Pasang Surut Hubungan Antara Hindia Belanda Dan Nazi Jerman Sebelum Pendudukan Jepang (1933 - 1942)
Jonkheer
Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (7 Maret
1888, Groningen – 16 Agustus 1978, Wassenaar), Gubernur Jenderal
terakhir Hindia Belanda
J. de Kadt adalah seorang
pengarang Belanda yang terkenal, yang secara lunak bersifat "kiri" dan
merupakan tokoh terkemuka Partai Sosial Demokrat (Partai van de Arbeid)
Negeri Belanda. Ia menulis buku-buku yang di antaranya bercerita tentang
Nazisme, dimana dia menyerang sistem pemerintahan ini, dan tentang
Revolusi Rusia, dimana ia menyetujuinya. Tokoh Belanda seperti ini
tentunya berada dalam daftar hitam kaum Nazi. Tetapi untungnya J. De
Kadt dapat melarikan diri dari Negeri Belanda yang diduduki Jerman pada
tanggal 10 Mei 1940 dan melarikan diri ke Hindia Belanda. Mungkin juga
ia terkenal sebagai seorang yang anti-kolonial. Pokoknya, ketika J. de
Kadt datang ke Nusantara, dia ditahan dan tidak boleh memasuki Hindia
Belanda atas dasar bahwa De Kadt adalah seseorang yang berbahaya, yang
dapat mengganggu ketenteraman dengan hasutan-hasutannya. Segera para
sosialis di Hindia Belanda yang tergabung dalam Algemeen Democratische Bond
menghadap Gubernur Jawa Barat untuk meminta penjelasan perihal
penahanan De Kadt. Ternyata Gubernur Jawa Barat, sebagai seorang Binnenlandsch Bestuur
yang baik tidak pernah membaca literatur revolusionernya De Kadt dan
hanya mengambil keputusan berdasarkan laporan-laporan dinas imigrasi
Hindia Belanda. Pada akhirnya pemerintah buangan Belanda di London
(dimana duduk juga menteri-menteri sosialis) mengadakan tekanan-tekanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda untuk melepaskan De Kadt dan
memperbolehkannya masuk ke koloni milik Belanda. Sesudah sepuluh hari
dalam tawanan, J. de Kadt "diperbolehkan masuk" tetapi tidak diberikan
surat hak penetapan disini (niet toegelaten maar binnengelaten tidak diizinkan masuk tetapi dimasukkan).
Peristiwa
De Kadt ini dalam hal-hal lain merugikan Hindia Belanda. Kesan tentang
demokrasi di koloni terhadap salah seorang korban "10 Mei", terang tidak
baik dan membahayakan kesatuan antara partai-partai yang duduk di dalam
kabinet Belanda. Bahwa Hindia Belanda dapat bertindak demikian terhadap
seorang sosialis yang anti-Nazi, dapat membuat tuduhan-tuduhan bahwa
koloni adalah pro-Nazi, dan lain-lain. Di Inggris, sekutu Belanda dalam
peperangan dan dimana juga duduk kabinet koalisi, peristiwa ini
menimbulkan kedinginan-kedinginan. Politik Hindia Belanda pada
tahun-tahun ini, sejak 10 Mei 1940, sama sekali tidak menghiraukan
perkembangan-perkembangan dan kejadian-kejadian di dunia luar.
Di luar dari persoalan tentang
dukung-mendukung Nazi, pada tahun 1920-an dan 1930-an sudah menjadi
suatu kebiasaan bagi para pegawai pemerintah Belanda untuk memenjarakan
kaum Nasionalis Indonesia yang beradab dan berpendidikan tinggi, tanpa
melalui proses hukum. Mereka dimasukkan dalam kamp interniran karena
menyuarakan opini kemerdekaan politik dan mengganggu kepentingan Belanda
dalam hal ketenteraman masyarakat dan politik. Dalam konteks lain, para
pekebun Belanda di perkebunan karet dan tembakau di pantai timur
Sumatra memperlakukan para kuli kontrak Jawa dan Cina laiknya "binatang
berbentuk manusia" sehingga mereka dapat menyiksa para kuli itu tanpa
merasa bersalah sedikitpun.
Sebagaimana ditulis pada tahun
1936 oleh pemikir nasionalis Indonesia, Sutan Sjahrir, di Hindia, "Pemikiran resmi tentang 'kamp konsentrasi' belum dilembagakan. Jadi,
masih tertinggal di belakang Nazi Jerman. Tetapi, Jerman mungkin saja
belajar banyak tentang cara menciptakan lembaga semacam itu dengan
mempelajari apa yang diterapkan di Boven Digoel." Tempat
itu merupakan kamp kontroversial tempat para pemimpin politik Indonesia
yang dianggap paling berbahaya bagi negara (staatsgevaarlijk)
diasingkan pada akhir 1920-an dan 1930-an. Sebuah editorial, The New Republic, pada Oktober 1945, sesungguhnya telah menggambarkan kamp tanah merah Boven Digoel dengan bombastis: The New Republic
menyebut Boven Digoel sebagai "salah satu dari kamp konsentrasi yang
paling mengerikan di dunia, di rimba berawa tempat berjangkitnya
malaria" di New Guinea (Papua) Belanda. Editorial yang diterbitkan
sesudah pasukan Sekutu datang itu bukan saja membebaskan kamp
konsentrasi Nazi di Polandia dan Cekoslowakia pada akhir musim semi
1945, tetapi juga menyiarkan kekejaman yang telah mereka temukan.
Penilaian Amerika itu tentu saja dianggap agak berpihak dan bukan tanpa
maksud.
Jika perbandingan tindakan James Cook dalam memperlakukan orang Polynesia di Pasifik
dengan gaya memimpin para pekebun Belanda di pantai timur Sumatra tidak
mungkin menimbulkan kemarahan pada warga Belanda masa kini, maka analogi
antara Hindia Belanda dengan Nazi Jerman menimbulkan "metafora
terlarang". Memang benar bahwa makna tersembunyi di balik budaya Belanda
menyiratkan kebutuhan yang tetap "untuk mendefinisikan dan menerangkan
kembali arti kebelandaan yang sesungguhnya". Kepentingan pengarahan
sejarah untuk mengganti dan mengubah identitas nasional sering kali
menyebabkan proses rekayasa esensi budaya politis Belanda dalam
hubungannya dengan budaya lain. Kenyataannya, pada 1991 telah dimulai
suatu program penelitian multi disiplin, secara nasional, yang dibiayai
oleh suatu lembaga Belanda yang setara dengan lembaga American National Endowment for the Humanities,
untuk mencari budaya dan identitas Belanda menjelang pudarnya kesatuan
nasional yang mungkin terjadi sejalan dengan berkembangnya Uni Eropa.
Namun demikian, bahkan dalam
pendekatan perbandingan yang eksplisit sekalipun, analogi tertentu
nampaknya tidak ada masalah, sementara analogi lain terlihat tidak
berkaitan dan hanya menyakitkan hati dan menimbulkan frustasi. Namun,
pencarian "ke-Inggrisan" dalam tindakan Kapten Cook yang eksentrik dalam
lingkungan Polynesia menunjukkan kesamaan yang beralasan; ini adalah
analogi yang mungkin sedikit sama dengan kebelandaan yang ada pada
perlakuan orang kulit putih yang bermakna ganda terhadap para kuli di
perkebunan tembakau dan karet di Deli. Tetapi, pada masa sesudah Perang
Dunia II, semua kesamaan antara kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia
dengan Third Reich dianggap sebagai hal yang tabu. Analogi itu membentuk
medan makna yang berada di luar jangkauan kosa kata sehari-hari.
Sebagai contoh, Henk van Randwijk, pendiri dan editor koran bawah tanah yang anti-Jerman pada masa Perang Dunia II, Vrij Nederland,
pada 26 Juli 1947 menulis, "Dua tahun sesudah kekalahan Hitler, kita
masih belum lupa bahwa kekerasan bersenjata dapat dipakai untuk membela
ketidakadilan dan kebiadaban... karena saya orang Belanda, saya berkata
TIDAK! Terhadap kebrutalan yang sekarang ini kita lakukan di Indonesia."
Van Randwijk menerapkan "standar yang lebih tinggi" untuk kesantunan
manusia dan integritas moral yang dipakainya selama peperangan untuk
mengutuk rezim Nazi dan ia sekedar meminta agar prinsip-prinsip etis
yang sama diteruskan pada tindakan pemerintah Belanda di Indonesia.
Tetapi, lepas dari sosoknya sebagai seorang anti Nazi yang menonjol di
Belanda, perbandingan Van Randwijk yang bijak itu dengan Hitler telah
menimbulkan kegemparan dan fitnah, yang menyebabkan perpecahan dalam
jajaran redaksi Vrij Nederland dan, meskipun sedikit, sekaligus juga menurunkan jumlah pelanggan.
Meskipun begitu, Van Randwijk
bukanlah satu-satunya orang yang mengemukakan analogi Hitler itu. Pada
Desember 1948, dalam pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
di Paris, seorang delegasi Australia memakai "metafora terlarang" yang
sama. Dia menuduh pemerintah Belanda telah melakukan kekejaman di
Indonesia, yang "lebih buruk dibanding apa yang telah dilakukan Hitler
terhadap Belanda." Wacana tuduh-menuduh itu masih terus berlangsung,
bahkan di Belanda masa kini. Ketika Graa Boomsma baru-baru ini
mengatakan bahwa anggota militer Belanda selama Perang Kemerdekaan
Indonesia "bukanlah perwira SS, tidak, tetapi karena apa yang telah
mereka lakukan, mereka dapat dibandingkan (dengan perwira SS)", atau
ketika ia pada 1992 menulis, "Boven Digoel telah ada jauh sebelum Hitler
mendirikan kamp konsentrasi di Buchenwald atau (Bergen) Belsen," sekali
lagi Boomsma dianggap telah melampaui batas retorikal, karena dia telah
menyinggung nilai kesantunan mantan penduduk kolonial di Indonesia,
dengan salah mengemukakan makna rekor politik Belanda di tanah jajahan
Indonesia. Boomsma dan wartawan yang mewawancarainya diseret ke
pengadilan dengan tuduhan menyebarkan fitnah, dan itu terjadi di negara
yang begitu “demokratis”nya sampai mengizinkan penggunaan mariyuana di
tempat tertentu.
Secara resmi Hindia Belanda
sendiri memasuki Perang Dunia II pada tanggal 10 Mei 1940 dengan
masuknya tentara Jerman ke negeri Belanda dan ketika Gubernur Jenderal
pada hari itu juga menyatakan SOB bagi Indonesia. Volksraad atau
Dewan Rakyat segera mengadakan sidang istimewa mengenai situasi
tersebut dan pada saat yang sama para pemimpin bangsa-bangsa Indonesia
dengan pergerakan nasionalnya menyatakan loyalitas mereka serta dukungan
terhadap peperangan melawan Jerman. Di luar Volksraad,
pemimpin pergerakan lain menyatakan kesetiaan mereka, termasuk yang
dibuang oleh pemerintah Belanda. Tjipto Mangunkusumo dalam pembuangannya
di Makasar memimpin demonstrasi di depan Gubernur Sulawesi untuk
menyatakan dukacita sekaligus loyalitas pada pemerintah Hindia Belanda
dalam menghadapi bencana "nasional" yang sedang terjadi. Memang pada
waktu itu di dalam pergerakan Indonesia terdapat suatu sikap kuat yang
anti-Nazi dan Fasisme, suatu sikap yang kadang-kadang mendominasi
perasaan-perasaan anti kolonial. Vlammend Protest,
protes bersemangat dari Ratu Wilhelmina terhadap penyerangan Jerman juga
menggetarkan hati banyak orang Indonesia yang pada dasarnya mempunyai
perasaan sentimentil yang sama terhadap Belanda dan melihatnya sebagai
suatu negara kecil yang diserang oleh negara besar. Tidak saja untuk
pertama kali Indonesia melihat tindakan peperangan tetapi juga untuk
pertama kali setelah sekian puluh tahun dilihatnya pemakaian kekerasan
dan perlakuan sebagai musuh terhadap... orang kulit putih. Sebagai
contoh adalah Fred Poeppig. Pengarang Jerman ini diinternir oleh Belanda
dan baru dibebaskan oleh tentara pendudukan Jepang. Dia melihat bahwa
Belanda telah menciptakan suatu hal baru terhadap orang-orang kulit
putih di Asia karena tindakannya menangkap orang-orang Jerman yang
dilakukan oleh tentaranya yang "berkulit coklat".
Pertama
yang harus diamankan adalah pelabuhan-pelabuhan Indonesia dimana sedang
berlabuh kira-kira sembilan belas kapal dagang Jerman. Orang-orang
Jerman dan NSB (partai Belanda yang sedikit banyak pro-Nazi dan Hitler)
harus diamankan. Kedua hal ini terlaksana dengan efisien dan cepat.
Orang-orang Jerman yang sedang liburan di hotel di daerah pegunungan pun
dengan segera dapat ditemukan dan segera ditahan untuk dimasukkan ke
dalam kamp-kamp konsentrasi bersama orang-orang NSB yang partainya tentu
dibubarkan. Dari sembilan belas kapal dagang Jerman, hanya satu yang
berhasil ditenggelamkan oleh anak buah kapal sebelum diduduki tentara
KNIL. Serdadu-serdadu ini juga akan menginternir orang-orang Belanda
nanti. "Se wird es verständlich,
wie den prestige des weissen schen damals den vernichtenden schlag
erhalten hatte, von den es sich nicht wisder arholte... es waren
weisse-ob Deutsche, Holländer, was scherte es siel"
(Jadi dapat dimengerti pada waktu itu bahwa prestise orang-orang
berkulit putih telah menerima pukulan yang menghancurkan, dan hal itu
tidak akan dapat diperbaiki lagi... mereka adalah kaum kulit putih,
orang Jerman atau Belanda. Apa soalnya bagi mereka serdadu-serdadu
Ambon).
Menarik untuk diperhatikan
disini ialah sebuah surat yang ditulis oleh seorang Belanda anggota NSB
yang sedang diinternir kepada Ds. Tichelaar, tokoh yang sangat terkenal
di Hindia Belanda tahun 1940. Surat berjudul N.S.B. er brief aan Ds. Tichelaar
(Soekabumi, 8 Mei 1942) berbentuk manuskrip setebal 49 halaman dan
merupakan semacam vlug schrift (pamflet). Surat ini sangat representatif
untuk pikiran orang-orang Belanda pro-Nazi di Indonesia yang mungkin
terdiri dari kelompok-kelompok penting dalam BB serta
pengusaha-pengusaha besar dalam VC (Vaderlandse Club).
Dalam surat ini dijelaskan bahwa
NSB adalah suatu partai yang diakui dan bahwa tuduhan NSB melakukan
pengkhianatan sama sekali tidak terbukti di negeri Belanda apalagi di
Indonesia; juga bahwa NSB bukan potentieel staatsgevaarlik
seperti yang dituduhkan oleh Gubernur Jenderal dan koran-koran waktu
itu. Ia juga melukiskan "perlakuan biadab" di kamp-kamp konsentrasi
terhadap orang-orang Belanda yang ditahan, yang dilakukan oleh tentara
asal Indonesia (Ambon) dan disesalkan bahwa hal itu terjadi di tanah
koloni (en dat een kolonial land). Ia juga mengkritik Ratu Belanda yang lari ke London sambil meninggalkan rakyatnya yang dikuasai musuh (Jerman).
Pelaksanaan
pengamanan terhadap orang-orang yang dicurigai ini dapat berjalan
dengan lancar dan efisien karena sebelumnya sudah ada
persiapan-persiapan yang matang. Ketika Jerman memasuki Norwegia dan
Denmark maka di Indonesia sudah diadakan persiapan-persiapan guna
menghadapi kemungkinan bahwa Negeri Belanda akan terlibat dalam Perang
Dunia II. Dalam bulan April keadaan di Eropa menjadi genting, dengan
desas-desus bahwa setiap waktu tentara Jerman dapat memasuki negeri
Belanda. Di Indonesia sendiri tersiar secara luas kabar burung bahwa
orang-orang Jerman yang berada disini, bersama kapal-kapalnya serta
dibantu orang-orang NSB, akan memakai kesempatan ini untuk mencoba
melancarkan semacam coup yang kemudian akan dibantu oleh Jepang.
Sampai dimana kebenaran hal ini
belum bisa dipastikan, tetapi banyak surat kawat dari Berlin ditahan
yang memuat kata-kata sandi untuk aksi ini. Tetapi bagaimanapun juga
bila kapal-kapal Jerman ditenggelamkan di pelabuhan-pelabuhan, hal ini
tentu akan menyukarkan perdagangan dan lalu-lintas.
Pada bulan Mei tahun itu juga
ada berbagai persiapan militer. Anehnya tidak saja terhadap Jerman,
tetapi juga terhadap... Jepang. Laksamana Madya Helfrich memerintahkan
kapal perang Belanda, De Ruyter, untuk mengadakan
latihan-latihan perang di Selat Madura (juga untuk menghadapi
kapal-kapal dagang Jerman disana bila mencoba melarikan diri). Di utara
Pulau Jawa (Laut Jawa), armada Belanda dipusatkan untuk menjaga pintu
masuk ke Indonesia dan menghadapi serangan-serangan Jepang dari jurusan
utara. Walaupun konsentrasi armada ini mendapat instruksi tegas untuk
tidak menghalang-halangi lalu-lintas dagang yang dapat memprovokasi
Jepang. Juga Angkatan Udara Kerajaan Belanda disiagakan. Tetapi terutama
kapal-kapal selam yang digunakan sepenuhnya untuk menjaga jalan-jalan
masuk ke Lautan Indonesia.
Dari bulan Mei 1940 sampai 5
Desember 1941 pemerintah Hindia Belanda selalu waspada dan khawatir akan
kemungkinan serbuan dari pihak Jepang. Insiden-insiden dengan
kapal-kapal nelayan Jepang terjadi di beberapa tempat dan Belanda selalu
khawatir akan serangan tiba-tiba dari Jepang, umpamanya dari
kapal-kapal dagangnya. Kapal-kapal penyergap Jerman sendiri
kadang-kadang sampai ke lautan sekitar Asia untuk mengganggu perdagangan
Sekutu. tetapi Jepang selalu dipandang sebagai musuh yang paling
berbahaya biarpun belum ada pernyataan perang antara Hindia Belanda dan
Jepang. Seluruh beban kewaspadaan ini terletak pada pundak Angkatan Laut
Belanda di bawah Laksamana Madya Helfrich. Dalam memoarnya, Helfrich
menamakan periode itu sebagai De Zenuw-Oerleg (Perang Urat Syaraf).
Sumber :
"Dutch Culture Overseas" oleh Dr. Frances Gouda
"Runtuhnya Hindia Belanda" oleh Onghokham
"Orang dan Partai Nazi di Indonesia" oleh Wilson
0 komentar: