Ratusan Tentara Belanda Yang Memerangi Pejuang RI Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia Adalah Veteran Waffen-SS
10.56
By
Fajar Muhammad Rivai
Indonesia dan Nazi
0
komentar
Para Personil KNIL di Indonesia
Di antara tentara-tentara Belanda yang datang ke Indonesia dan memerangi
para pejuang kemerdekaan negara ini, ternyata sebagian di antaranya
adalah mantan veteran Waffen-SS yang notabene menjadi "pengkhianat"
negaranya sendiri dalam Perang Dunia II yang berlangsung hanya beberapa
tahun sebelumnya. Kebanyakan para prajurit yang telah banyak makan asam
garam pertempuran di Front Timur ini berasal dari Divisi Grenadier
Sukarelawan SS ke-34 "Landstorm Nederland" (34.
SS-Freiwilligen-Grenadier-Division Landstorm Nederland).
Fakta mengejutkan ini diungkapkan oleh mantan perwira intelijen Belanda
Brine van Houten, yang berkata bahwa pemerintah Belanda terpaksa
mengambil kebijakan "tidak populer" tersebut karena memang saat itu
sumber daya manusia yang siap dalam segi milter sangat terbatas
disebabkan banyaknya yang telah tewas dalam perang, masih dalam penjara
atau memang sudah tidak mau lagi mengurusi mesiu. Dikatakannya bahwa
sebanyak 548 orang mantan Waffen-SS telah bertugas di Indonesia selama
berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949). Sebagian dari mereka
bergabung sebagai bawahannya Raymond Westerling dan terlibat dalam
pembantaian-pembantaian brutal yang dilakukannya terhadap rakyat sipil
selama bertugas di Sulawesi. Sampai kematiannya, manusia durjana ini
tidak pernah tersentuh oleh tangan hukum.
Sebenarnya, keterlibatan veteran Waffen-SS ini telah dipublikasikan
untuk pertama kalinya oleh C. Van Esterik dalam artikelnya di NRC
Handelsblad yang terbit pada tahun 1984. salah satu kutipannya berbunyi :
“Salah satu perputaran sejarah yang menjadi ironi, ketika sebagian
tentara yang bertugas di Indonesia demi membela tanah air mereka, hanya
beberapa waktu sebelumnya ikut pula memerangi tanah tumpah darah mereka
sendiri demi membela Adolf Hitler!” Seorang mantan perwira KNIL berkata
bahwa tentara mantan sukarelawan Nazi itu dipercaya lebih berdisiplin
dan tangguh dibandingkan dengan tentara Belanda biasa.
“Saya bertugas sebagai seorang perwira KNIL dari Brigade Infanteri
Pertama di bawah Kolonel Thomson yang menjadi bagian dari Divisi ke-7
dan ikut dalam aksi-aksi ‘polisionil’ di Hindia. Bisa dibilang,
prajurit-prajurit KNIL seperti kami adalah pasukan yang masih hijau dan
belum pernah bertempur di Hindia sebelumnya. Karena itulah kami
membutuhkan bantuan dari pasukan-pasukan mantan SS agar dapat menolong
kami dalam menjelajahi alam Hindia yang masih asing.”
Saudara-saudara, keterangan selanjutnya dari si perwira KNIL ini
benar-benar mengejutkan saya, karena dia bercerita bahwa dia pernah
bertempur di Sukabumi, tepatnya di Cibadak.
Kemungkinan besar peristiwa inilah yang kemudian terkenal sebagai
Pertempuran Bojong Kokosan. Bayangkan, ada SS di Sukabumi. Inilah kutipannya :
“Dalam suatu aksi pertempuran, pasukan kami diturunkan ke Sukabumi di
dekat Tjibadak dan mendapat perlawanan seru dari para ‘pemberontak’
(saya kutipkan seadanya apa yang dia katakan, termasuk yang menyakitkan
hati sekalipun!). kami sendiri berada di bawah komando Baron Taets van
Amerongen.”
“Suatu hari saya melihat salah seorang prajurit dari kompi kami yang
sedang berolahraga pagi dengan hanya mengenakan celana pendek dan
bertelanjang dada. Saya terkejut begitu melihat bahwa di bawah ketiaknya
terdapat bekas jahitan luka yang sangat kasar seakan-akan dilakukan
oleh orang yang tidak berpengalaman atau dalam keadaan terburu-buru.
Jahitannya jarang-jarang, dan menimbulkan kesan mengerikan pada siapapun
yang melihatnya."
“Saya lalu bertanya pada si prajurit tersebut akan ‘luka’ yang
dideritanya. Saya terkejut begitu tahu bahwa itu bukanlah luka yang
didapatnya dari peperangan, melainkan akibat dari pengelupasan kulit
secara sengaja dengan menggunakan pisau tajam! Tentu saja saya bertanya
apa alasannya? Dia berkata bahwa dalam lapisan kulit tersebut telah
tertera sebuah tato yang dia tidak ingin orang lain ada yang mengetahui
atau melihatnya. Tato apakah itu? Tato yang sama yang disematkan pada
setiap anggota Waffen-SS, yang menunjukkan dari mana dia berasal.”
“Saya tertegun. Saat itu hal tersebut adalah sesuatu yang benar-benar
baru bagi saya, orang awam yang tidak mengerti politik. Yang saya tahu,
orang-orang ini (warga negara Belanda yang menjadi sukarelawan Nazi)
adalah orang-orang ‘hina’ yang telah memerangi kawan sebangsanya demi
memenuhi keinginan bangsa asing, dan kini mereka berada dalam satu
kesatuan dengan saya!”
Setiap anggota dari Waffen-SS memang berbeda dengan kesatuan Jerman
lainnya dalam hal masing-masing mereka mendapat "cenderamata" tato yang
diletakkan di bawah ketiak, tato yang menerangkan golongan darah mereka.
Gunanya adalah dalam waktu pertempuran dan mereka terluka, maka akan
mudahlah bagi tim medis untuk memberikan transfusi darah yang diperlukan
dengan hanya menyingkapkan ketiaknya dan mendapati golongan darah si
prajurit tersebut tertera disana.
“Ketika saya tanyakan bagaimana dengan teman-teman dia lainnya yang juga
merupakan veteran Waffen-SS yang direkrut ulang oleh Belanda, dia
menjawab bahwa dia tidak tahu mengenai hal itu, karena mereka
dipisah-pisahkan dalam unit lain. Ada yang tetap bertugas di Belanda,
dan ada juga yang dikirim ke Indonesia."
“Saya adalah keturunan Yahudi Belanda dan beberapa anggota keluarga saya
telah ‘musnah’ di kamp konsentrasi Jerman. Kini saya memerangi orang
Indonesia dengan dibantu oleh tentara-tentara yang pernah mengabdi pada
Hitler! Apapun alasannya, saya tetap tidak bisa menerimanya. Saya
langsung melaporkan hal tersebut ke atasan saya, Taets van Amerongen.”
“Ketika saya menceritakan kepadanya apa yang saya ketahui, tak disangka
dia langsung begitu marahnya. ‘Kau tak punya hak apapun dalam hal ini!’
semprotnya, dan dia langsung menutup pintu. Aku tak menyerah, dan tetap
melaporkan hal yang sama pada seorang sersan dari kesatuan Polisi
Militer yang kebetulan lewat. Dia sama terkejutnya denganku, dan
berjanji akan menceritakan hal ini pada staffnya yang berada di
Buitenzorg (Bogor). Sekitar dua minggu kemudian datanglah seorang kapten
dari Polisi Militer dan menyuruhku menghadap.”
“Dia berkata bahwa dia telah menyelidiki apa-apa yang telah kukatakan
sebelumnya kepada si Sersan, dan mendapati bahwa hal itu adalah benar
adanya. ‘Tapi kita tidak dapat melakukan apa-apa dalam soal ini,’
katanya. Karena semuanya telah diatur oleh pemerintahan Belanda di Den
haag dan merupakan kebijakan resmi yang sengaja ditutup-tutupi demi
menjaga jangan sampai ada gejolak dalam masyarakat.”
Dari artikel Esterik juga disampaikan sebuah memoranda dari sumber anonim :
“Pengambil keputusan tidak populer ini beralasan bahwa sesungguhnya
kemampuan para mantan Waffen-SS ini akan lebih berguna bila diberdayakan
kembali daripada menumpulkannya dengan cara memasukkan mereka ke dalam
tahanan sampai berkarat. Ketika ditawari pilihan tersebut, kebanyakan
para mantan Waffen-SS ini pun bersedia untuk mendarmabaktikan
kemampuannya yang berharga demi tanah air Belanda tercinta. Mereka
beralibi bahwa mereka masih tetap mencintai negaranya, dan tindakannya
di masa lalu yang membela musuh negaranya semata karena kecintaan mereka
pada agama kristen yang membuat mereka memerangi komunis Rusia. Cara
satu-satunya adalah dengan bergabung dengan SS Nazi. Inilah saat yang
tepat untuk merehabilitasi mereka dan memberi kesempatan untuk menebus
kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan. Cukup berikan senjata,
latih secukupnya selama beberapa minggu dalam penggunaan senjata-senjata
bekas Sekutu, dan kirimkan mereka untuk bertempur di Hindia Belanda.
Perekrutan dilakukan secara sukarela, dan kita boleh berharap antara
15.000 sampai dengan 30.000 para prajurit terlatih dan berpengalaman
dari SS ini yang mendaftar untuk bergabung dengan tujuan kita. Sebagian
besar dari mereka akan berperan sebagai pasukan pelopor/serbu, sesuai
dengan fungsi mereka di masa lalu.”
Dari "nada suara" memoranda tersebut, bisa terlihat bahwa yang
menulisnya adalah orang dalam sendiri yang tahu persis mengenai
kebijakan yang diambil pemerintah Belanda, atau bahkan mungkin yang
menjadi pencetusnya. Seorang mantan perwira intelijen Brine Wood malah
yakin bahwa pihak yang berinisiatif untuk memakai jasa para mantan
pasukan sukarelawan SS untuk bertempur di Indonesia adalah Gereja
Katolik Roma. Kenyataannya tak akan pernah kita ketahui (setidaknya
sampai saat ini), karena pengarang memoranda tersebut tetap meminta
namanya untuk disamarkan.
Dalam artikelnya yang menggemparkan tersebut, Esterik menyimpulkan, yang diambil dari hasil observasinya selama ini :
“Tak ada satupun dari dokumen-dokumen yang kini telah menjadi arsip
negara ini yang menyebutkan siapa penggagas kebijakan untuk menggunakan
jasa militer para mantan Waffen-SS, bahkan tak secuilpun indikasi yang
mengarah kesana. Yang jelas, siapapun pencetusnya maka dia pastilah
orang yang mempunyai kuasa yang cukup besar sehingga mampu meloloskan
kebijakan rehabilitasi para tahanan politik kontroversial ini dengan
diam-diam setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Angkatan
Bersenjata Belanda. Hanya sebatas inilah yang saya ketahui, sedangkan
siapa dia, kapan dikeluarkannya, dalam level apa kebijakan ini keluar,
masih berada dalam kabut gelap yang tak satupun yang mengetahuinya, atau
diizinkan untuk mengetahuinya.”
Sampai hari ini, salah satu lembaran hitam sejarah Belanda ini masih tertutup selimut misteri yang tak terungkap...
0 komentar: