Partai Fasis Indonesia (PFI) dan Sejarah Fasisme di Nusantara
16.30
By
Fajar Muhammad Rivai
Indonesia dan Nazi
0
komentar
Penguburan Muhammad Husni Thamrin, 15 Januari 1941.
Tampak di depan
pemimpin Parindra, Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto, dengan
dikelilingi oleh kelompok Pemuda Parindra yang memberikan salam
kebesaran Hitler.
Awal tahun 1933, berdiri Nederlandsche Indische Fascisten Organisatie
(NIFO) di Batavia. Organisasi ini berkiblat pada organisasi fasis di
Jerman dan mengklaim diri sebagai bagian dari Nationaal Socialistische
Beweging (NSB) yang didirikan oleh Ir Mussert dua tahun sebelumnya.
Seperti halnya kaum Fasis di Jerman, NIFO juga memiliki sayap pemuda
militan, Barisan Pemuda, Sebuah pasukan yang mendapat latihan
ketentaraan dan berseragam hitam. Sayangnya, tidak semua anggota NIFO
setuju dengan pembentukan pasukan ini, dengan alasan akan menimbulkan
pertentangan antar golongan di tanah Hindia. Mereka, melalui vergadering
dan kursus-kursus politik, gencar menyebarluaskan ajaran fasis.
Awalnya gerakan ini tidak pernah dihiraukan di Hindia. Pemerintah
kolonial lebih memfokuskan diri memonitor kaum pergerakan pribumi. NIFO
bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ketika kaum NAZI berhasil merebut
kekuasaan, Januari 1933, sekelompok warga Jerman di tanah Hindia
menyambut dengan antusias dengan menghimpun 1000 tanda tangan orang
Jerman di Hindia untuk mendukung pemerintahan Adolf Hitler. Meski tidak
seluruh orang Jerman tidak bisa memberikan tanda tangannya, dipastikan
hampir seluruh warga Jerman di Hindia mendukung Pemerintahan baru Hitler
di Jerman.
Simpati terhadap NAZI Jerman juga ditemui pada sekelompok pemuda Belanda
yang berbaris di taman-taman atau jalanan. Mereka mengenakan kemeja
krem dengan celana atau rok coklat tua. Setiap berpapasan, mereka saling
memberikan Heil Führer atau Heil Hitler (hormat ala kaum NAZI). Ini
bukanlah bentuk keberpihakan sepenuhnya pemuda Belanda tadi, melainkan
sekedar mode yang musiman saja pada saat itu di kalangan pemuda Indo.
Selama dalam pembuangan di pulau Banda, Sutan Sjahrir melihat suksesnya
propaganda fasis. Istri seorang dokter dipulau itu sering menyapa
kawan-kawannya dengan Heil Hitler. Istri dokter itu hanya menganggap
salam itu bagus dan terkesan modern tanpa mengerti lebih jauh apa itu
Fasis.
Setelah propaganda kaum fasis Hindia mulai mempertanyakan “ keabsahan “
pemerintah, pemerintah kolonial berkesimpulan bahwa gerakan fasis akan
mengganggu ketertiban umum dan akan mempengaruhi wibawa pemerintah
dimata kalangan bumi putra. Polisi kolonial-pun mulai bertindak terhadap
kaum fasis ini. Sebuah pertemuan NIFO di Bandung dibubarkan dengan
paksa setelah pemimpin NIFO disana menganjurkan agar Hindia lepas dari
Negeri Belanda. Kaum fasis yang semakin radikal ini membuat kesal
pemerintah kolonial.
Antara anggota NIFO pernah terlibat konflik. Suatu kali Rhemrev, van
Huut dan Ten Holder dalam sebuah rapat tertutup mengancam akan mundur
dari NIFO bila Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler masuk sebagai dewan
pimpinan NIFO. Alasan penolakan itu berkisar pada propaganda fasis,
untuk kaum Indo Eropa atau untuk seluruh rakyat Hindia.
Setelah sempat keluar dalam waktu yang tidak lama, Rhemrev, van Huut dan
Ten Holder masuk kembali dalam NIFO setelah ada pengumuman bahwa
Ocherse, Gouwenberg dan Kankeler tidak akan dimasukan dalam daftar
anggota dewan pimpinan. Dalam “Adil” edisi 29 Juni 1933, Rhemrev
menyangkal bahwa dirinya telah keluar dari NIFO.
Masalah apakah NIFO hanya diperuntukan bagi kaum Eropa dan Indo Eropa
atau bagi seluruh Hindia menimbulkan perpecahan di waktu yang akan
datang. Di kemudian hari anggota yang memandang perlunya fasisme bagi
seluruh rakyat Hindia mendirikan Fascistische Unie. Dalam anggaran
dasarnya, Fascistische Unie disebutkan:
1.Kerajaan Nederlansche terdiri atas Hindia Timur dengan Hindia Barat;
2.Kerajaan ini harus dibawah Koninghuis Orange;
3.Penduduk baik individual maupun dengan cara bergolong-golong boleh mendapat staats burgerschap dengan berpegang pada adapt golongan masing-masing;
4.Memajukan samenwerking antara golongan antara golongan pendudukberdasar kegunaannya pada staat;
5.Kaum majikan dan kaum buruh, dengan tidak memandang bangsa akan dianggap sama harganya pentingnya untuk kemajuan staat;
6.Akhir sekali staat dirubah menjadi satu staat yang berdasar syndico-corporatieven grondslag;
7.Mengakui kegunaan agama bagi seseorang dan semua agama harus dimajukan dan paham yang tidak mengakui adanya tuhan dibantah.
2.Kerajaan ini harus dibawah Koninghuis Orange;
3.Penduduk baik individual maupun dengan cara bergolong-golong boleh mendapat staats burgerschap dengan berpegang pada adapt golongan masing-masing;
4.Memajukan samenwerking antara golongan antara golongan pendudukberdasar kegunaannya pada staat;
5.Kaum majikan dan kaum buruh, dengan tidak memandang bangsa akan dianggap sama harganya pentingnya untuk kemajuan staat;
6.Akhir sekali staat dirubah menjadi satu staat yang berdasar syndico-corporatieven grondslag;
7.Mengakui kegunaan agama bagi seseorang dan semua agama harus dimajukan dan paham yang tidak mengakui adanya tuhan dibantah.
Agenda politik organisasi ini menyebut, Negeri Belanda harus diubah
menjadi pemerintahan fasis. Kaum pribumi Hindia tidak lepas untuk
difasiskan agar bisa menerima Fascistische Staatvorm Negeri Belanda.
Sebuah usaha menyatukan kaum fasis Hindia dilakukan dengan mengumpulkan
para wakil dari IEV, VC juga NIFO pada Juli 1933 untuk merumuskan
program bersama. Kerjasama ketiga organ itu lebih didasarkan pada tiga
program pokok: pembelaan keras untuk kekuasaan (gezeg); membezuinig
sehabis-habisnya sehingga bergrooting menjadi klop; menunjang pemutusan
hak tanah (grond-rechten) buat kaum Indo Eropa. Hal ini menunjuikan
pengaruh VC dan IEV sangat besar pada masa itu. VC sangat memusuhi kaum
pergerakan. EIV kesal lantaran tuntutan hak tanahnya ditolak pemerintah
atas desakan anggota volksraad pribumi Husni Thamrin. Hingga VC dan IEV
menjadi pendukung NIFO dalam mengusung fasisme sebagai bagian dari NSB.
Berdirinya cabang NSB di Indonesia pada tahun 1934, bermula dari
kembalinya Mr. Hamer—tokoh VC—dari Negeri Belanda. Hamer mengaku dirinya
angggota dan wakil NSB di Hindia Belanda. Banyak pejabat dan pengusaha
yang menjadi anggota NSB walau bukan anggota tetap. Sudah pasti mereka
tidak akan mau ambil resiko dan terkesan membatasi diri dalam perannya
di organisasi. Mereka sering membari bantuan dana bagi para NSB. Bila di
Negeri Belanda pegawai sektor public (pegawai negeri) dilarang menjadi
anggota NSB, maka anggota NSB Hindia adalah para guru, pegawai dan
sarjana.
Untuk merndukung propaganda-nya, NSB memiliki media sendiri, surat kabat
Het Licht. Kemenangan kaum Fasis terhadap kaum komunis selalu menghiasi
headline surat kabar Fasis itu. Sikap anti pergerakan diperlihatkan
kaum fasis dengan memposisikan kaum komunis sebagai kaum yang berbahaya
seperti dalam pemberontakannya pada tahun 1926-1927. Kaum pribumi,
dimata orang Eropa yang terpengaruh Fasis tidak berbeda dengan kaum
komunis, orang Eropa merasa orang pribumi selau memata-matai dan
menunggu lengah lalu menikam dari belakang seperti dalam pemberontakan
PKI. Apa yang dilakukan kaum fasis tadi, dimata kaum pergerakan sama
saja dengan apa yang dilakukan pemerintah colonial, mematikan kaum
pergerakan. Sejak dulu setiap kekuatan yang menetang pemerintah selalu
dicap ‘komunis’ (merah).
Pengaruh Fasis diterima dengan baik oleh beberapa orang pribumi. Pada
bulan Agustus 1933 di Bandung, Dr Notonindito mendirikan Partai Fascist
Indonesia (PFI). Partai ini mengusung fasisme demi romantisme sejarah
kejayaan budaya dimasa lampau, seperti halnya romantisme Mussolini pada
kejayaan Romawi, Italia La Prima. Berbeda dengan fasis Eropa dan Indo
yang bisa jadi dilator belakangi oleh kepentingan ekonomi. Pada dasarnya
PFI ingin membangun kejayaan kerajaan Indonesia purba macam Sriwijaya
atau Majapahit. Gagasan dan cita-cita ini juga mengejutkan kaum
pergerakan nasional waktu itu. Notonindito yang pernah tinggal di Jerman
rupanya tidak ingin mengikuti fasisme Jerman pada tahun 1924, sebagai
orang Jawa dirinya lebih mengakar pada kebudayaan Jawa saja. Ia bukan
bermaksud mendirikan Negara korporasi, melainkan sebuah Negara yang
dipimpin oleh seorang raja seperti pada masa lampau. Seperti dikutip
dalam Adil: “mendapatkan kemerdekaan Djawa dan nanti diangkat raja yang
tunduk pada grondwet dan raja ini adalah turunan dari Penembahan
Senopati; akan mebangunkan kembali statenbond (Perserikatan
Negeri-negeri) dari kerajaan-kerajaan di Indonesia yang merdeka, dimana
terhitung juga tanah-tanah raja (Vorstenlanden.
Kaum pergerakan dalam Pemandangan memberikan reaksi kepada PFI. Dengan
didahului dengan beberapa tulisannya, diambil kesimpulan bahwa PFI
merupakan kelajutan dari cita-cita Soetatmo, juga seorang nasionalis
Jawa. Ketika Notonindito di Jerman, 1924, Soetatmo meninggal dunia
karena sakit. Surat kabar Adil edisi 26 Juni 1933, mengecam PFI sebagai
‘perkakas politik’ untuk memecah pergerakan nasional. Fasisme dipandang
juga sebagai bibit dari sikap provinsialisme yang merugikan. Lebih
lanjut dibahas nasionalisme yang dibutuhkan kaum pergerakan untuk rakyat
Hindia adalah nasionalisme kerakyatan bukan nasionalisme yang dilandasi
jiwa priyayi Jawa dan stelsel kapitalisme. Panji Timoer menuduh, kaum
fasis Hindia tidak ubahnya kaum fasis di Eropa, mereka telah ‘membunuh
aliran revolusioner’.
Notonindito sendiri adalah putra Raden Pandji Notomidjojo, bekas patih
kabupaten Rembang. Pada 1918 ia menamatkan MULO, kemudian melanjutkan
pelajarannya di Telefoon Dienst. Pada 1921, ia berangkat ke Belanda
untuk mempelajari ekonomi perdagangan. Pada 1923 ia lulus dan meraih
gelar adjunc accountant dan bekerja pada kantor akuntan di Amsterdam.
Pada pertengahan 1924 ia menuju Berlin (Jerman) untuk melanjutkan studi
ekonominya. Pada November 1924 ia meraih gelar Doktor dalam ilmu ekonomi
dengan tesis “Sedjarah Pendek Tentang Perniagaan, Pelajaran Dan
Indoestri Boemipoetra Di Poelau Djawa”. Sepulangnya ke Indonesia, ia
membuka kantor di Pekalongan sambil merangkap sebagai anggota PNI. Ia
kemudian pindah ke Bandung dan menghilang dari panggung pergerakan.
Ketika Partai Nazi memenangkan pemilu di Jerman pada tahun 1933,
Notonindito muncul kembali di panggung pergerakan dengan idenya tentang
Partai Fasis Indonesia.
Akibat serbuan Jerman ke penjuru Eropa, banyak terjadi perubahan atas
Hinjdia Belanda. Di Ternate, tempat Didi Kartasasmita Bertugas sebagai
Letnan KNIL. Didi melihat, orang-orang Jerman umunya berprofesi sebagai
pedagang hasil bumi atau sebagai pekerja di Zending. Setelah penyerbuan
itu, orang-orang Jerman itu diasingkan. Biasanya jika serdadu KNIL
bangsa Belanda bertemu orang-orang Jerman, mereka akan membuat pesta.
Setelah keluar aturan pengasingan bagi orang-orang Jerman, justru
orang-orang Belanda KNIL itulah yang menangkapnya. Serdadu-serdadu
pribumi justru tidak dilibatkan dalam penangkapan itu.
Pernah Didi mendengar pemisahan Negeri Belanda dengan Hindia Belanda.
Banyak orang-orang Belanda Indo mendukung hal ini, orang-orang Belanda
totok justru tidak menginginkannya.
0 komentar: