga menunjukkan rute
pelarian mereka," katanya lagi.
Lalu bagaimana komentar nyonya S
yang disebut-sebut Sosro sebagai istri kedua dr. Poch? Konon ia pernah
berterus terang kepada Sosro. Suatu hari suaminya mencukur kumis mirip
kumis Hitler, kemudian nyonya S mempertanyakannya, yang kemudian DIIYAKAN BAHWA DIRINYA ADALAH HITLER! "Tapi jangan bilang sama
siapa-siapa," begitu Sosro mengutip ucapan nyonya S.
Membaca dan menyimak ulasan dr.
Sosrohusodo, sekilas seperti ada saling kait mengkait antara satu dengan
yang lainnya. Namun masih banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada
Sosro, dengan tidak bermaksud meremehkan pendapat pribadinya berkaitan
dengan Hitler, sebab mengemukakan pendapat adalah hak setiap warga
negara.
Bahkan Sosrohusodo sudah membuat
semacam diktat yang memaparkan pendapatnya tentang Hitler, dilengkapi
dengan sejumlah foto yang didapatnya dari nyonya S. Selain itu, isinya
juga mengisahkan tentang pengalaman sejak dia lulus dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia hingga bertugas di Bima, Kupang, dan
Sumbawa Besar. Ia juga telah mengajukan hasil karyanya ke berbagai
pihak, namun belum ada tanggapan. "Padahal tidak ada maksud apa-apa di
balik kerja saya ini, hanya ingin menunjukkan bahwa Hitler mati di
Indonesia," katanya mantap.
Bukan hanya Sosro yang mempunyai
teori tentang pelarian Hitler dari Jerman ke tempat lain, tapi beberapa
orang di dunia ini pernah mengungkapkannya dalam media massa. Peluang
untuk berteori seperti itu memang ada, sebab ketika pemimpin Nazi
tersebut diduga mati bersama Eva Braun tahun 1945, tidak ditemukan bukti
utama berupa jenazah!
Adalah
tugas para pakar dalam bidang ini untuk mencoba mengungkap segala
sesuatunya, termasuk keabsahan dokumen yang dimiliki oleh Sosrohusodo,
nyonya S, atau makam di Ngagel yang disebut sebagai tempat bersemayamnya
dr. Poch.
Sedikit tambahan yang saya kutip dari Vivanews:
Adolf Hitler, diktator Jerman
dan orang yang diyakini bertanggung jawab atas pembantaian bangsa
Yahudi, diduga menghabiskan akhir hayatnya di Indonesia -- sebagai dr
Poch, dokter tua asal Jerman.
Menurut mantan pasiennya, Ahmad
Zuhri Muhtar (55), dr Poch tinggal di rumah dinas dokter di Kompleks
Rumah Sakit Sumbawa bersama istrinya yang asal Jerman.
Ketika istrinya itu kembali ke
negeri asalnya, Poch lalu kesepian. "Dia menyendiri lalu kawin lagi
dengan istinya yang asal [Pulau] Jawa, saya tidak tahu persisnya,
mungkin Garut," kata Ahmad kepada VIVAnews, Senin 22 Februari 2010.
Ada lagi fakta menarik soal dr
Poch yang diungkap Ahmad. Kata dia, dr Poch bahkan masuk Islam karena
menikah dengan perempuan muslim.
"Dinikahkan secara Islam, resepsinya di pendapa kabupaten. Ceritanya seperti itu," tambah Ahmad.
dr Poch lalu pindah ke Surabaya, ke tempat istri barunya.
Keterangan Ahmad bersesuaian
dengan kisah yang diungkap dr Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas
Indonesia yang pernah bertemu Poch di Sumbawa.
Kata Sosro, setelah istrinya
yang asal Jerman, diduga Eva Braun, meninggalkannya, Poch yang diduga
sebagai Hitler menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial
'S'. Terakhir 'S' diketahui tinggal di Babakan Ciamis.
Awalnya 'S' menutup mulut, namun
akhirnya kepada Sosro, dia menyerahkan sejumlah dokumen milik suaminya,
termasuk foto perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik
jari Poch.
Buku catatan Poch berisi dua kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva Braun," kata Sosro.
Ada juga tulisan yang diduga
rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S (Salzburg), G (Graz), J
(Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R (Rome), sebelum dia ke
Sumbawa Besar.
Istri kedua Poch, 'S' juga
menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya
mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang
siapa-siapa."
Poch yang diduga adalah Hitler
meninggal pada 15 Januari 1970 pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang
Menjangan Surabaya karena serangan jantung, dalam usia 81 tahun.
Sebuah makam di Ngagel jadi pintu masuk untuk menyelidiki kebenaran cerita akhir hayat 'sang Fuhrer'.
Apakah Hitler benar tewas bunuh
diri di bunker di Berlin pada 30 April 1945, atau apakah mati dalam usia
tua di Argentina, Brazil, Amerika Selatan, atau Indonesia -- masih
harus dikaji kebenarannya.
Sumber:
2. VIVANews
0 komentar: