Percobaan Kudeta Orang-Orang Nazi di Hindia Belanda
Walther Hewel
Pada 5 Mei 1940, Belanda diduduki pasukan Nazi Jerman seiring
invasi yang dilakukan selama Perang Dunia II. Indonesia yang saat itu masih bernama
Hindia Belanda, sebenarnya ikut menjadi sasaran pasukan NAZI Jerman
karena masih koloni Kerajaan Belanda.
Namun upaya penguasaan Hindia Belanda oleh Nazi Jerman, tak dilakukan
secara penyerangan militer karena lokasinya masih terlalu jauh untuk
pengiriman pasukan. Cara ditempuh adalah melalui upaya kudeta yang
dilakukan orang-orang Jerman di Pulau Jawa yang dilakukan di Batavia
(Jakarta) dan Surabaya, beberapa hari setelah Belanda dikuasai Nazi.
Surat kabar The Mercury terbitan Hobart, Tasmania pada 15 Mei 1940
mengabarkan ratusan orang Jerman di Batavia dan Surabaya langsung
melakukan pergerakan untuk menangkapi para pemimpin Hindia Belanda.
Kudeta tersebut dilakukan atas perintah langsung dari Berlin alias
Fuhrer Adolf Hitler. Namun upaya kudeta oleh orang-orang Jerman tersebut
kemudian gagal, karena bocornya informasi gerakan mereka. Ini terjadi
setelah telegram dari Adolf Hitler dapat diketahui oleh para agen
intelijen Hindia Belanda.
Di Batavia dan Surabaya, pasukan KNIL langsung menangkapi orang-orang
Jerman, berikut menyita ratusan senjata otomatis yang mereka gunakan.
Kudeta oleh orang-orang Jerman terutama Nazi di Hindia Belanda tersebut
didukung para anggota partai NSB yang merupakan aliansi Nazi yang
anggotanya orang-orang Belanda.
Pada tahun 1936, cabang partai NSB sudah berdiri di Hindia Belanda
dipusatkan di kota Bandung. Berdasarkan catatan nomor telepon zaman
kolonial untuk wilayah Priangan, kantor perwakilan NSB ada di
Malabarlaan no.15 (kini Jalan Malabar) dengan nomor telepon bd 2730.
Pasca upaya kudeta tersebut hanya dalam tempo waktu 2 jam sekitar 2000
orang Jerman dan orang-orang Belanda pro Nazi di Batavia ditangkapi oleh
tentara Hindia Belanda dan Australia. Diantara mereka yang ditangkap
oleh pasukan sekutu, ada sekelompok perwira Nazi Jerman sedang singgah
di Batavia, semula akan ke Sydney Australia. Penangkapan juga dilakukan
terhadap sejumlah kapal barang milik Nazi di pelabuhan Tanjung Priok.
Sejumlah kapal barang Nazi Jerman disita, berikut muatannya berupa karet
alam, gula, kelapa kopra, teh, kopi, dan produk-produk alam lainnya
senilai jutaan gulden. Dari 20-an kapal milik Jerman, hanya sebuah yang
berhasil lolos dari penangkapan oleh Belanda di pelabuhan. Di daratan,
sejumlah pesawat terbang milik Nazi Jerman dan bangunan pun langsung
dikepung pasukan KNIL. Sejumlah orang Jerman sempat menguasai dua kantor
pos di Jakarta namun kemudian menyerah berikut berbagai senjata
otomatis milik mereka. Sebagian orang Jerman lainnya ditangkap saat
sedang mandi, dan digiring hanya dengan menggunakan handuk, sebagian
lainnya ditangkap saat sedang bekerja.
Walau upaya kudeta oleh orang-orang Jerman itu gagal, namun pihak
pemerintah Hindia Belanda sempat was-was. Pasalnya, mereka
memperhitungkan jika kudeta itu lancar dilakukan hanya dalam tempo
setengah jam Hindia Belanda akan ganti dikuasai Nazi Jerman. Menurut
keterangan seorang pengusaha gula di Pulau Jawa, PKA Laliroo, sekitar
8000 orang Jerman yang tinggal di pulau Jawa kemudian ditahan oleh pihak
Hindia Belanda. Penempatan penahanan orang-orang Jerman dan Belanda pro
Nazi itu sebagian ditahan di Pulau Onrust Jakarta, Ngawi Jawa Timur,
Nongkojajar, Banyubiru dan Sumatra sebagian dibawa ke Australia melalui
kapal laut, sedangkan kaum wanita dan anak-anak ditahan di hotel
Sindanglaya Cianjur. Ada pula sekelompok orang Jerman yang dibawa ke
Australia menggunakan kapal laut. Sebagian orang Jerman mencoba melarikan
diri dengan mencebur dari kapal ke laut dan berenang, namun kemudian
tertangkap kembali. Pasca upaya kudeta oleh Nazi Jerman di Batavia dan
Surabaya, surat kabar The Courie Mail terbitan Brisbane Australia pada
16 Mei 1940 mengabarkan sekutu Jerman yaitu Jepang mulai mengincar
Hindia Belanda. Namun saat yang sama, di Hindia Belanda sudah muncul
sejumlah unjuk rasa anti Jepang. Surat kabar Mercantile Advetiser
Australia pada 17 Mei 1940 dengan mengutip surat kabar Preanger Bode,
mengabarkan sekitar 400 pemuda Belanda mengamuk dan merusak Kantor
Kontak Nazi Jerman di Jalan Naripan Bandung. Para pemuda Belanda
tersebut marah karena negeri leluhurnya, Belanda diduduki Nazi Jerman.
Duta
besar Jepang, Jenderal Oshima kemudian menemui Menlu Jerman Joachim von
Ribbentrop untuk menyampaikan keinginan Kekaisaran Jepang untuk
mengusir Amerika, Belanda, Inggris, Australia lalu menguasai Asia
Tenggara. Koresponden surat kabar tersebut yang berasal dari Manila
Filipina juga mengabarkan Jepang memang mengincar karet alam dan minyak
dari Hindia Belanda. Namun saat itu sudah mulai muncul kekhawatiran
orang-orang Jerman pro Nazi akan melakukan kudeta susulan di Hindia
Belanda walaupun tak sebesar yang pertama dilakukan di Batavia. Namun
pada 27 September 1940, trio Nazi Jerman, Jepang dan Italia yang disebut
pihak Axis melakukan pembicaraan segitiga. Mereka sepakat membagi bagi
wilayah operasi militer untuk sama-sama mengusir Inggris dan sekutunya
dimana Nazi Jerman di Eropa, Italia di Afrika Utara dan Jepang di Asia
Timur dan Asia Tenggara. Nazi Jerman mengutus Joachim von Ribbentrop
melakukan pembicaraan dengan pihak Jepang. Kesepakatan itu kemudian
dilakukan antara Adolf Hitler, Menlu Italia Galeazzo Ciano dan Dubes
Jepang Saburo Kurusu sekaligus membuat Jerman mengurungkan niatnya
menguasai Hindia Belanda atau Indonesia.
Sebelumnya pada tahun 1942 sejumlah orang Jerman yang ditahan di pulau
Nias dengan bantuan sejumlah polisi Indonesia berhasil melakukan kudeta
lalu mendirikan Republik Nias. Orang-orang Jerman itu berasal dari para
korban selamat asal kapal Belanda "Van Imhoff" yang tak sengaja di
tenggelamkan Jepang. Menurut pencatat sejarah Jerman di Indonesia,
Heriwg Zahorkha senada rekannya juga asal Jerman yang sudah berganti
nama Indonesia, S. Gamal, di Republik Nias itu sebagai kanselir adalah
Herr Fischer (eksekutif perusahaan elektronik Bosch) serta Albert
Vehring (mantan pemilik Perkebunan Cikopo, Puncak, Bogor) sebagai Menteri Luar Negeri. Nazi Jerman sendiri baru dapat mengirim pasukan
ke Indonesia pada menjelang akhir tahun 1944, namun bukan aksi
pendudukan. Itu pun melalui armada kapal selam dimana AL Jerman membuat
pangkalan bersama Jepang di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta pada 1
Oktober 1944-5 Mei 1945 dengan tujuan menyerang armada kapal Sekutu di
Asia Tenggara.
Aktivitas orang-orang Jerman pro Nazi di Hindia Belanda sebenarnya sudah
muncul pada awal tahun 1930 an. Ini berawal dari besarnya dukungan
terhadap Adolf Hitler di Jerman yang kemudian diikuti oleh orang-orang
Jerman di negeri lain termasuk Hindia Belanda terutama Jawa dan
Sumatera. Dari sejumlah catatan saat partai Nazi memenangkan pemilu di
Jerman pada Januari 1933, ada sekitar 1000 orang Jerman yang ada di
Hindia Belanda menandatangani dukungan terhadap Hitler. Walau pun tak
semua orang Jerman di Hindia Belanda dapat memberikan tandatangan, namun
rata-rata mereka mendukung kepemimpinan Hitler sekaligus kebijakannya.
Pencatat sejarah asal Amerika Peter Lavenda menyebutkan salah satu
penyokong pendanaan Parta Nazi di Eropa berasal dari perkumpulan
pengusaha perkebunan di Medan Sumatra Timur (Ostkust, kini Sumatra
Utara) Saat itu para simpatisan Nazi sangat banyak di Jawa dan Sumatra.
Soal keberadaan Nazi di Hindia Belanda sebenarnya diawali dengan
berdirinya Partai Nazi pertama di Timur Jauh, di jalan Naripan Bandung
tahun 1937. Pendirinya adalah Walther Hewel salah seorang dedengkot Nazi
yang merupakan sahabat karib Hitler sejak keduanya melakukan upaya
kudeta di Munchen tahun 1926. Walther Hewel sempat tinggal berada di
Bandung pada kurun waktu 1927-1938 karena sehari harinya berkerja di
perusahaan perkebunan Inggris Anglo Dutch Plantantions of Java, Ltd (d/h
Pamanoekan and Tjiasem Landen, kini menjadi bagian PT Perkebunan
Nusantara VIII), Subang. Ia datang ke Bandung setelah dibebaskan dari
penjara Landsberg tahun 1926, karena keadaan ekonomi di Jerman sedang
repot lalu mencari pekerjaan ke Hindia Belanda dimana kota Bandung dan
Jawa Barat saat itu sedang menjadi pusat ekonomi. Namun pada tahun 1938
Walther Hewel dipanggil pulang oleh Hitler untuk kemudian Hewel
ditugaskan di Kementerian Luar Negeri Jerman yang dipimpin Joachim von
Ribbentrop. Walther Hewel diandalkan Hitler untuk melakukan diplomasi
non-agresi dengan Uni Soviet yang kemudian ditandatangani Vyacheslav
Molotov dan Joachim von Ribbentrop pada 23 September 1939.
Dari versi sejumlah saksi meninggalnya Hitler pasca bunuh diri dalam
bunker dibawah gedung Kekanseliran di Berlin pada 30 April 1945, Walther
Hewel pun dikabarkan merupakan orang yang paling depan menyaksikan
pembakaran jenazah sahabatnya tersebut. Walther Hewel pun dapat ikut
meloloskan diri dari bunker yang sudah dikepung pasukan Uni Soviet. Ia
kemudian dapat menyusul rombongan pasukan SS yang dipimpin Wilhelm
Mohnke, dimana terdapat Traudl Junge. Namun karena sudah putus asa dan
kelewat takut ditangkap dan disiksa pasukan Uni Soviet, Walther Hewel
juga menyusul bunuh diri dengan menelan kapsul sianida lalu menembak
kepalanya sendiri. Namun dalam catatan pihak sekutu, Walther Hewel tak
tercatat dalam daftar para anggota Nazi yang dituduh bertanggungjawab
atas operasional perang. Kemampuan diplomasi Hewel tampaknya juga
dilatarbelakangi sebelumnya saat masih bekerja sebagai kepala urusan
pemasaran komoditas kopi di perusahaan perkebunan Anglo Dutch Plantation
of Java Ltd di Subang. Pada masa-masa itu, Hewel juga terbiasa bertemu
banyak karakter orang Eropa saat menjual kopi di Gedung Lelang de Vries
Bandung depan Societit Condordia (sekarang gedung Asia-Afrika), lalu
kemudian naik jabatan menjadi administratur perkebunan.
Sepenggal
keberadaan Walther Hewel di kota Bandung dan Subang sempat diingat Ny
Yeni (68) yang merupakan anak Almarhum Mohammad Djoehri yang dahulunya
salah seorang petinggi Anglo Dutch Plantations of Java Ltd. Ayahnya
pernah bercerita bahwa Walther Hewel memang teman kerja seangkatan dia
Anglo Dutch Plantations of Java Ltd yang sama-sama masuk sekitar tahun
1930-an. Sosok Hewel termasuk salah seorang pentolan Nazi yang belum
terungkap semua kehidupan pribadinya. David Irving asal Inggris termasuk
yang menelusurinya menyatakan tak mengetahui pasti siapa istrinya Hewel
dengan hanya diduga memiliki seorang pasangan wanita asal Jerman, yaitu
Blanda Elisabeth. Lain halnya administratur PTPN VIII Kebun Ciater
Haryusdianto Eka Putra alias Dian menyebutkan dari daftar administratur
yang pernah bertugas, Walther Hewel pernah tercatat menjadi
administratur Perkebunan Ciater pada tahun 1937-1938.
Dian menyebutkan selama berada di Subang dikabarkan Hewel menikah dengan
orang pribumi dan memiliki seorang anak. Namun anaknya Hewel kini
tinggal di Selandia Baru sedangkan ibunya sudah meninggal dunia.
Dikatakan informasi tersebut berawal saat dirinya membeli sebuah mobil
jip bekas bermerek Land Rover produksi tahun 1950-an dari seseorang di
Bandung. Yang bersangkutan hanya mengatakan ia adalah anaknya seorang
Jerman bernama Walther Hewel dan hanya menyebutkan ayahnya itu menjadi
administratur perkebunan di Subang.